Tidak Bersedih dengan Kematian Ulama Berarti Munafik?

Jum'at, 15 Januari 2021 - 14:54 WIB
loading...
A A A
"Kan ulama banyak! Nggak cuma dia doang", mungkin ada yang bilang begitu.

Tapi tidak seperti itu cara berfikirnya. Coba bayangkan ada jalan yang panjangnya kira-kira berkilo-kilo meter. Setiap sekian ratus meter didirikan pos sebagai tempat lampu penerang supaya orang dan rumah yang ada sekitar bisa mendapat cahaya.

Kalau di salah satu pos ada lampu yang mati, bagaimana keadaan orang sekitar pos itu? Pasti kesusahan. Dan dia harus berjjalan jauh guna mendapat cahaya yang masih menyala di pos lain. Ini jelas menyulitkan.

Begitu juga kiranya sang ulama. Ulama memang banyak tapi kesemuanya sudah punya pos dan bidang yang didalami masing-masing. Kalau ulama satu meninggal memang ada uda ulama lain yang masih ada, tapi belum tentu ulama yang tersisa itu menekuni sesuai apa yang ditekuni oleh ulama yang wafat itu.

Kalau beliau sudah wafat maka satu pos keilmuan hilang. Dan bagaimana juga nasib para murid serta warganya yang selama ini berguru dan mendapat tuntunan beliau.

Bahkan Sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu pernah berkata dalam sebuah atsar yang dikutip oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya':

موت ألف عابد قائم الليل صائم النهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله وحرامه

"Kematian seribu oranh ahli ibdah yang rajin shalat malam dan puasa di siangnya itu tidak sebanding dengan kematian seorang ulama yang mengerti halal haramnya aturan Allah Ta'ala (syariat)." (Ihya’ Ulum Al-Din 1/9)

Karena memang manfaatnya sangat jauh berbeda dan ulama punya kredit poin yang jauh lebih baik dari pada seorang ahli ibadah. Orang ahli ibadah manfaatnya buat dia sendiri, karena ibadahnya hanya bisa menyelamatkan dirinya dan pahalanya pun hanya khusus sendiri.

Berbeda dengan seorang ulama, yang manfaatnya dirasa oleh banyak orang. Bayangkan saja berapa banyak orang yang akhirnya bisa beribadah dengan baik karena tuntunan ulama tersebut. Ini juga yang telah dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadisnya:

وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

"Keutamaan orang berilmu dibanding orang yang beribadah itu seperti keutamaan bulan malam purnama diatas bintang-bintang. Dan ulama ialah ahli para waris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewarisi dinar dan dirham akan tetapi mewarisi ilmu." (HR Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud)

Orang alim seperti bulan, orang yang ahli ibadah hanya seperti bintang yang sinarnya tidak cukup menerangi semesta bumi. Berbeda dengan seorang alim yang Nabi صلى الله عليه وسلم gambarkan layaknya bulan purnama yang menyinari seluruh isi bumi. Jadi ya memang sangat layak kita bersedih untuk kemwatian seorang ulama.

Tapi dari itu semua, sangat tidak layak kalau tiba-tiba kita mengatakan seseorang itu munafik hanya karena tidak terlihat sedih. Karena sejatinya, kesedihan bukan terpancar dari linangan air mata saja. Kesedihan banyak bentuknya dan tidak melulu dengan tangisan. Pelabelan munafik bukanlah perkara sepele, terlebih lagi bahwa jika itu dilabelkan kepada saudara muslimnya sendiri.


Wallahu A'lam

Sumber:
Rumah Fiqih Indonesia
(rhs)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2054 seconds (0.1#10.140)