Tangan Dingin Kiai Tohir Wijaya Sukses Mereformasi Pesantren
loading...
A
A
A
Campur tangan Kiai Tohir Wijaya, menantu Kiai Mansyur, telah banyak mengubah sistem pendidikan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Kamal yang semula bergaya tradisional menjadi modern dan terpadu.
Pada 1950-an, para santri yang mukim (menetap) maupun kalong (pulang) tidak lagi terbatas pada ngaji kitab dengan metodologi sorogan dan bandongan. "Mbah Tohir (Kiai Tohir Wijaya) yang pertama kali membawa konsep madrasah dengan sistem pesantren terpadu, “ ujar Aminudin Fahruda, salah seorang pengasuh Ponpes Al-Kamal Blitar yang akrab disapa Gus Udin.
Sejak itu semua berubah. Santri, kata Gus Udin, tak hanya mengaji Alquran, Hadis, serta mendaras kitab klasik. Dengan modernisasi mereka bisa meraup pengetahuan lebih luas dengan kurikulum yang lebih tertata.
Santri berkesempatan belajar ulumu al-quran (ilmu-ilmu tentang Alquran), dari tarikh al-quran hingga muqarranatu al-tafsir. Ulumu al-hadits, mulai hadits dirayah sampai muhadditsin, mendalami fikih, ushul fiqh, nahwu, sharaf, balaghah sampai mantiq. "Jumlah santri yang mukim pun semakin banyak. Tidak hanya dari Kunir, " Gus Udin bercerita.
Di luar ilmu agama, santri mengenyam pengetahuan umum. Mereka memiliki dua identitas, yakni santri sekaligus siswa sekolah formal di madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), sampai madrasah aliyah (MA)—yang itu semua manifestasi konsep terpadu.
Setiap santri wajib bersekolah formal di bawah naungan yayasan Ponpes Al-Kamal. Juga sebaliknya, setiap siswa harus hidup di lingkungan pesantren. "Bisa dikatakan Ponpes Al-Kamal dengan konsep terpadu sebagai yang pertama di Kabupaten Blitar, bahkan mungkin eks Karsidenan Kediri,” ucap Gus Udin yang juga Ketua Ansor NU Kabupaten Blitar.
Ponpes Al-Kamal dirintis oleh Kiai Mansyur di kisaran tahun 1937. Angka tahun itu mengacu pada waktu pendirian musala yang dalam perjalanannya bersalin menjadi masjid Ponpes Al-Kamal. Mbah Mansyur merupakan seorang pendatang. Sekitar 1920-an dia mulai bermukim di Desa Kunir. Saat itu desa tersebut belum semaju sekarang.
Menurut Gus Udin, Mbah Mansyur berasal dari Ponpes Mangunsari, Kabupaten Tulungagung. Bila ditelusur lebih jauh ke belakang, leluhurnya itu tersambung pada Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo. "Soal dzuriyat (keturunan) secara detail, keluarga Ponpes Mangunsari yang lebih tahu," kata Gus Udin yang tidak ingin keliru.
Sebagai keluarga besar Ponpes Mangunsari Tulungagung, Mansyur muda dikenal sebagai sosok intelektual yang alim, berilmu tinggi. Gelar haji dia sandang sejak muda. Kemudian, nyantri ke mana-mana, termasuk selama lima tahun memperdalam ilmu agama di Tanah Suci. "Ada cerita saat berangkat haji dengan kapal laut itu, kapal yang dinaiki Mbah Mansyur sempat terdampar di Madura. Sambil menunggu waktu, selama di Madura digunakan untuk nyantri," tutur Gus Udin.
Di periode awal berdirinya Ponpes Al-Kamal, tempat mengaji santri masih menyatu dengan tempat tinggal Kiai Mansyur, termasuk musala yang dia dirikan. Sebagian besar santri masih warga Kunir. Ada yang menginap atau bermukim—yang kemudian disebut santri mukim. Tidak sedikit pula yang seusai ngaji langsung pulang atau santri kalong. "Paling banyak warga Kunir. Namun ada juga dari Tulungagung yang rata-rata masih kerabat sendiri," sambung Gus Udin.
Sebagaimana ciri pesantren klasik, sistematika pendidikan di Al-Kamal periode awal masih sebatas sorogan, yakni santri secara individu mendengar dawuh kiai. Juga bandongan, yaitu santri mendapat pendidikan bersama sama atau kelompok.
Ponpes Al-Kamal berubah drastis setelah Munawaroh atau Wiji, putri bungsu Mbah Mansyur, dinikahi Kiai Tohir Wijaya yang berasal dari Udanawu, tetangga Desa Kunir. Tangan dingin Tohir Wijaya mereformasi Al-Kamal yang semula bertipe pesantren salafiyah (klasik) berubah menjadi modern dengan mengusung konsep terpadu.
Kelas belajar (madrasah) didirikan. Kurikulum disusun. Sistem aturan santri dibuat. Santri mukim tidak lagi terpusat di rumah kiai, melainkan menempati asrama yang disediakan. Tidak hanya lembaga pendidikan formal, Ponpes juga memiliki badan usaha ekonomi (koperasi), memiliki panti asuhan, serta kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH).
Secara organisatoris, di Yayasan Al-Kamal, yang sebelumnya bernama Al-Mansyuriah tersebut, muncul struktur kepengurusan. Mulai yang paling tinggi kiai, kemudian berurutan di bawahnya ustaz dan pengurus. "Singkat kata, terobosan Mbah Tohir (Tohir Wijaya) dengan konsep terpadunya membawa Al-Kamal menjadi modern," ujar Gus Udin. (Solichan Arif)
Pada 1950-an, para santri yang mukim (menetap) maupun kalong (pulang) tidak lagi terbatas pada ngaji kitab dengan metodologi sorogan dan bandongan. "Mbah Tohir (Kiai Tohir Wijaya) yang pertama kali membawa konsep madrasah dengan sistem pesantren terpadu, “ ujar Aminudin Fahruda, salah seorang pengasuh Ponpes Al-Kamal Blitar yang akrab disapa Gus Udin.
Sejak itu semua berubah. Santri, kata Gus Udin, tak hanya mengaji Alquran, Hadis, serta mendaras kitab klasik. Dengan modernisasi mereka bisa meraup pengetahuan lebih luas dengan kurikulum yang lebih tertata.
Santri berkesempatan belajar ulumu al-quran (ilmu-ilmu tentang Alquran), dari tarikh al-quran hingga muqarranatu al-tafsir. Ulumu al-hadits, mulai hadits dirayah sampai muhadditsin, mendalami fikih, ushul fiqh, nahwu, sharaf, balaghah sampai mantiq. "Jumlah santri yang mukim pun semakin banyak. Tidak hanya dari Kunir, " Gus Udin bercerita.
Di luar ilmu agama, santri mengenyam pengetahuan umum. Mereka memiliki dua identitas, yakni santri sekaligus siswa sekolah formal di madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), sampai madrasah aliyah (MA)—yang itu semua manifestasi konsep terpadu.
Setiap santri wajib bersekolah formal di bawah naungan yayasan Ponpes Al-Kamal. Juga sebaliknya, setiap siswa harus hidup di lingkungan pesantren. "Bisa dikatakan Ponpes Al-Kamal dengan konsep terpadu sebagai yang pertama di Kabupaten Blitar, bahkan mungkin eks Karsidenan Kediri,” ucap Gus Udin yang juga Ketua Ansor NU Kabupaten Blitar.
Ponpes Al-Kamal dirintis oleh Kiai Mansyur di kisaran tahun 1937. Angka tahun itu mengacu pada waktu pendirian musala yang dalam perjalanannya bersalin menjadi masjid Ponpes Al-Kamal. Mbah Mansyur merupakan seorang pendatang. Sekitar 1920-an dia mulai bermukim di Desa Kunir. Saat itu desa tersebut belum semaju sekarang.
Menurut Gus Udin, Mbah Mansyur berasal dari Ponpes Mangunsari, Kabupaten Tulungagung. Bila ditelusur lebih jauh ke belakang, leluhurnya itu tersambung pada Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo. "Soal dzuriyat (keturunan) secara detail, keluarga Ponpes Mangunsari yang lebih tahu," kata Gus Udin yang tidak ingin keliru.
Sebagai keluarga besar Ponpes Mangunsari Tulungagung, Mansyur muda dikenal sebagai sosok intelektual yang alim, berilmu tinggi. Gelar haji dia sandang sejak muda. Kemudian, nyantri ke mana-mana, termasuk selama lima tahun memperdalam ilmu agama di Tanah Suci. "Ada cerita saat berangkat haji dengan kapal laut itu, kapal yang dinaiki Mbah Mansyur sempat terdampar di Madura. Sambil menunggu waktu, selama di Madura digunakan untuk nyantri," tutur Gus Udin.
Di periode awal berdirinya Ponpes Al-Kamal, tempat mengaji santri masih menyatu dengan tempat tinggal Kiai Mansyur, termasuk musala yang dia dirikan. Sebagian besar santri masih warga Kunir. Ada yang menginap atau bermukim—yang kemudian disebut santri mukim. Tidak sedikit pula yang seusai ngaji langsung pulang atau santri kalong. "Paling banyak warga Kunir. Namun ada juga dari Tulungagung yang rata-rata masih kerabat sendiri," sambung Gus Udin.
Sebagaimana ciri pesantren klasik, sistematika pendidikan di Al-Kamal periode awal masih sebatas sorogan, yakni santri secara individu mendengar dawuh kiai. Juga bandongan, yaitu santri mendapat pendidikan bersama sama atau kelompok.
Ponpes Al-Kamal berubah drastis setelah Munawaroh atau Wiji, putri bungsu Mbah Mansyur, dinikahi Kiai Tohir Wijaya yang berasal dari Udanawu, tetangga Desa Kunir. Tangan dingin Tohir Wijaya mereformasi Al-Kamal yang semula bertipe pesantren salafiyah (klasik) berubah menjadi modern dengan mengusung konsep terpadu.
Kelas belajar (madrasah) didirikan. Kurikulum disusun. Sistem aturan santri dibuat. Santri mukim tidak lagi terpusat di rumah kiai, melainkan menempati asrama yang disediakan. Tidak hanya lembaga pendidikan formal, Ponpes juga memiliki badan usaha ekonomi (koperasi), memiliki panti asuhan, serta kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH).
Secara organisatoris, di Yayasan Al-Kamal, yang sebelumnya bernama Al-Mansyuriah tersebut, muncul struktur kepengurusan. Mulai yang paling tinggi kiai, kemudian berurutan di bawahnya ustaz dan pengurus. "Singkat kata, terobosan Mbah Tohir (Tohir Wijaya) dengan konsep terpadunya membawa Al-Kamal menjadi modern," ujar Gus Udin. (Solichan Arif)
(ysw)