Ini Karamah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani yang Tak Masuk di Akal

Selasa, 03 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
Ini Karamah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani yang Tak Masuk di Akal
Hadrat Syaikh Abdul Qadir/Foto/Ilustrasi/Ist/mhy
A A A
HIDUP Syaikh Abdul Qadir al-Jilani diwarnai kisah-kisah kesalehan serta karamahnya . Pembantu Syaikh Al-Jailani, Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Fatah al-Harawi bercerita:

“Saya membantu Syaikh Abdul Qadir, selama 40 tahun. Bila salat subuh dengan wudhunya salat isya’. Jika ia berhadas segera berwudhu dan salat sunat dua rakaat. Setelah salat isya’ ia berkhalwat dan tidak ada seorangpun yang dapat menggangunya hingga terbit fajar. Beberapa kali khalifah datang ke rumahnya namun tak pernah berhasil menemuinya.”

Pernyataan Ibnu al-Fatah ini dikutip Imam al-Sya’roni dalam kitabnya yang berjudul Thabaqat al-Kubra. ( )

Selanjutnya Ibnu al-Fatah menceritakan: “Saya pernah bermalam di rumah Syaikh, dan saya melihat ia salat sunnat di awal malam dan berzikir hingga sepertiganya malam yang awal.

Kemudian ia membaca: Al-Muhithu (Dia-lah yang meliputi), Al-Rabbu (Dia-lah yang membimbing), Al-Syahidu (Dia-lah Dzat yang menyaksikan sehingga tak ada satu barangpun yang ghaib bagi-Nya), Al-Hasibu (Dia-lah Dzat yang mencukupi dan memperhatikan segala hal yang telah diciptakan-Nya, dengan seteliti-telitinya), Al-Fa’alu (Dia-lah Dzat yang maha mengerjakan), Al-Khaliqu (Dia-lah Dzat yang menciptakan segalanya), Al-Khalaqu (lihat : Al-Khaliqu), Al-Bari’u (Dia-lah yang merencanakan segala sesuatu sebelum terjadi), Al-Mushawwiru (Dia-lah menciptakan segala bentuk dan rupa).

Kemudian beliau salat dan membaca Al-Qur’an sampai habis sepertiganya malam yang kedua”. ( )

Sikapnya kepada Khalifah
Al-Jilani dikenal tidak mau mencari muka kepada kaum elit, baik kepada orang-orang kaya para pembesar kerajaan. Pernah suatu ketika ia didatangi oleh Khalifah , ia tidak langsung menemuinya tetapi ditinggalkan beberapa waktu dalam khalwatnya.

Diceritakan oleh Abdullah al-Mashalli bahwa pernah suatu ketika al-Mustanjid Billah salah seorang khalifah Abasiyah (555-566 H) datang ke rumah al-Jilani guna meminta nasehat. Ia meminta sesuatu yang bisa menentramkan hatinya, yaitu buah apel yang langka di tanah Irak . Lalu al-Jilani mengadahkan tangannya ke langit memohon kepada Allah, maka sekejap itupun dua buah apel tergenggam di tangannya. Maka diberikanlah sebuah untuk khalifah dan sebuah lagi untuk dirinya. ( )

Setelah apel dikupas dari tangan al-Jilani terciumlah bau harum dan manis tetapi anehnya kupasan khalifah tercium bau busuk dan penuh dengan ulat. Lalu khalifah terkejut seraya bertanya, "Kenapa begini wahai Syaikh?"

Beliau menjawab, "Ia busuk dan berulat karena dijamah oleh tangan seorang zalim dan ia harum dan wangi karena dijamah oleh seorang wali Allah."

Konon sejak itu khalifah taubat dan menjadi pengikutnya yang setia.

Al-Jilani benar-benar tidak takut akan murka khalifah. Padahal, pada masa itu, jika seorang berani mencela perbuatan khalifah, maka akan mendapat hukuman yang berat. ( )

Kisah lainnya, Abul Husein Ali Husni Nadwi mengungkap dalam Kitabnya Rijal al-Fikri wa’l-Da’wah fi’l-Islam. Dalam buku ini diceritakan ketika khalifah al-Muktadi Liamrillah (467-487 H) mengangkat Abu al-Wafa’ Yahya bin Said bin Yahya al-Mudhafar untuk menjadi hakim (qadhi), maka al-Jilani menyerang habis-habisan dalam ceramahnya: “Engkau menjadi penguasa atas kaum muslimin dengan cara yang zalim. Apa tanggung jawabmu di sisi di akhirat kelak?”.

Maka khalifah pun mendadak menangis dan seketika itu juga Abu al-Wafa’ dipecatnya.

Sultannya Para Wali
Tentang karakteristiknya yang mulia ini, al-Jilani mendapat julukan yang tinggi. Yusuf al-Nabhani, dalam bukunya Jami’u Karamat Auliya menyebutnya sebagai sultannya para wali (sulthan al-auliya’) dan imamnya para sufi (imam al-asfiya’).

Demikian pula Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Taimiyah, yang dinukil secara mutawatir mengatakan, bahwa al-Jilani mempunyai banyak karamah melebihi para wali di masanya.

karamah itu adakalanya digunakan untuk sesuatu yang luar biasa (Khariq al-‘adah) yang terjadi pada diri seseorang yang saleh atau wali sebagai anugerah dari Allah SWT, untuk menunjukkan ketinggian kedudukan orang tersebut di sisi-Nya sebagaimana mukjizat para Nabi.

Para pengikutnya meyakini karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang terpenting adalah menghidupkan hati dan jiwa yang mati, menanamkan keimanan, menanamkan rasa takut kepada Allah SWT, serta menyalakan jiwa untuk berbakti kepada-Nya. ( )

Secara metaforis disebutkan, Al-Sya’rani mengatakan bahwa ia tidak pernah dihinggapi lalat sebagaimana Rasullah SAW, karena kemuliannya.

Karamah al-Jilani
Syaikh Yusuf ibn ‘Ismail al-Nabhani dalam bukunya berjudul Jamiu Karamat al-Auliya’ menyebutkan, pernah suatu ketika al-Jilani sedang duduk dan hendak berwudhu, tiba-tiba ada burung mengotorinya, maka seketika itu juga burung itu mati. Melihat keadaan itu maka al-Jilani cepat-cepat membersihkan pakaiannya dan kemudian pakaian itu disedekahkan kepada fakir miskin sebagai tebusan burung yang mati.

Seraya ia berkata, "seandainya aku berdosa karena burung ini, maka pakainku inilah sebagai tebusannya. Ia juga menghidupkan burung dan ayam yang sudah mati." ( )

Sedangkan Abu Ahmad Abdul Hamid dalam bukunya berjudul Jawahir al-Asani ‘Ala Lujjain al-Dani mengutip Umar Usma al-Shairofi dan Abu Muhammad Abdul Haq al-Harami, mengatakan bahwa ia juga mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bisa menaklukkan musuh dari jauh. Dengan kekuatan batinnya ia menangkap seorang dari kejauhan.

Al-Nabbani masih dalam kitabnya yang berjudul Jamiu Karamat al-Auliya’ mencontohkan tentang apa yang dikisahkan Saraj tentang Abu al-Mudhaffar al-Hasan. Al-Hasan adalah seorang pedagang besar Baghdad. Pada suatu ketika ia menghadap kepada Syaikh Hammad al-Dabbasi, seorang tokoh besar dan guru tarekat al-Jilani dengan maksud minta restu agar dalam berniaga mendapat keselamatan dan keuntungan. Tetapi Syaikh Hammad tidak memperkenankan, karena akan ada bahaya maut dan perampok yang hendak menghabiskan barang dagangannya.

Sepulang dari Syaikh Hammad pedagang tersebut bertemu al-Jilani di tengah perjalanan. Maka diceritakanlah semua yang difatwakan oleh Syaikh Hammad. ( )

Mendengar semua cerita itu, maka berkatalah al-Jilani, berlayarlah tahun ini (521 H) pasti engkau selamat dan pulang dengan membawa keuntungan yang besar. Akulah yang bertanggung jawab atas segala risikonya.

Beberapa saat kemudian Abu al-Mudhaffar pun berangkat menuju negeri Syam (Syria). Ternyata sampai di sana dagangannya laris berlaku seribu dinar, kemudian ia menuju Halb, dan di kala ia beristirahat (qadhi al-Hajat), uang dagangannya tertinggal sampai semalaman.

Dalam tidurnya ia bermimpi bahwa ia dan kafilah lainnya dirampok oleh kawanan penjahat dan dibunuhnya. Setelah bangun maka di lehernya terdapat bekas darah dan masih terasa sakitnya gorokan pisau.

Barulah kemudian ingat uangnya yang tertinggal di tempat ia berhajat. Maka segeralah ia mencarinya dan ternyata masih utuh. Dan riang gembira ia kembali menuju ke Baghdad.

Sesampainya di sana ia berkata dalam hatinya, apakah ia harus menemui Syaikh al-Dabbas dulu, karena yang paling tua, atau al-Jilani yang cocok fatwanya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan al-Dabbas di pasar sultan. Kemudian al-Dabbas berkata, temuilah dulu al-Jilani karena ia kekasih Tuhan, yang mendoakanmu sampai tujuh belas kali sehingga bahaya maut yang semestinya menimpa dirimu benar-benar hanya engkau temui dalam mimpi saja.

Begitu pula hartamu yang hilang sementara karena kelupaanmu. Lalu Abu al-Mudhaffar menemui al-Jailani. Sebelum ia (al-Mudhaffar) mengutarakan segala sesuatunya, tiba-tiba al-Jailani sudah mendahului pembicaraannya.

Ia berkata “al-Dabbas mengatakan kepadamu bahwa aku mendoakanmu tujuh belas kali. Demi tuhan sungguh aku mendoakanmu sampai tujuh puluh kali hingga kau selamat dari bahaya” ( )

Demikianlah beberapa di antara karamah al-Jilani. Cerita ini memang sulit untuk ditelaah secara rasional. Toh, banyak yang meyakini kebenarannya. Karamah memang masalah yang sublim dan luar biasa.

Mukjizat dan Karamah
Al-Qur'an memperkenalkan tiga bentuk perbuatan luar biasa, yaitu mukjizat, karamah, waqi'iyyah dan sihir. Mukjizat secara sederhana biasa diartikan sebagai perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang Nabi atau Rasul. Selain Nabi dan Rasul tidak ada orang yang mampu mengakses keajaiban ini.

Karamah biasa diartikan perbuatan luar biasa muncul dari diri seorang wali atau kekasih Tuhan. Waqi'iyyah hampir sama dengan karamah, hanya lebih banyak tampil dalam bentuk pengetahuan kejadian masa akan datang yang belum terjadi. Sedangkan sihir adalah juga perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang yang belajar dan terus berusaha memahirkan diri di dalam mengamalkan keterampilan supernatural itu.

Mukjizat, karamah, dan waqi'iyyah hanya bisa diakses oleh orang-orang yang secara konsisten membersihkan diri lahir dan batin, melakukan pengabdian tulus di dalam pembinaan masyarakat. Ciri-ciri orang yang mendapatkan mukjizat dan karamah tidak pernah memperkenalkan diri dengan mendemonstrasikan kelebihan yang dianugrahkan Tuhan kepadanya.

Apalagi, mereka tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengomersialkan kelebihan yang Tuhan berikan kepadanya. Bahkan, banyak orang yang sesungguhnya mendapatkan karunia berupa karamah tetapi tidak pernah mau memperkenalkan diri ke dalam masyarakat. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3489 seconds (0.1#10.140)