Thiyarah: Berpikir Sial yang Sangat Berbahaya
loading...
A
A
A
TATHAYYUR atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu. Diambil dari kalimat: زَجَرَ الطَّيْرَ (menerbangkan burung). Bisa juga bermakna sikap menyalahkan sesuatu yang lain karena kesialan yang sedang menimpanya atau kegagalan yang sedang dihadapinya. Dampak negatifnya adalah berputus asa.
Ustaz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo, dalam Ngaji Ramadhan yang disiarkan laman resmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menjelaskan thiyarah atau tathayyur didefinisikan dengan maa yutasyaa amu bihi. Yakni sesuatu yang dianggap menjadi penyebab kesialan. Thiyarah merupakan sikap pesimistis terhadap kondisi atau keadaan yang dihadapinya.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah SAW menyampaikan, tiadalah seorang mukmin terjerembab dalam lubang (juhrun) yang sama dua kali.
Masalah thiyarah disebut dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim (muttafaqun alaihi) sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ وَالْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ. متفق عليه
Dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan pikiran yang positif, yaitu perkataan yang baik.”
Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’.
Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.”
Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menjelaskan tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya.
Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW), karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla. ( )
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H), “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan.
Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:
Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.”
Ibnul Qayyim menuturkan, “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya.
Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 131]
Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) dalam tafsirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’
Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya.
Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: “Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, dan keburukan serta bencana kaum Fir’aun dan yang lainnya tidak lain adalah ketetapan yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka menuduh Musa AS dan pengikutnya sebagai penyebabnya.”
( )
Thiyarah termasuk syirik yang menafikkan kesempurnaan tauhid , karena ia berasal dari apa yang disampaikan setan berupa godaan dan bisikannya.
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
Hadis tersebut diriwayatkan Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429). [8]. HR. Muslim (no. 537).
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah SAW: “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.”
Lalu beliau SAWbersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” HR. Muslim (no. 537).
Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.
Rasulullah SAW kemudian menerangkan permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya mereka mengetahui bahwa Allah SWT tidak memberikan kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan.
Supaya hati mereka menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang Mahasuci.
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau SAW menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).
Seorang mukmin seharusnya memiliki integritas pribadi yang baik, yakni jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab serta setia pada nilai-nilai moral yang ada.
Allah SWT melengkapi manusia dengan segala potensinya masing-masing. Sekaligus adanya suatu tantangan untuk mencapai kesuksesannya. Kemampuan akal sebagai alat berfikir untuk memilih dan memilah, selanjutnya dapat memutuskan terhadap langkah berikutnya yang harus dilakukan.
Seperti orang yang sedang bermain catur, konsentrasi dan waspada terhadap berbagai keadaan, juga memiliki strategi untuk dapat tetap survive dalam menjalani kehidupan.
Dengan potensi masing-masing tersebut, diharapkan tidak ada manusia yang terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi. Al-Islam mengajarkan untuk kita selalu berusaha (ikhtiar) dengan mengerahkan segala potensi tersebut.
Kesabaran untuk mengikuti tahapan-tahapan menuju keberhasilan harus selalu diupayakan, kadang jalan ini sangat licin untuk dilalui, jika tidak berhati-hati bisa jadi terpeleset dan bahkan terpelanting.
Kadang pula terjal dan berbatu yang jika tidak waspada akan terantuk batu dan berdarah. Kadang pula kita berhadapan dengan seolah-olah jalan buntu, tetapi pasti jika kita masih diberi kesempatan hidup, berarti jalan alternatif itu juga telah disediakan.
Pantang bagi seorang mukmin untuk berputus asa. Sekecil apapun daya dan kemampuan yang tersisa harus dikerahkannya.
Walaupun terkadang dengan susah-payah. Maka Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-hamba-Nya. Usaha yang tetap dalam nilai-nilai kebenaran. Bukan yang memalui jalan pintas dengan menghalalkan segala cara dan upaya. Karena yang ingin kita dapatkan bukanlah sebanyak-banyaknya semata, tetapi yang lebih penting adalah sebersih-bersihnya.
Kambing Hitam
Menurut Ustaz Muhammad Hidayatulloh, selalu mencari kambing hitam setiap menghadapi masalah bukanlah jawaban. Negatif thinking atau berburuk sangka bukanlah solusi yang tepat. Karena akan menimbulkan sifat pesimis di tengah kehidupan yang semakin kompetitif.
Positif thinking dan visioner merupakan pribadi yang harus dibangun, memiliki jiwa yang penuh optimistis menatap masa depan gemilang.
Tiada kesialan disebabkan oleh sesuatu. Tetapi tengoklah ke dalam diri kita, di situlah terdapat penyebabnya. Selalu semangat untuk terus bergerak maju, berjuang dan selalu berjuang, insya Allah jika jalan yang kita lalui adalah benar, pasti kita akan memetik buahnya.
Menurutnya, Thiyarah merupakan keyakinan yang sangat berbahaya. Maka haram hukumnya.
Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah SWT
2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.
Ustaz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo, dalam Ngaji Ramadhan yang disiarkan laman resmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menjelaskan thiyarah atau tathayyur didefinisikan dengan maa yutasyaa amu bihi. Yakni sesuatu yang dianggap menjadi penyebab kesialan. Thiyarah merupakan sikap pesimistis terhadap kondisi atau keadaan yang dihadapinya.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah SAW menyampaikan, tiadalah seorang mukmin terjerembab dalam lubang (juhrun) yang sama dua kali.
Masalah thiyarah disebut dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim (muttafaqun alaihi) sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ وَالْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ. متفق عليه
Dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan pikiran yang positif, yaitu perkataan yang baik.”
Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) berkata: “Dahulu, mereka suka menerbangkan atau melepas burung, jika burung itu terbang ke kanan, maka mereka menamakannya dengan ‘saa-ih’, bila burung itu terbang ke kiri, mereka namakan dengan ‘baarih’. Kalau terbangnya ke depan disebut ‘na-thih’, dan manakala ke belakang, maka mereka menyebutnya ‘qa-id’.
Sebagian kaum bangsa Arab menganggap sial dengan ‘baarih’ (burungnya terbang ke kiri) dan menganggap mujur dengan ‘saa-ih’ (burungnya terbang ke kanan) dan ada lagi yang berpendapat lain.”
Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menjelaskan tathayyur (merasa sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya.
Semua itu diharamkan dalam syari’at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW), karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung dan celaka. Keyakinan seperti ini jelas menyalahi keyakinan terhadap taqdir (ketentuan) Allah Azza wa Jalla. ( )
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (wafat th. 1421 H), “Tathayyur adalah menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Seperti yang dilihat yaitu, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan.
Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:
Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.”
Ibnul Qayyim menuturkan, “Orang yang bertathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya.
Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebajikan-pent.).”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 131]
Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) dalam tafsirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan bahwa apabila pengikut Fir’aun mendapat keselamatan, kesuburan, keuntungan, kemakmuran dan banyak rizqi, serta menemukan kesenangan duniawi, mereka mengatakan: ‘Kami memang lebih pantas mendapatkan semua ini.’
Sebaliknya, manakala tertimpa kejelekan berupa kekeringan, bencana dan musibah, mereka bertathayyur kepada Musa Alaihissallam dan orang-orang yang besertanya, yakni melemparkan penyebabnya kepada Musa dan orang-orangnya.
Mereka mengatakan: ‘Sejak kedatangan Musa, kita kehilangan kemakmuran, kesuburan dan tertimpa krisis.’”
Baca Juga
( )
Thiyarah termasuk syirik yang menafikkan kesempurnaan tauhid , karena ia berasal dari apa yang disampaikan setan berupa godaan dan bisikannya.
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
Hadis tersebut diriwayatkan Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham’aan no. 1427), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas’ud. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429). [8]. HR. Muslim (no. 537).
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah SAW: “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.”
Lalu beliau SAWbersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu.’” HR. Muslim (no. 537).
Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.
Rasulullah SAW kemudian menerangkan permasalahan tersebut kepada umatnya tentang kesesatan tathayyur supaya mereka mengetahui bahwa Allah SWT tidak memberikan kepada mereka suatu alamat atau tanda atas kesialan, atau menjadikannya sebab bagi apa yang mereka takutkan dan khawatirkan.
Supaya hati mereka menjadi tenang dan jiwa mereka menjadi damai di hadapan Allah Yang Mahasuci.
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau SAW menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir da-lam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).
Seorang mukmin seharusnya memiliki integritas pribadi yang baik, yakni jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab serta setia pada nilai-nilai moral yang ada.
Allah SWT melengkapi manusia dengan segala potensinya masing-masing. Sekaligus adanya suatu tantangan untuk mencapai kesuksesannya. Kemampuan akal sebagai alat berfikir untuk memilih dan memilah, selanjutnya dapat memutuskan terhadap langkah berikutnya yang harus dilakukan.
Seperti orang yang sedang bermain catur, konsentrasi dan waspada terhadap berbagai keadaan, juga memiliki strategi untuk dapat tetap survive dalam menjalani kehidupan.
Dengan potensi masing-masing tersebut, diharapkan tidak ada manusia yang terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi. Al-Islam mengajarkan untuk kita selalu berusaha (ikhtiar) dengan mengerahkan segala potensi tersebut.
Kesabaran untuk mengikuti tahapan-tahapan menuju keberhasilan harus selalu diupayakan, kadang jalan ini sangat licin untuk dilalui, jika tidak berhati-hati bisa jadi terpeleset dan bahkan terpelanting.
Kadang pula terjal dan berbatu yang jika tidak waspada akan terantuk batu dan berdarah. Kadang pula kita berhadapan dengan seolah-olah jalan buntu, tetapi pasti jika kita masih diberi kesempatan hidup, berarti jalan alternatif itu juga telah disediakan.
Pantang bagi seorang mukmin untuk berputus asa. Sekecil apapun daya dan kemampuan yang tersisa harus dikerahkannya.
Walaupun terkadang dengan susah-payah. Maka Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-hamba-Nya. Usaha yang tetap dalam nilai-nilai kebenaran. Bukan yang memalui jalan pintas dengan menghalalkan segala cara dan upaya. Karena yang ingin kita dapatkan bukanlah sebanyak-banyaknya semata, tetapi yang lebih penting adalah sebersih-bersihnya.
Kambing Hitam
Menurut Ustaz Muhammad Hidayatulloh, selalu mencari kambing hitam setiap menghadapi masalah bukanlah jawaban. Negatif thinking atau berburuk sangka bukanlah solusi yang tepat. Karena akan menimbulkan sifat pesimis di tengah kehidupan yang semakin kompetitif.
Positif thinking dan visioner merupakan pribadi yang harus dibangun, memiliki jiwa yang penuh optimistis menatap masa depan gemilang.
Tiada kesialan disebabkan oleh sesuatu. Tetapi tengoklah ke dalam diri kita, di situlah terdapat penyebabnya. Selalu semangat untuk terus bergerak maju, berjuang dan selalu berjuang, insya Allah jika jalan yang kita lalui adalah benar, pasti kita akan memetik buahnya.
Menurutnya, Thiyarah merupakan keyakinan yang sangat berbahaya. Maka haram hukumnya.
Pengharaman thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
1. Dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada selain Allah SWT
2. Thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantar kepada perbuatan syirik besar.
(mhy)