Iktikaf di Masa Wabah? Begini Penjelasan Ustaz Farid Nu'man
loading...
A
A
A
Iktikaf (اعتكاف) berasal dari bahasa Arab "akafa" yang artinya menetap, mengurung diri. Secara umum Iktikaf dipahami sebagai ritual berdiam diri di dalam masjid untuk mencari keridhaan Allah Ta'ala.
Sebagaimana ibadah lainnya, iktikaf juga memiliki rukun, salah satunya adalah berdiam diri di masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala: (Baca Juga: Sahkah I'itikaf di Masjid Rumah untuk Hindari Covid-19? )
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Janganlah kalian mencampuri mereka (istri), sedang kalian sedang iktikaf di masjid". (QS. Al-Baqarah: ayat 187)
Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Ustaz Farid Nu'man Hasan menjelaskan hakikat iktikaf . Beliau menukil perkataan Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah mengemukakan, hakikat dari iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta'ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf. (Fiqhus Sunnah, 1/477)
Ketentuan iktikaf bagi kaum laki-laki mesti di masjid sebagaiman ijma' (kesepakatan ulama). Sedangkan bagi muslimah, para ulama mengatakan wajib di masjid, kecuali kalangan Hanafiyah mmbolehkan muslimah iktikaf di rumahnya. (Baca Juga: Di Tengah Wabah, Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan I'tikaf? )
Bagaimana Iktikaf Saat Kondisi Wabah?
Menurut Ustaz Farid Nu'man, kondisi pandemik wabah di bulan Ramadhan ini tidak memungkinkan iktikaf di masjid, maka hendaknya seorang muslim tetap beribadah, bermunajat, dan khalwat bersama Allah Ta’ala, di rumahnya. Semoga hal itu juga mendapatkan pahala dan keutamaan seperti iktikaf , sebab dia terhalang oleh udzur dan telah dihitung berdasarkan niatnya.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil dan pertimbangan:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ حَضَرَهَا وَلَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
"Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke masjid (untuk berjamaah) dan dia dapatkan jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun". (HR. An Nasa'i No 855, dishahihkan oleh Imam Al-Hakim dan Syeikh Al-Albani)
2. Abu Dzar radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
"Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan salat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya." (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa'i No. 1787. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: sahih. Lihat Takhrijul Ihya', No. 1133)
3. Dari Sahl bin Sa'ad As-Saidi radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
"Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya." (HR. Ath-Thabarani dalam Al Mu'jam Al Kabir, 6/185-186. Imam Al-Haitsami mengatakan: "Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya." (Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
"Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan." (HR. Muslim No. 130)
Sebagaimana ibadah lainnya, iktikaf juga memiliki rukun, salah satunya adalah berdiam diri di masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala: (Baca Juga: Sahkah I'itikaf di Masjid Rumah untuk Hindari Covid-19? )
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Janganlah kalian mencampuri mereka (istri), sedang kalian sedang iktikaf di masjid". (QS. Al-Baqarah: ayat 187)
Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Ustaz Farid Nu'man Hasan menjelaskan hakikat iktikaf . Beliau menukil perkataan Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah mengemukakan, hakikat dari iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta'ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf. (Fiqhus Sunnah, 1/477)
Ketentuan iktikaf bagi kaum laki-laki mesti di masjid sebagaiman ijma' (kesepakatan ulama). Sedangkan bagi muslimah, para ulama mengatakan wajib di masjid, kecuali kalangan Hanafiyah mmbolehkan muslimah iktikaf di rumahnya. (Baca Juga: Di Tengah Wabah, Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan I'tikaf? )
Bagaimana Iktikaf Saat Kondisi Wabah?
Menurut Ustaz Farid Nu'man, kondisi pandemik wabah di bulan Ramadhan ini tidak memungkinkan iktikaf di masjid, maka hendaknya seorang muslim tetap beribadah, bermunajat, dan khalwat bersama Allah Ta’ala, di rumahnya. Semoga hal itu juga mendapatkan pahala dan keutamaan seperti iktikaf , sebab dia terhalang oleh udzur dan telah dihitung berdasarkan niatnya.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil dan pertimbangan:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ حَضَرَهَا وَلَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
"Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke masjid (untuk berjamaah) dan dia dapatkan jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun". (HR. An Nasa'i No 855, dishahihkan oleh Imam Al-Hakim dan Syeikh Al-Albani)
2. Abu Dzar radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
"Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan salat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya." (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa'i No. 1787. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: sahih. Lihat Takhrijul Ihya', No. 1133)
3. Dari Sahl bin Sa'ad As-Saidi radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
"Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya." (HR. Ath-Thabarani dalam Al Mu'jam Al Kabir, 6/185-186. Imam Al-Haitsami mengatakan: "Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya." (Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
"Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan." (HR. Muslim No. 130)