Kisah Sunan Ampel (1): Dari Champa Menuju Majapahit Ajarkan Falsafah Molimo
loading...
A
A
A
SESUDAH ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Perang saudara merobek-robek persatuan, Kerajaan terpecah belah. Para adipati banyak yang tak loyal kepada Prabu Brawijaya Kertabhumi. (
)
Pajak dan upeti kerajaan lebih sering dinikmati oleh para adipati dan tak sampai ke Majapahit. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya. ( )
Ratu Dwarawati, istri Prabu Brawijaya, mengetahui kerisauan hati sang suami. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
Ratu Dwarawati lalu mengajukan usul. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” ujarnya.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Champa. Bila Kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Champa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini,” sambut Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Champa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Champa, dan raja Champa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Menuju Majapahit
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menjelaskan keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syaikh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan. Beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Asal-Usul
Istri Pabu Brawijaya, Dewi Dwarawati, adalah adik Dewi Candrawulan, istri Syaikh Ibrahim Samarqandi. Sedangkan Syaikh Ibrahim sendiri adalah putra Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra.
Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra adalah ulama besar di Samarqand. Beliau seorang Ahlussunnah bermazhab Syafi’i . Syaikh Ibrahim berada di Cempa dalam rangka berdakwah atas perintah ayahnya, Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra.
Beliau kemudian diambil menantu oleh raja Champa, dinikahkan dengan Dewi Candrawulan.
Negeri Champa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Thailand atau Muangthai. Menurut Wikipedia, Kerajaan Champa merupakan kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832.
Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Pulau Hainan (Tiongkok).
Daerah Champa meliputi area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang.
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, tetapi peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Kembali ke Syaikh Ibrahim. Dari perkawinan beliau dengan Dewi Candrawulan tersebut lahirlah dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Murtadho.
Nah, dari situ terbaca bahwa Sayyid Ali Rahmatullah adalah keponakan Ratu Majapahit, Ratu Dwarawati.
Hadiah Sebidang Tanah
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang Prabu begitu menerima kedatangan Raden Rahmat.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati.
Dengan begitu Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Otomatis beliau pun menjadi salah seorang pangeran sehingga ditandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat .
Ampeldenta
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Di antaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya.
Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan dakwah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta.
Setelah itu beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut. Maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah .
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Molimo. Ini merupakan gabungan dari kata “Mo” yang berarti tidak mau, dan “limo” yang berarti lima perkara. Maka, “Molimo” adalah tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang.
Lima perkara tersebut adalah “Emoh Main” (tidak mau berjudi), “Emoh Ngumbi” (tidak mau minum yang memabukkan), “Emoh Madat” (tidak mau mengisap candu atau ganja), “Emoh Maling” (tidak mau mencuri atau kolusi), dan “Emoh Madon” (tidak mau berzina).
Setelah Molimo, Sunan Ampel kembali membuat istilah baru membangun budi pekerti luhur karena adanya budi pekerti maka sifat sopan santun, tata krama, dan perilaku baik akan menjadi tabiat. (Bersambung)
Pajak dan upeti kerajaan lebih sering dinikmati oleh para adipati dan tak sampai ke Majapahit. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya. ( )
Ratu Dwarawati, istri Prabu Brawijaya, mengetahui kerisauan hati sang suami. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
Ratu Dwarawati lalu mengajukan usul. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” ujarnya.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Champa. Bila Kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Champa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini,” sambut Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Champa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Champa, dan raja Champa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Menuju Majapahit
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menjelaskan keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syaikh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan. Beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Asal-Usul
Istri Pabu Brawijaya, Dewi Dwarawati, adalah adik Dewi Candrawulan, istri Syaikh Ibrahim Samarqandi. Sedangkan Syaikh Ibrahim sendiri adalah putra Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra.
Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra adalah ulama besar di Samarqand. Beliau seorang Ahlussunnah bermazhab Syafi’i . Syaikh Ibrahim berada di Cempa dalam rangka berdakwah atas perintah ayahnya, Syaikh Jamalluddin Jumadil Kubra.
Beliau kemudian diambil menantu oleh raja Champa, dinikahkan dengan Dewi Candrawulan.
Negeri Champa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Thailand atau Muangthai. Menurut Wikipedia, Kerajaan Champa merupakan kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832.
Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Pulau Hainan (Tiongkok).
Daerah Champa meliputi area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang.
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, tetapi peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Kembali ke Syaikh Ibrahim. Dari perkawinan beliau dengan Dewi Candrawulan tersebut lahirlah dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Murtadho.
Nah, dari situ terbaca bahwa Sayyid Ali Rahmatullah adalah keponakan Ratu Majapahit, Ratu Dwarawati.
Hadiah Sebidang Tanah
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang Prabu begitu menerima kedatangan Raden Rahmat.
Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati.
Dengan begitu Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Otomatis beliau pun menjadi salah seorang pangeran sehingga ditandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat .
Ampeldenta
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Di antaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya.
Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan dakwah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta.
Setelah itu beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut. Maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah .
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Molimo. Ini merupakan gabungan dari kata “Mo” yang berarti tidak mau, dan “limo” yang berarti lima perkara. Maka, “Molimo” adalah tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang.
Lima perkara tersebut adalah “Emoh Main” (tidak mau berjudi), “Emoh Ngumbi” (tidak mau minum yang memabukkan), “Emoh Madat” (tidak mau mengisap candu atau ganja), “Emoh Maling” (tidak mau mencuri atau kolusi), dan “Emoh Madon” (tidak mau berzina).
Setelah Molimo, Sunan Ampel kembali membuat istilah baru membangun budi pekerti luhur karena adanya budi pekerti maka sifat sopan santun, tata krama, dan perilaku baik akan menjadi tabiat. (Bersambung)
(mhy)