Syukur: Kepada Siapa Harus Bersyukur dan Apa Manfaatnya?
loading...
A
A
A
HAKIKAT syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: 11).
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah,
وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
"Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan.
Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]: 83).
Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan,
وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَٰكِرِينَ
"Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia) bersyukur."
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya " Wawasan Al-Qur'an " menjelaskan kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya). ( )
Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Yang Harus Disyukuri
Quraish mengatakan pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah SWT. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya sendiri."
Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah" dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: 11).
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah,
وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
"Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan.
Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]: 83).
Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan,
وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَٰكِرِينَ
"Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia) bersyukur."
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya " Wawasan Al-Qur'an " menjelaskan kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya). ( )
Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Yang Harus Disyukuri
Quraish mengatakan pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah SWT. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya sendiri."
Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah" dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah.