Istri dan Pekerjaan 'Domestik' Rumah Tangga Menurut Syariat

Selasa, 15 Desember 2020 - 09:17 WIB
loading...
Istri dan Pekerjaan Domestik Rumah Tangga Menurut Syariat
Ketika istri melakukan pekerjaan rumah dengan senang hati dan penuh ikhlas maka dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT karena termasuk bagian dari amal saleh walaupun bukan tugasnya. Foto ilustrasi/istimewa
A A A
Dalam kehidupan rumah tangga , suami dan istri memiliki kedudukan dan kewajibannya masing-masing. Bahkan, syariat Islam telah mengatur sedemikian rupa tugas dan kewajiban seorang suami maupun istri. Tentang peran istri dalam rumah tangga, Allah Subhanahuwa ta'ala memerintahkan para suami untuk memperlakukannya dengan cara ma'ruf.

Seperti disebutkan dalam firman-Nya :

وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف

“Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)

Dan firman-Nya

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

“Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqarah: 228)

(Baca juga : Larangan Keras Bagi Seorang Muslim Menerima Perkataan yang Mengadu Domba )

Dan yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat-ayat ini, adalah sesuatu yang dikenal dan berlaku di kebiasaan masyarakat muslimin dan tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

Namun yang seringkali menjadi pertanyaan terutama dari kalangan aktivis perempuan, apakah benar bahwasanya pekerjaan rumah seperti memasak dan mencuci dan selainnya adalah kewajiban seorang istri di rumah? Apakah istri berdosa jika dia tidak menaati suaminya jika ia menolak mengerjakan pekerjaan rumah tangganya?

Dalam sejumlah tulisan banyak disebutkan bahwa kewajiban seorang istri adalah sekedar istimta’, yaitu memberikan pemenuhan kebutuhan biologis kepada suami. Lainnya tidak. Hal itu memang masyhur dalam sejumlah kitab lintas Mazhab Fikih.

(Baca juga : Muslim Harus Memilih Jalan Hidup yang Menuju ke Surga )

Para pengikut Mazhab Hanbali misalnya, berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri untuk pekerjaan domestik semisal membuat adonan, membuat roti, atau memasak. Pendapat senada juga datang dari para pengikut Mazhab Imam Syafi’i seperti yang tertuang dalam kitab al-Majmu’ (juz 16, edisi Maktabah Syamilah).

Menurut mereka, bila para istri berkhidmat pada suaminya dalam pekerjaan-pekerjaan di atas itu adalah amal terpuji (al-akhlaq al-mardliyyah), bukan sebagai kewajiban.

Menurut Ustad Ahmad Sarwat, dai dari Rumah Fikih Indonesia menyatakan bahwa ada fenomena yang aneh dan ajaib bagi para perempuan di Indonesia di mana mereka sejak kecil telah terformat menjadi seorang pembantu. Sehingga ketika akad nikah terjadi, seorang perempuan resmi menjadi pembantu rumah tangga bagi suaminya.

(Baca juga : Karena Keistimewaannya, Perempuan Dianjurkan Belajar Ilmu Fiqih )

Ustad Ahmad Sarwat juga menjelaskan bahwa justru yang menolak pemahaman ini juga datang dari kalangan perempuan. Hal ini menyadarkan bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini mengenai gambaran tugas istri merupakan pemahaman lokal budaya yang telah terbentuk selama kurun waktu yang sangat panjang.

Padahal kalau kita merujuk kepada aturan syariat Islam melalui pendapat jumhur ulama, tugas istri tidaklah seberat tugas para pembantu rumah tangga, karena IRT (ibu rumah tangga) bukan ART (asisten rumah tangga). Hanya saja secara tidak sadar selama ini kita menganggap semua ajaran ini berasal dari ajaran Islam.

Menjadi pembantu rumah tangga di rumah sendiri tidaklah salah walaupun pada dasarnya Islam tidak mewajibkannya. Ketika istri melakukannya dengan senang hati dan penuh ikhlas maka dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT karena termasuk bagian dari amal saleh walaupun bukan tugasnya.

(Baca juga : Kemenpan RB Pastikan Rekruitmen 1 Juta Guru di 2021 )

Hal ini juga menjadi nilai tambah terlebih ketika suami tidak mampu membayar pembantu atau tenaga jasa lainnya, istri boleh membantu suami untuk melakukan tugas tersebut dengan ikhlas dan tanpa paksaan.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa seorang istri memang wajib mengerjakan tugas-tugas domestik. Dasarnya adalah pada keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap rumah tangga Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu:

فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى عَلَى ابْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ ، وَعَلِيٍّ مَا كَانَ خَارِجًا مِنْ الْبَيْتِ مِنْ عَمَلٍ

Sesungguhnya Nabi SAW. menetapkan terhadap anak perempuannya, Fatimah, mengerjakan pekerjaan di rumah, sedangkan kepada Ali bin Abi Thalib pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah. (Musnad Ibnu Abi Syaibah).

(Baca juga: Makin Panas, Media China Beri Sinyal Beijing Stop Impor Batu Bara Australia )

Hadis di atas diperkuat dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra sama-sama mengeluhkan pekerjaan mereka masing-masing kepada Rasulullah SAW.

Ali bercerita kalau pekerjaannya mengambil air (dari luar rumah) yang membuat dadanya terasa sakit. Sedangkan Fatimah mengadukan keletihannya menggiling tepung yang membuat tangannya melepuh. Namun, Rasulullah SAW. membiarkan hal itu dan justru mengajarkan kepada mereka berdua wirid dan zikir yang akan membuat mereka dicintai dan dimuliakan Allah SWT.

Sikap Rasulullah SAW yang membiarkan pekerjaan Ali di luar rumah dan Fatimah di dalam rumah, menunjukkan penetapan beliau bahwa demikianlah aktivitas suami dan istri dalam Islam.

(Baca juga: Pengamat Nilai Penahanan Habib Rizieq Berlebihan )

Seorang suami memang harus bekerja mendatangkan apa yang dibutuhkan istri dari luar rumah, seperti membawakan air dan bahan makanan, sedangkan istri bekerja di sektor domestik/dalam rumah seperti menggiling tepung, memasak, dan sebagainya.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Barri menyebutkan, “Melaksanakan pekerjaan di rumah adalah wajib bagi seorang wanita meskipun sang istri memiliki kedudukan terpandang dan kemuliaan jika sang suami kesulitan (mendatangkan pembantu).”

Berkata Ibnu Hajar,

“Demikianlah Nabi SAW menetapkan Fatimah melakukan pekerjaan di rumah, sedangkan Ali melaksanakan pekerjaan di luar rumah.”

(Baca juga: Riau Gempar, Sebuah Wisma Terbakar Hebat 6 Orang Tewas Terpanggang )

Selain itu, Rasulullah juga sering meminta kepada istri-istri beliau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di sektor domestik alias di rumah tangga, seperti meminta air minum, makanan, dan lainnya.

يَا عَائِشَةُ اسْقِينَا ، يَا عَائِشَةُ أَطْعِمِينَا ، يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الشَّفْرَةَ ، وَاشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ

Wahai Aisyah tolong ambilkan minum, wahai Aisyah tolong ambilkan kami makanan, wahai Aisyah ambilkan kami pisau dan asahlah dengan batu! (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban).

‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah juga berpendapat bahwa bagi istri, adalah wajib melayani suami di rumah sekaligus mengurus rumah sesuai kemampuannya.

(Baca juga: Rouhani Tuduh Israel Bunuh Ilmuwan Nuklir Iran untuk Picu Perang )

Jika pekerjaan rumah tangga mendatangkan kesusahan bagi istri, maka suami wajib membantu untuk meringankannya. Misalnya memberikan mesin cuci atau menyewa pembantu rumah tangga untuk meringankan tugas istri di rumah.

Sebaliknya, jika pekerjaan di dalam rumah ringan dan mampu dikerjakan istri, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk mendatangkan pembantu. Bahkan, sang istri wajib untuk melaksanakan hal itu. Hal ini berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi SAW. untuk Fatimah, putrinya.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1803 seconds (0.1#10.140)