Soal Haul, Gus Baha: Banyak Ulama Setelah Wafat Tak Dikaji Lagi Pemikirannya

Kamis, 24 Desember 2020 - 07:50 WIB
loading...
Soal Haul, Gus Baha: Banyak Ulama Setelah Wafat Tak Dikaji Lagi Pemikirannya
Kyai Haji Ahmad Bahauddin Nursalim/Foto/ilustrasi/Ist
A A A
DALAM tradisi masyarakat Indonesia, kegiatan haul sering digelar. Dalam praktiknya, haul merupakan momentum untuk mengenang seorang tokoh, terutama para ulama yang telah wafat.

KH Hanif Muslih dalam buku "Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam" menyebutkan, secara etimologi makna haul berarti satu tahun. Penggunaan haul dalam istilah bermakna peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya tokoh masyarakat. Mereka adalah alim ulama yang sekaligus pejuang. "Kontribusi mereka bagi masyarakat membuat sosok yang selalu diingat sepanjang masa," tulisnya.

Hanya saja sebagian umat Islam menanggap haul sebagai ibadah yang diada-adakan dan bukan ajaran Rasulullah SAW atau bid'ah. (Baca juga: Polisi Panggil Empat Saksi Terkait Kerumunan pada Haul Syekh Abdul Qadir Jaelani )

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), mengingakan banyak ulama di Indonesia yang setelah wafat tidak dikaji lagi pemikirannya karena anak cucunya mengharamkan haul. "Padahal, nasib seorang yang sudah wafat tergantung anak-cucunya," tuturnya.

Pernyataan Gus Baha ini disampaikannya saat membedah kitab Adabul Alim wal Muta'allim karya KH M Hasyim Asy'ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Ustad Wijayanto, da'i yang dosen Universitas Gadjah Mada, juga sependapat dengan Gus Baha. Acara haul, menurut Ustad Wijayanto, merupakan contoh bakti anak kepada orang tua. "Ketika orang tua sudah meninggal dunia, hal terpenting yang dilakukan anak adalah memanjatkan doa untuk mendiang orang tua," ujarnya.

Acara haul itu juga menunjukkan bahwa orang tua berhasil membangun hubungan harmonis dengan sang anak semasa hidup. Sehingga anak betul-betul menghormati dan mencintai orang tuanya, bahkan ketika orang tua mereka telah berpulang ke rahmatullah. ( )

Selanjutnya, Gus Baha mengatakan, banyaknya orang mengkaji pemikiran Kiai Hasyim Asy'ari Tebuireng karena memiliki anak biologis dan ideologis yang hebat. "Andai Mbah Hasyim tidak punya putra Gus Wahid, menantu Mbah Maksum, Mbah Muhaimin yang mendirikan madrasah di Makkah dan murid yang hebat maka mungkin tidak banyak lagi orang bahas Mbah Hasyim," imbuh pakar tafsir asal Rembang ini.



Peristiwa Nabi Ibrahim

Bahayanya, Gus Baha mengingatkan pengharaman haul bukan dari ulama yang sudah wafat tersebut. Kejadian tersebut menurutnya sama dengan peristiwa Nabi Ibrahim dibela Allah dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 67.

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (QS Ali Imran ayat 67)

Di sana, Allah menjelaskan bahwa Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani . Karena sempat ada anggapan bahwa Ibrahim bapaknya orang Yahudi. Di sini, pengaruh anak-cucu yang besar pada tokoh yang sudah wafat.

Hal ini bermula ketika Nabi Ibrahim punya anak bernama Ishak. Ishak punya anak namanya Ya'qub, punya anak lagi Yusuf.

Ya'qub punya gelar Abu Israel. Dua belas suku dalam Bani Israel didasarkan atas dua belas putra Ya'qub. Saat wafat diberikan bendera Israel di makamnya. ( )

"Ini timbul anggapan seakan Ibrahim pendirinya Yahudi karena punya cucu yang dianggap bapaknya orang Yahudi, identik dengan Israel. Sehingga Allah membela Ibrahim dengan kata Ma Kana Ibrahimu Yahudiyan," beber Gus Baha.

Kejadian lainnya, menurut Gus Baha, yaitu fenomena redupnya cahaya keilmuan Imam Laits bin Sa'ad. Nama aslinya Abu Harits Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman, seorang ulama, ahli fikih, perawi hadis dan cendekiawan Muslim yang hidup pada kekuasaan Bani Umayyah.

Namun, karena muridnya tidak pandai dan tidak ada dokumentasi karyanya maka lebih terkenal Imam Malik. Ini sangat disayangkan.

"Imam Syafi'i pernah mengkritik murid-murid Imam Laits karena muridnya tidak mendokumentasikan karya gurunya. Padahal saat itu Imam Laits dalam ilmu fikih lebih hebat dari Imam Malik, gurunya Imam Syafi'i," tandasnya. (Baca Juga: Wabah Corona, Gus Baha: Jangan Takut dan Gelisah Berlebihan

Lihat Juga: Tausiyah Gus Baha Terkait Sikap Netral, Simak Pesannya!
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5856 seconds (0.1#10.140)