Apa Hakikat Syariat Itu? Inilah Pandangan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah
loading...
A
A
A
Sesungguhnya apa yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala wajib kita terima. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab "Tazkiyatun Nafs' memaparkannya hakikat syariat dalam hal ini ada dua macam :
Pertama, bahwa seorang hamba diperintahkan melakukan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta'ala, baik karena kecintaan kepadanya dan penolakan terhadapnya. Kedua, bahwa seorang hamba tidak diperintahkan dengan salah satu dari keduanya.
Penjelasan yang pertama adalah, seperti kebaikan dan takwa yang dilakukan orang lain. Ia diperintahkan untuk mencintai dan menolongnya, seperti memberikan bantuan kepada para mujahiddin di jalan Allah dan setiap yang melakukan kebaikan, dengan sepenuh kecintaan dan keridhaan.
(Baca juga : Waspada dan Jangan Meremehkan Sifat Lalai )
Demikian pula yang diperintahkan ketika orang lain mendapat musibah , yaitu dengan memberikan pertolongan terhadap orang yang terzalimi, atau mengunjungi orang yang terkena musibah atau memberikan bantuan kepada orang fakir dan yang semacamnya.
Adapun yang diperintahkan untuk membenci dan menolaknya adalah, seperti ketika seorang menapakkan kekafiran , kefasikan dan kedurhakaan . Dalam hal ini, kita diperintahkan untuk membenci, menolak dan mengingkarinya sesuai kemampuan.
Sebagaimana dalam sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadis shahih,
"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim, Nasa'i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
(Baca juga : Surat Al-Kautsar, Surat Terpendek yang Keutamaannya Banyak )
Adapun yang tidak diperintahkan kepada seorang hamba dengan salah satu dari keduanya adalah, seperti ketika melihat orang lain melakukan perbuatan mubah yang tidak jelas baginya apakah dapat menolongnya untuk berbuat ketaatan atau menghindar dari maksiat. Dalam kondisi sperti ini tidak diperintahkan untuk mencintai atau membencinya. Demikian pula hal-hal mubah yang tidak dimaksudkan dapat membantu dalam ketaatan dan tidak pula untuk menghindari dari maksiat.
Kedua, perilaku al-muqarrabiin (orang-orang yang dekat kepada Allah) yang terdahulu, yaitu melaksanakan kewajiban dan hal-hal sunnah semaksimal mungkin, demikian pula meninggalkan hal-hal, makruh dan haram. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, "Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan bila aku perintahkan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian." [HR Muslim]
(Baca juga : Inilah Perkara yang Dapat Menghilangkan Pahala Sedekah )
Komentar ulama besar seperti Syaikh Abdul Qadir dan yang lainnya, menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perilaku ini, oleh karena itu, mereka memerintahkan hal-hal yang sunnah bukan wajib, dan melarang sesuatu yang sifatnya khusus dengan kekhususannya, dan memahami yang umum dengan keumumannya.
Orang-orang yang dekat kepada Allah senantiasa melihatnya dari sifat yang khusus, yaitu tidak melakukan hal yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya sesuai iradahnya, yaitu apa-apa yang disukai oleh Allah dan diridhai-Nya. Kehendak-NYa yang berlaku dalam agama dan syari'at. Jika tidak, maka semua kejadian kembali kepadanya baik dalam bentuk kejadiannya maupun dalam bentuknya.
(Baca juga : Kabar Baik! Bea Masuk Impor 33 Industri Ditanggung Pemerintah )
Para rasul diutus untuk menyempurnakan fitrah dan mengukuhkannya, bukan untuk mengganti dan merubah fitrah. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda,
"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi." [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]
Allah Ta'ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,"
[QS Ar-Rum: 30]
(Baca juga : Menkes Terawan Janji Percepat Klaim Biaya Perawatan Pasien COVID-19 )
Pertama, bahwa seorang hamba diperintahkan melakukan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta'ala, baik karena kecintaan kepadanya dan penolakan terhadapnya. Kedua, bahwa seorang hamba tidak diperintahkan dengan salah satu dari keduanya.
Penjelasan yang pertama adalah, seperti kebaikan dan takwa yang dilakukan orang lain. Ia diperintahkan untuk mencintai dan menolongnya, seperti memberikan bantuan kepada para mujahiddin di jalan Allah dan setiap yang melakukan kebaikan, dengan sepenuh kecintaan dan keridhaan.
(Baca juga : Waspada dan Jangan Meremehkan Sifat Lalai )
Demikian pula yang diperintahkan ketika orang lain mendapat musibah , yaitu dengan memberikan pertolongan terhadap orang yang terzalimi, atau mengunjungi orang yang terkena musibah atau memberikan bantuan kepada orang fakir dan yang semacamnya.
Adapun yang diperintahkan untuk membenci dan menolaknya adalah, seperti ketika seorang menapakkan kekafiran , kefasikan dan kedurhakaan . Dalam hal ini, kita diperintahkan untuk membenci, menolak dan mengingkarinya sesuai kemampuan.
Sebagaimana dalam sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadis shahih,
"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim, Nasa'i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
(Baca juga : Surat Al-Kautsar, Surat Terpendek yang Keutamaannya Banyak )
Adapun yang tidak diperintahkan kepada seorang hamba dengan salah satu dari keduanya adalah, seperti ketika melihat orang lain melakukan perbuatan mubah yang tidak jelas baginya apakah dapat menolongnya untuk berbuat ketaatan atau menghindar dari maksiat. Dalam kondisi sperti ini tidak diperintahkan untuk mencintai atau membencinya. Demikian pula hal-hal mubah yang tidak dimaksudkan dapat membantu dalam ketaatan dan tidak pula untuk menghindari dari maksiat.
Kedua, perilaku al-muqarrabiin (orang-orang yang dekat kepada Allah) yang terdahulu, yaitu melaksanakan kewajiban dan hal-hal sunnah semaksimal mungkin, demikian pula meninggalkan hal-hal, makruh dan haram. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, "Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan bila aku perintahkan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian." [HR Muslim]
(Baca juga : Inilah Perkara yang Dapat Menghilangkan Pahala Sedekah )
Komentar ulama besar seperti Syaikh Abdul Qadir dan yang lainnya, menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perilaku ini, oleh karena itu, mereka memerintahkan hal-hal yang sunnah bukan wajib, dan melarang sesuatu yang sifatnya khusus dengan kekhususannya, dan memahami yang umum dengan keumumannya.
Orang-orang yang dekat kepada Allah senantiasa melihatnya dari sifat yang khusus, yaitu tidak melakukan hal yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya sesuai iradahnya, yaitu apa-apa yang disukai oleh Allah dan diridhai-Nya. Kehendak-NYa yang berlaku dalam agama dan syari'at. Jika tidak, maka semua kejadian kembali kepadanya baik dalam bentuk kejadiannya maupun dalam bentuknya.
(Baca juga : Kabar Baik! Bea Masuk Impor 33 Industri Ditanggung Pemerintah )
Para rasul diutus untuk menyempurnakan fitrah dan mengukuhkannya, bukan untuk mengganti dan merubah fitrah. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda,
"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi." [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]
Allah Ta'ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,"
[QS Ar-Rum: 30]
(Baca juga : Menkes Terawan Janji Percepat Klaim Biaya Perawatan Pasien COVID-19 )