Kisah Sufi: Sultan yang Menjadi Orang Buangan

Jum'at, 08 Mei 2020 - 04:20 WIB
loading...
A A A
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu: sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya.

Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.

Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.

Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.

Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di istananya, bersama-sama dengan Syaikh itu dan segenap pegawai keratonnya.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat," teriak Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa, hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut, "yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."

Para pegawai keraton membenarkan hal itu.

Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syaikh itu. Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syaikh pun menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat).

Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.

Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan: "Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya?

Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu. Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali. Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."

Catatan
Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pembaca atau pendengarnya.

Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."

Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui' khalayak."

Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu" dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.

==

Dinukil dari Kisah-Kisah Sufi, kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1580 seconds (0.1#10.140)