Belajar dari Fir'aun dan Namruz: Pemegang Kekuasaan yang Menjadi Musyrik
loading...
A
A
A
Ketika Ibrahim AS diinterogasi di hadapan orang ramai siapa yang memenggal kepala patung-patung itu, maka sambil tersenyum beliau mengatakan: "Kukira si patung besar itu, bukankah di tangannya ada kampak; tanyakanlah kepadanya!"
Mendengar jawaban yang cerdik ini rakyat kecil mulai terbuka pikiran mereka, bahwa patung-patung itu sebenarnya tiada berdaya apa-apa, bahkan tak dapat membela dirinya dengan mendustakan tuduhan yang dilemparkan Ibrahim kepadanya. Mereka segera menyatakan: "bukankah dia tidak bisa bicara?"
Tapi justru inilah yang paling ditakuti oleh setiap diktator, yaitu: Rakyat yang berpikir dan berani berbicara. Maka Namrud merasa rahasia "kesaktiannya", yang selama ini diagungkan oleh rakyat, akan terbuka, jika dialog antara rakyat --yang sudah mulai berpikir dan berbicara ini-- dengan Ibrahim AS diteruskan.
Maka demi menyelamatkan wibawa dan kedudukannya, tanpa memberikan kesempatan akan berlanjutnya dialog antara Ibrahim AS dengan rakyat ini, Namrud segera menjatuhkan hukum dibakar hidup-hidup bagi Ibrahim AS, yang dianggap telah merendahkan wibawa tuhan-tuhan (baca: Namrud dan keluarganya) nan sakti.
Di dalam sejarah kemanusiaan selanjutnya terbukti, bahwa setiap diktator dan maha diraja selalu meletakkan takhtanya di atas segala-galanya. Karena itu nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali jika bersangkutan langsung dengan kelestarian takhta itu. Maka setiap diktator harus mempunyai barisan tentara dan pengawal yang paling kuat serta sangat terlatih dalam menumpas setiap orang yang dianggap akan menyaingi atau menandingi kewibawaannya.
Seorang diktator tidak pernah bisa mentolerir hadirnya penanding wibawanya di dekatnya. Penanding-penanding ini pasti akan disingkirkan atau dimusnahkan sama sekali. Karena itu, ia akan dikelilingi hanya oleh "pendukung-pendukung (penjilat) setia".
Pendukung-pendukung ini biasanya mendapatkan imbalan yang lumayan. Imbalan ini biasanya berbentuk bahagian-bahagian kecil dari takhta (atau wewenang yang terbatas) tadi ditambah dengan jumlah yang lumayan dari dua jenis "tuhan" lainnya (harta dan wanita).
Namun sejarah juga telah berkali-kali membuktikan, bahwa akhirnya setiap diktator itu hancur oleh kekuasaan yang telah dibinanya sendiri. Lihat Hitler, Mussolini, Syah Iran, Marcos, Duvalier, dan lain-lain.
Maka setiap manusia yang 'arif pasti akan bisa merasakan, bahwa semua "tuhan" yang populer tadi itu bersifat membelenggu serta membatasi kemerdekaannya.
Kemerdekaan, yang merupakan nikmat Allah satu-satunya yang telah membedakan manusia dengan makhluk lainnya ini, sangatlah mahal jika harus dikorbankan demi mendapatkan "tuhan- tuhan" yang sangat relatif kekuasaannya ini.
Kemerdekaan, bagi manusia seperti ini, merupakan nilai dan hak asasi yang paling mahal. Oleh karena itu, setiap orang yang bisa menghargakan serta mensyukuri nikmat kemerdekaan pasti tidak akan menggadaikannya kepada "tuhan-tuhan" yang tiga tadi, betapapun cemerlang kelihatannya wibawa dan kemegahan yang mengelilingi ketiganya, konon pula kepada tuhan lain yang jauh lebih lemah dan terbatas kemampuannya. (Bersambung)
Mendengar jawaban yang cerdik ini rakyat kecil mulai terbuka pikiran mereka, bahwa patung-patung itu sebenarnya tiada berdaya apa-apa, bahkan tak dapat membela dirinya dengan mendustakan tuduhan yang dilemparkan Ibrahim kepadanya. Mereka segera menyatakan: "bukankah dia tidak bisa bicara?"
Tapi justru inilah yang paling ditakuti oleh setiap diktator, yaitu: Rakyat yang berpikir dan berani berbicara. Maka Namrud merasa rahasia "kesaktiannya", yang selama ini diagungkan oleh rakyat, akan terbuka, jika dialog antara rakyat --yang sudah mulai berpikir dan berbicara ini-- dengan Ibrahim AS diteruskan.
Maka demi menyelamatkan wibawa dan kedudukannya, tanpa memberikan kesempatan akan berlanjutnya dialog antara Ibrahim AS dengan rakyat ini, Namrud segera menjatuhkan hukum dibakar hidup-hidup bagi Ibrahim AS, yang dianggap telah merendahkan wibawa tuhan-tuhan (baca: Namrud dan keluarganya) nan sakti.
Di dalam sejarah kemanusiaan selanjutnya terbukti, bahwa setiap diktator dan maha diraja selalu meletakkan takhtanya di atas segala-galanya. Karena itu nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali jika bersangkutan langsung dengan kelestarian takhta itu. Maka setiap diktator harus mempunyai barisan tentara dan pengawal yang paling kuat serta sangat terlatih dalam menumpas setiap orang yang dianggap akan menyaingi atau menandingi kewibawaannya.
Seorang diktator tidak pernah bisa mentolerir hadirnya penanding wibawanya di dekatnya. Penanding-penanding ini pasti akan disingkirkan atau dimusnahkan sama sekali. Karena itu, ia akan dikelilingi hanya oleh "pendukung-pendukung (penjilat) setia".
Pendukung-pendukung ini biasanya mendapatkan imbalan yang lumayan. Imbalan ini biasanya berbentuk bahagian-bahagian kecil dari takhta (atau wewenang yang terbatas) tadi ditambah dengan jumlah yang lumayan dari dua jenis "tuhan" lainnya (harta dan wanita).
Namun sejarah juga telah berkali-kali membuktikan, bahwa akhirnya setiap diktator itu hancur oleh kekuasaan yang telah dibinanya sendiri. Lihat Hitler, Mussolini, Syah Iran, Marcos, Duvalier, dan lain-lain.
Maka setiap manusia yang 'arif pasti akan bisa merasakan, bahwa semua "tuhan" yang populer tadi itu bersifat membelenggu serta membatasi kemerdekaannya.
Kemerdekaan, yang merupakan nikmat Allah satu-satunya yang telah membedakan manusia dengan makhluk lainnya ini, sangatlah mahal jika harus dikorbankan demi mendapatkan "tuhan- tuhan" yang sangat relatif kekuasaannya ini.
Kemerdekaan, bagi manusia seperti ini, merupakan nilai dan hak asasi yang paling mahal. Oleh karena itu, setiap orang yang bisa menghargakan serta mensyukuri nikmat kemerdekaan pasti tidak akan menggadaikannya kepada "tuhan-tuhan" yang tiga tadi, betapapun cemerlang kelihatannya wibawa dan kemegahan yang mengelilingi ketiganya, konon pula kepada tuhan lain yang jauh lebih lemah dan terbatas kemampuannya. (Bersambung)
(mhy)