Beda Pendapat Hukum Salat Id: Sunnah, Fardhu Kifayah, dan Fardhu Ain

Sabtu, 09 Mei 2020 - 03:06 WIB
loading...
A A A
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban salat Jum’at. Padahal salat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].

Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.

Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan salat Jum’at, sehingga apalagi salat Id.

Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban salat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal salat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].

Adapun argumentasi yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa salat Id hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.

Artinya : Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2].

Atau bahwa salat ‘Id merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa salat ‘Id hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap salat jenazah bahwa salat ‘Id adalah salat yang tidak didahului azan maupun iqamat (qamat) hingga mirip dengan salat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.

Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Siapa yang berpendapat salat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan salat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat salat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat salat tersebut dapat tercapai..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”. [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].

Imam Shana’ani, Imam Syaukani, Syaikh Al-Albani dan Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin berpegang kepada pendapat bahwa salat Id adalah “wajib ‘ain.

Di Lapangan atau Masjid
Pada hari raya idul fitri kita menyaksikan banyak umat Islam yang melaksanakan ibadah salat id di sebuah tanah lapang hal ini sesuai hadis rasullullah SAW yang menyatakan bahwa salat idul fitri di sebuah tanah lapang lebih afdhal daripada salat id dalam masjid

رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” (HR Abu Said)

Menurut pendapat Imam Malik salat Id baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan salat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

HM Cholil Nafis MA dalam tulisannya berjudul "Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan" yang dipublikasikan di laman Nahdlatul Ulama (23/9/2008) menjelaskan adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah salat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan salat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, karena dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya.

Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Namun demikian, menurut Cholil Nafis menunaikan salat Id di masjid lebih utama.

Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan salat Id) karena salat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan salat Id di dalam masjid.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1447 seconds (0.1#10.140)