Kisah Berkesan Bersama Habib Thahir Al-Kaff Dipertemukan Wali Mastur (2)

Sabtu, 05 Desember 2020 - 19:19 WIB
loading...
Kisah Berkesan Bersama Habib Thahir Al-Kaff Dipertemukan Wali Mastur (2)
Ustaz Miftah el-Banjary (kiri) ketika menemani Al-Habib Thahir bin Abdullah Al-Kaff Tegal, Jawa Tengah di Kairo Mesir Tahun 2013 silam. Foto/Ist
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab
Pensyarah Kitab Dalail Khairat

Bakda Maghrib , saya sudah bersiap. Saya turun lift. Ternyata di lobi hotel, Habib Thahir telah menunggu dan siap berangkat. Tak lama kemudian, partner saya Pak Asep juga telah ada menyusul di sana. Jadilah, kami berempat siap menuju kawasan Rab'ah.

Saya keluar hotel untuk mencari taksi. Anehnya, malam itu tak seperti biasa sangat sulit menemukan taksi yang lalu lalang. Kalau pun ada taksi yang lewat mereka tak mau berhenti.

( )

Sekiranya ada yang berhenti, si sopir bertanya, "Raieh fien? Mau kemana tujuannya?" Saya jawab singkat, "Rab'ah Syarie Thayran!"

Si sopir menggelengkan kepala tanda tak mau. Begitulah bahasa isyarat orang Mesir pertanda tak mau atau tak suka. Si sopir langsung tancap gas.

Hampir lebih dari setengah jam, bahkan hampir satu jam, saya belum menemukan taksi. Sementara Pak Asep keluar menemui saya dengan perasaan gelisah. Dia tanya, Gimana tadz, Habib sudah nungguin dari tadi di lobi, katanya.

Saya bilang, sampai sekarang belum ada taksi yang mau mengantarkan ke sana. Kata Pak Asep lagi, "Kata Habib, meskipun mahal bayarannya tidak masalah. Bayar saja. Habib yang bayar ongkosnya!"

Iya saya bilang lagi, "Ini tidak ada taksi yang mau ke sana. Apa mungkin ada kabar bahwa malam ini terjadi demo besar-besaran di kawasan Rab'ah ya?" ungkap saya pada Pak Asep dengan sedikit menghela nafas.

Tak lama kemudian, sejurus sebuah taksi berhenti. Si sopir membuka kaca dan sedikit mendongak kepala dari dalam mobil, dia bertanya, "Raieh fien?"

"Rab'ah, syarie Thayran!" teriak saya.

Dia menggeleng kepala. Terdiam sejenak. Dia menghela nafas panjang. "Wallah zahmah! Khattir!" Macet banget serius! Bahaya!!"

Dia kembali menimpali, "Tidfa' kam?" Berani bayar berapa?"

Kali ini, nego saya bukan lagi soal harga, tapi bagaimana caranya kesepakatan terjadi dan habib bisa segera menjumpai teman beliau yang telah lama menunggu.

"Aiz kam fulus?" Kamu minta bayaran berapa?" tanya saya mendekat.

"Mietain geneh!" Dua ratus pound!" jawab sopir singkat.

"Gilaa!!" Ini pemerasan namanya. Biasanya ke sana hanya 20 pound, atau paling panter 35 pound, dia mintanya sepuluh kali lipatnya."

( )

Dia bilang, "Thariq zahmah.. Fi muzhaharah.. Khatir awii.. bla bla.." berbagai alasan yang menunjukkan medan yang kami tuju ini sangat berisiko. Namun, dia berjanji akan mengawal kami sampai tujuan.

Saya bilang pada Habib, "Ada taksi bib, tapi mahal banget!"

"Sudah kita berangkat! Bismillah!!"

Kami berangkat empat orang. Di mobil taksi sedan itu kami berdesakan 5 orang. Saya duduk di depan bersama sopir. Selama perjalanan kami ngobrol.

Kebetulan saya yang sudah hampir setahun lebih meninggalkan Mesir banyak bertanya tentang kondisi Mesir terakhir.

Si sopir yang sudah mengerti tujuan kami, dia menawarkan diri untuk menunggu kami dan menjemput pulang.

Sebab, katanya kalian akan sulit menemukan taksi di tengah malam nanti, sebab banyak sopir taksi yang tidak berani bekerja di malam hari, disebabkan faktor keamanan yang tidak kondusif.

Selama 45 menit perjalanan kami tiba di Nasr City, tepatnya jalan menuju Syarie Thayran Rab'ah. Benar saja, di sana telah dibanjiri lautan massa berkumpul orasi. Banyak orang membawa alat-alat berbahaya, seperti tongkat pemukul, ger besi, rantai, pedang dan sebagainya.

[ ]

(Bersambung)!
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1686 seconds (0.1#10.140)