Bahaya Filsafat Terhadap Aqidah
loading...
A
A
A
Dari sini tampak filsafat telah berkembang liar, hingga mencampakkan kedaulatan Tuhan. Karena Tuhan telah berhenti sebagai pembuat jam. Setelah jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Maka, urusan hukum, kekuasaan sampai ekonomi, semuanya mengenakan logika yang harus diatur oleh manusia. Bukan lagi merujuk kitab suci.
Jadilah state, konstitusi dan banking sistem sebagai anak kandung filsafat. Yang didampingi sains modern. Era itu yang disebut modernisme. Dari sini, kebenaran ala Wahyu terpinggirkan. Hingga datang teori-teori baru dari pemikir rasionalis sebelumnya. Muncullah Martin Heideger, yang berkata keterbatasan rasio sebagai pondasi. Heideger mengatakan, rasio bisa dibuat memadai dan tidak memadai. Hingga tak layak dijadikan pijakan kebenaran.
Kemudian Ernst Junger dalam bukunya Voldunger mengupas habis sifat manusia modern yang berwatak nihilisme. Sampai pada Carl Smith yang menihilkan teori filsafat dengan filsafat. Kondisi inilah problematikan manusia modern. Karena terputus dari Wahyu, sebab cara berpikir rasio mendominasi. Hingga tak mampu lagi membaca peristiwa alam, yang kesemuanya terjebak pada rasionalitas. Imbasnya pada dunia muslim kini, yang sibuk merasionalisasi Islam, tapi tetap ketinggalan dengan barat (baca: kuffar).
Karena filsafat Islam, tak bisa menjadi jalan kembali pada kejayaan. Melainkan kembali pada tassawuf, seperti yang Ghazali maksudkan. Sebab, rasio telah menjadi tuhan baru, untuk memikirkan segalanya kini. Inilah yang dikhawatirkan Imam Ghazali dalam Tahafut al Tahafut itu. Karena dengan melebar liarnya filsafat, telah merusak Tauhid. Tentang eksistensialisme, kehadiran Alllah Subhanahu wata'ala dalam setiap peristiwa.
Dan masa puncak rasionalitas yang tengah menurun inilah, di jantung bumi Eropa kini, mencuat Syaikh Abdalqadir as Sufi, ulama besar yang mengajarkan umat untuk kembali pada tassawuf. Kembali merujuk pada Islam Sahihan, yang merujuk tiga generasi awal (Salafush Shalih atau Amal Madinah). Pondasi tassawuf, menjadi titik kunci kembali pada Islam. Karena Tauhid, diperlukan untuk memahami segala peristiwa yang berlangsung di dunia ini.
Murid-muridnya, yang bertebaran di seluruh Eropa dan barat, mendengungkan lagi tassawuf sebagai antitesa dari keliaran filsafat kini. Kembali pada eksistensialisme, yang telah dirusak pemahaman esensialisme. Maka, bukan esensi Islam yang diperlukan. Melainkan Islam yang utuh yang dihadirkan kembali. Islam tak perlu dimodernisasi mengikuti cara berpikir rasio. melainkan Islam itulah wujud untuk mendudukkan rasio pada tempatnya. Hingga wahyu menjadi pondasi utama.
(Baca Juga: Menegakkan Akidah Islam: Belajar dari Sultan Muhammad Al-Fatih)
Buku "Bahaya Filsafat Terhadap Aqidah" karya Irawan Santoso Shiddiq.
Jadilah state, konstitusi dan banking sistem sebagai anak kandung filsafat. Yang didampingi sains modern. Era itu yang disebut modernisme. Dari sini, kebenaran ala Wahyu terpinggirkan. Hingga datang teori-teori baru dari pemikir rasionalis sebelumnya. Muncullah Martin Heideger, yang berkata keterbatasan rasio sebagai pondasi. Heideger mengatakan, rasio bisa dibuat memadai dan tidak memadai. Hingga tak layak dijadikan pijakan kebenaran.
Kemudian Ernst Junger dalam bukunya Voldunger mengupas habis sifat manusia modern yang berwatak nihilisme. Sampai pada Carl Smith yang menihilkan teori filsafat dengan filsafat. Kondisi inilah problematikan manusia modern. Karena terputus dari Wahyu, sebab cara berpikir rasio mendominasi. Hingga tak mampu lagi membaca peristiwa alam, yang kesemuanya terjebak pada rasionalitas. Imbasnya pada dunia muslim kini, yang sibuk merasionalisasi Islam, tapi tetap ketinggalan dengan barat (baca: kuffar).
Karena filsafat Islam, tak bisa menjadi jalan kembali pada kejayaan. Melainkan kembali pada tassawuf, seperti yang Ghazali maksudkan. Sebab, rasio telah menjadi tuhan baru, untuk memikirkan segalanya kini. Inilah yang dikhawatirkan Imam Ghazali dalam Tahafut al Tahafut itu. Karena dengan melebar liarnya filsafat, telah merusak Tauhid. Tentang eksistensialisme, kehadiran Alllah Subhanahu wata'ala dalam setiap peristiwa.
Dan masa puncak rasionalitas yang tengah menurun inilah, di jantung bumi Eropa kini, mencuat Syaikh Abdalqadir as Sufi, ulama besar yang mengajarkan umat untuk kembali pada tassawuf. Kembali merujuk pada Islam Sahihan, yang merujuk tiga generasi awal (Salafush Shalih atau Amal Madinah). Pondasi tassawuf, menjadi titik kunci kembali pada Islam. Karena Tauhid, diperlukan untuk memahami segala peristiwa yang berlangsung di dunia ini.
Murid-muridnya, yang bertebaran di seluruh Eropa dan barat, mendengungkan lagi tassawuf sebagai antitesa dari keliaran filsafat kini. Kembali pada eksistensialisme, yang telah dirusak pemahaman esensialisme. Maka, bukan esensi Islam yang diperlukan. Melainkan Islam yang utuh yang dihadirkan kembali. Islam tak perlu dimodernisasi mengikuti cara berpikir rasio. melainkan Islam itulah wujud untuk mendudukkan rasio pada tempatnya. Hingga wahyu menjadi pondasi utama.
(Baca Juga: Menegakkan Akidah Islam: Belajar dari Sultan Muhammad Al-Fatih)
Buku "Bahaya Filsafat Terhadap Aqidah" karya Irawan Santoso Shiddiq.
(rhs)