Sahabat Nabi Tidak Bermazhab, Benarkah?
loading...
A
A
A
Kita sering mendengar narasi bahwa para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم tidak bermazhab . Bahkan di antara kaum muslimin banyak yang menolak untuk mengikuti mazhab .
Benarkah para Sahabat Nabi tidak bermazhab ? Berikut penjelasan Ustaz Ahmad Zarkasih Lc (dai yang juga pengajar Rumah Fiqih Indonesia). Untuk diketahui, sahabat Nabi merupakan generasi terbaik umat Islam. Ketika itu tidak ada mazhab karena sumber syariat dan hukum ada di depan mereka. Mereka bisa langsung bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. (Baca Juga: Kenapa Ada Mazhab dalam Islam? Begini Kisahnya)
Kenapa Bermazhab?
Ustaz Ahmad Zarkasih menjelaskan bahwa Mazhab Fiqih adalah jalan untuk kita memahami Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Ia ibarat peta yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam memahami teks-teks syariah. Sebagai tangga yang menyampaikan kita kepada pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah yang tidak mungkin kita capai dengan badan sendiri.
"Memahami Al-Qur'an dan sunnah itu tidak semudah dan tidak sesimpel yang dibayangkan. Bukan hanya karena paham bahasa Arab lalu bisa menggali hukum dari 2 sumber utama tersebut," kata Ustaz Ahmad Zarkasih sebagaimana dikutip dari rumahfiqih.
Kalau memang memahami kedua sumber mulia itu hanya dengan bermodal bahasa Arab, tentu semua orang di negara-negara berbahasa Arab itu semuanya menjadi Mujtahid. Tapi nyatanya tidak. Selain bahasa Arab, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dikuasai agar bisa menduduki kursi Mujtahid untuk menggali hukum dari Al-Qur'an dan sunnah. Karena itulah kita membutuhkan tangga sebagai wasilah mencapai tujuan; yakni Al-Qur'an dan Sunnah.
( )
Kata ulama ushul: "lil-Wasa’il hukumul-maqashid", yang artinya wasilah itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah itu wajib, akan tetapi sulit untuk mencapai itu kecuali ada petanya dan tangganya. Maka mendapatkan tangga itu menjadi wajib, karena tujuannya itu wajib. Dengan kesadaran diri atas ketidakmampuan dan kehati-hatian dalam beragama (jatuh pada kekeliruan), maka bermadzhab itu menjadi sebuah keharusan.
"Kalau menolak bermazhab dan kembali langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah , tetapi masih memahami makna teks Qur'an terjemahan Departemen Agama atau penerbit lain; itu namanya bukan kembali ke Al-Qur'an, melainkan mengikuti Departemen Agama atau penerbit jadi penerjemah al-Qur’an tersebut. Karena kalau memang mampu, harusnya jauhkan semua media-media itu, langsung saja maknai teks-teks Al-Qur'an itu sendiri, tanpa alat atau media," jelas Ustaz Ahmad Zarkasih .
Kalau menolak bermazhab dan menghukumi sesuatu dengan hadis shahih Al-Bukhari atau ulama hadis lainnya, itu namanya bukan kembali ke Al-Qur'an dan sunnah melainkan mengikuti Imam Al-Bukhari. Kalau memang mampu menggali hukum tanpa perantara mazhab , harus juga mampu menstatusi hadis sendiri tanpa rujukan ulama. Tidak Al-Bukhari, tapi Al-Albani, itu juga sama, mengikuti manusia namanya, bukan mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah. [ ]
Sahabat Nabi Bermazhab!
Nah, benarkan sahabat Nabi tidak bermadzhab ? Untuk diketahui sahabat Nabi hidup bersama Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai sumber syariah dan mereka berdialog langsung beliau. Lalu dimana kegunaan mazhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? Zaman sahabat , mereka semua tinggal bertanya langsung kepada sumbernya.
Akan tetapi, coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi صلى الله عليه وسلم wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Di antara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang 'Alim yang mengerti tentang wahyu dan maksud sabda Nabi.
Ketika tokoh-tokoh sahabat seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas'ud, Ibn 'Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dan lainnyaitu ditanya tentang suatu masalah oleh sahabat Awam, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan itu dengan mengatakan: "Anda kan sahabat Nabi , hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!". Ternyata tidak ada jawaban seperti itu.
Itu artinya memang sahabat awam pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat Alim tersebut. Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (mazhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh sahabat awam tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (mazhab) ulama-ulama dan imam-imam mazhab mulia tersebut.
Karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat itu. Sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.Tapi hebatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama mazhab yang ada. Sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama mazhab walaupun ada perbedaan di antara mereka. (Baca Juga: Inilah Peran Imam Madzhab dalam Menjelaskan Isi Alqur'an)
Wallahu Ta'ala A'lam
Benarkah para Sahabat Nabi tidak bermazhab ? Berikut penjelasan Ustaz Ahmad Zarkasih Lc (dai yang juga pengajar Rumah Fiqih Indonesia). Untuk diketahui, sahabat Nabi merupakan generasi terbaik umat Islam. Ketika itu tidak ada mazhab karena sumber syariat dan hukum ada di depan mereka. Mereka bisa langsung bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. (Baca Juga: Kenapa Ada Mazhab dalam Islam? Begini Kisahnya)
Kenapa Bermazhab?
Ustaz Ahmad Zarkasih menjelaskan bahwa Mazhab Fiqih adalah jalan untuk kita memahami Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Ia ibarat peta yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam memahami teks-teks syariah. Sebagai tangga yang menyampaikan kita kepada pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah yang tidak mungkin kita capai dengan badan sendiri.
"Memahami Al-Qur'an dan sunnah itu tidak semudah dan tidak sesimpel yang dibayangkan. Bukan hanya karena paham bahasa Arab lalu bisa menggali hukum dari 2 sumber utama tersebut," kata Ustaz Ahmad Zarkasih sebagaimana dikutip dari rumahfiqih.
Kalau memang memahami kedua sumber mulia itu hanya dengan bermodal bahasa Arab, tentu semua orang di negara-negara berbahasa Arab itu semuanya menjadi Mujtahid. Tapi nyatanya tidak. Selain bahasa Arab, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dikuasai agar bisa menduduki kursi Mujtahid untuk menggali hukum dari Al-Qur'an dan sunnah. Karena itulah kita membutuhkan tangga sebagai wasilah mencapai tujuan; yakni Al-Qur'an dan Sunnah.
( )
Kata ulama ushul: "lil-Wasa’il hukumul-maqashid", yang artinya wasilah itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah itu wajib, akan tetapi sulit untuk mencapai itu kecuali ada petanya dan tangganya. Maka mendapatkan tangga itu menjadi wajib, karena tujuannya itu wajib. Dengan kesadaran diri atas ketidakmampuan dan kehati-hatian dalam beragama (jatuh pada kekeliruan), maka bermadzhab itu menjadi sebuah keharusan.
"Kalau menolak bermazhab dan kembali langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah , tetapi masih memahami makna teks Qur'an terjemahan Departemen Agama atau penerbit lain; itu namanya bukan kembali ke Al-Qur'an, melainkan mengikuti Departemen Agama atau penerbit jadi penerjemah al-Qur’an tersebut. Karena kalau memang mampu, harusnya jauhkan semua media-media itu, langsung saja maknai teks-teks Al-Qur'an itu sendiri, tanpa alat atau media," jelas Ustaz Ahmad Zarkasih .
Kalau menolak bermazhab dan menghukumi sesuatu dengan hadis shahih Al-Bukhari atau ulama hadis lainnya, itu namanya bukan kembali ke Al-Qur'an dan sunnah melainkan mengikuti Imam Al-Bukhari. Kalau memang mampu menggali hukum tanpa perantara mazhab , harus juga mampu menstatusi hadis sendiri tanpa rujukan ulama. Tidak Al-Bukhari, tapi Al-Albani, itu juga sama, mengikuti manusia namanya, bukan mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah. [ ]
Sahabat Nabi Bermazhab!
Nah, benarkan sahabat Nabi tidak bermadzhab ? Untuk diketahui sahabat Nabi hidup bersama Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai sumber syariah dan mereka berdialog langsung beliau. Lalu dimana kegunaan mazhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? Zaman sahabat , mereka semua tinggal bertanya langsung kepada sumbernya.
Akan tetapi, coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi صلى الله عليه وسلم wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Di antara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang 'Alim yang mengerti tentang wahyu dan maksud sabda Nabi.
Ketika tokoh-tokoh sahabat seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas'ud, Ibn 'Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dan lainnyaitu ditanya tentang suatu masalah oleh sahabat Awam, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan itu dengan mengatakan: "Anda kan sahabat Nabi , hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!". Ternyata tidak ada jawaban seperti itu.
Itu artinya memang sahabat awam pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat Alim tersebut. Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (mazhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh sahabat awam tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (mazhab) ulama-ulama dan imam-imam mazhab mulia tersebut.
Karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat itu. Sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.Tapi hebatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama mazhab yang ada. Sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama mazhab walaupun ada perbedaan di antara mereka. (Baca Juga: Inilah Peran Imam Madzhab dalam Menjelaskan Isi Alqur'an)
Wallahu Ta'ala A'lam
(rhs)