Dua Macam Manusia Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
A
A
A
SYAIKH Abdul Qadir Al-Jilani menyebut di dunia ini ada dua macam manusia. Yang pertama ialah manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan duniawi. Yang kedua ialah manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya. (
)
Berikut selengkapnya penuturan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya yang berjudul Futuh Al-Ghaib :
Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan itu.
Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup, sehingga ia hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tak pernah menikmati sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan kelezatannya.
Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tak pernah mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya. ( )
Nah, jika ia telah tahu bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, memajukan dan memundurkan – jika ia telah tahu semua ini, maka ia tak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bangga karenanya, juga tak berputus asa akan kebahagiaan di kala duka.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya.
Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmatNya. Tentu, seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang bagus dan kesenangan meski sedikit. ( )
Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia telah mereguk kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah mengaruniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih-sayang dan kemuliaan. Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang bayi yang disuapi, yang tak berdaya, yang tak berupaya keras di dunia ini dan di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya bagian bawah isi bejana.
Nah, patutlah bagi sang hamba yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tak merasa aman dari cobaan-Nya, untuk tak merasa yakin akan kekekalannya, agar tak lupa bersyukur atasnya. Nabi Suci saw. berkata: “Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas; maka jinakkanlah ia dengan kebersyukuran.” ( )
Jadi, mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang Mahapemurah, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tak mengklaim atas-Nya, tak mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nazar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang membutuhkan , yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan.
Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri
dari hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tubuhnya dedahanan dan dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh lewat berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat, ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, dan menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman surga bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq, syahid dan shalih – inilah suatu kebersamaan yang indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai embusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas manusia – kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang pula berupa pemuliaan maqam ruhani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan semacam itu tak dimaksudkan untuk menghancurkan dan mencampakkannya ke dasar neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia cuma-cuma, sebagai pahala baginya, dari berbagai pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah, bila orang ini menjadi bersih rohani dan jasmani, dan hatinya menjadi tersucikan, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat – di dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian perintahperintah.
"Cobaan yang berupa hukuman menunjukkan adanya kekurangsabaran atas cobaan-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang. Cobaan yang berupa pencucian dan penyirnaan kelemahan menunjukkan maujudnya kesabaran, ketak-mengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah, ketakengganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan maqam menunjukkanadanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan lelangit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.. ( )
Berikut selengkapnya penuturan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya yang berjudul Futuh Al-Ghaib :
Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan itu.
Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup, sehingga ia hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tak pernah menikmati sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan kelezatannya.
Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tak pernah mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya. ( )
Nah, jika ia telah tahu bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, memajukan dan memundurkan – jika ia telah tahu semua ini, maka ia tak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bangga karenanya, juga tak berputus asa akan kebahagiaan di kala duka.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya.
Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmatNya. Tentu, seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang bagus dan kesenangan meski sedikit. ( )
Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia telah mereguk kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah mengaruniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih-sayang dan kemuliaan. Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang bayi yang disuapi, yang tak berdaya, yang tak berupaya keras di dunia ini dan di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya bagian bawah isi bejana.
Nah, patutlah bagi sang hamba yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tak merasa aman dari cobaan-Nya, untuk tak merasa yakin akan kekekalannya, agar tak lupa bersyukur atasnya. Nabi Suci saw. berkata: “Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas; maka jinakkanlah ia dengan kebersyukuran.” ( )
Jadi, mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang Mahapemurah, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tak mengklaim atas-Nya, tak mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nazar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang membutuhkan , yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan.
Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri
dari hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tubuhnya dedahanan dan dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh lewat berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat, ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, dan menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman surga bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq, syahid dan shalih – inilah suatu kebersamaan yang indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai embusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas manusia – kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang pula berupa pemuliaan maqam ruhani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan semacam itu tak dimaksudkan untuk menghancurkan dan mencampakkannya ke dasar neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia cuma-cuma, sebagai pahala baginya, dari berbagai pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah, bila orang ini menjadi bersih rohani dan jasmani, dan hatinya menjadi tersucikan, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat – di dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian perintahperintah.
"Cobaan yang berupa hukuman menunjukkan adanya kekurangsabaran atas cobaan-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang. Cobaan yang berupa pencucian dan penyirnaan kelemahan menunjukkan maujudnya kesabaran, ketak-mengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah, ketakengganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan maqam menunjukkanadanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan lelangit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.. ( )
(mhy)