Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?

Kamis, 24 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Apakah istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa , yang besar maupun kecil? Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan bahwa para ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara mereka ada yang berpendapat, istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk bertaubat .

Di antara mereka ada juga yang berkata, istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing. ( )

"Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini," ujar Syaikh Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul at Taubat Ila Allah. Menurutnya, istighfar yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya.

Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. ( )

Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia.

Di antara dalil-dalil, kata Al-Qardhawi, adalah sebagai berikut:

Pertama. seperti telah diungkapkan dari al-Qur'an dan hadis tentang keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan maksiat?"



Kedua, istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang sangat.

Imam Ghazali berkata, istighfar dengan lidah juga merupakan suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati.

Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syaikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]



Ketiga
, Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا

"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik." [QS al Kahfi: 30]

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS Huud: 115]

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS az-Zilzalah: 7]

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS an-Nisa: 40]

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):

أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ

"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS Ali Imran: 195]

Dan istighfar adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang baik.



Menurut Syaikh Al-Qardhawi, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah hadis mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadis nabi [Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadis Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:

"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya."

Ia berkata yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadis itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadis Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]

Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadis itu, maka ia dapat dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan menangis. (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2791 seconds (0.1#10.140)