Hukum Salat dengan Pakaian yang Tipis
loading...
A
A
A
Dunia mode berkembang sangat pesat dan sangat mempengaruhi fashion muslim dan muslimah saat ini. Beragam model dan bahan selalu berubah setiap tahun. Tren hijab, khimar, gamis, abaya, sarung bahkan busana untuk ibadah salat seperti mukena atau baju koko turut dipengaruhi.
Bahan busana yang semula tebal dan berat, kini semakin ringan dan praktis seperti bahan dari kain nilon atau sifon. Sayangnya, banyak inspirasi mode malah berbenturan dengan ketentuan dan syarat syariat. Contohnya, banyak model busana muslimah yang tipis bahkan ada yang transparan. Atau bahan busana yang bagus tetapi ketat dan lain-lainnya.
Busana yang dikenakan untuk muslim dan muslimah sangat terkait dengan pelaksanaan ibadah di dalamnya, misalnya saat hendak salat. Bolehkah salat dengan pakaian tipis atau transparan? Bagaimana pula bila memakai mukena namun bahannya tipis sehingga terkesan menempel di tubuh?
Dinukil dari kitab 'Al-Qaulu Al-Mubin Fii Akhtha-I al-Mushallin', karya Syaikh Masyhur Hasan Salman diuraikan bahwa sebagaimana dilarang mengerjakan salat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat , tidak diperbolehkan juga salat dengan pakaian tipis (transparan) yang menampakkan bagian tubuh di baliknya, seperti yang dikenakan sebagian korban mode saat ini.
Termasuk dalam kategori pakaian tipis dan transparan yang tidak diperkenankan dipakai ketika salat adalah piyama, disydasy (semacam jubah berbahan tipis), dan pakaian yang terbuat dari kain nilon dan sifon.
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dengan sanad muttasil (bersambung) sebagaimana dalam shahihnya dia mengisahkan: “Seorang laki-laki menghadap Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya tentang hukum mengerjakan salat dengan mengenakan sehelai kain (pakaian) saja. Beliaupun menjawabnya dengan balik bertanya :
أَوَ كُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ؟
“Apakah tiap-tiap kalian mempunyai dua helai kain ?”
Pertanyaan serupa juga pernah disampaikan seseorang kepada Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu. Maka Umar menjawab, ‘Manfaatkanlah kelapangan rizki yang diberikan Allah. Hendaklah seseorang salat dengan mengenakan sarung dan pakaian atas, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel, atau celana panjang yang lebar dan pakaian atas, atau celana panjang dan gamis, atau celana panjang yang lebar dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis. (HR. al-Bukhari dan lainnya)
Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhu penah melihat Nafi’ salat sendirian hanya dengan mengenakan sehelai kain. Abdullah pun bertanya, ‘Bukankah Allah telah memberimu kemampuan untuk mengenakan dua helai kain? Nafi’ menjawab,’Ya.’ Abdullah bertanya lagi,‘Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan sehelai kain saja ?” Nafi’ menjawab,’Tidak’. Maka Abdullah menyatakan,’Sungguh Allah lebih berhak menjadi tujuan kita dalam menghias diri (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar)
Begitu pula tidak sepantasnya seorang muslim salat dengan memakai pakaian tidur, padahal dia pasti malu mengenakannya saat pergi ke pasar karena memang umumnya tipis dan transparan.
Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah menyatakan dalam at-Tamhid (VI/369) : “Para ulama menganjurkan orang yang mampu berpakaian untuk menghias diri dengan pakaiannya itu ketika hendak mengerjakan salat, juga dengan memakai wewangian dan bersiwak.”
Para ulama fikih pun menegaskan pada bahasan syarat-syarat sah salat, khususnya pada bahasan menutup aurat di dalam salat, bahwa penutup aurat yang disyaratkan harus tebal, tidak boleh menggunakan kain tipis yang dapat memperlihatkan warna kulit.
Hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, baik ketika salat sendirian maupun berjama’ah. Jadi, siapa pun yang auratnya terbuka ketika salat, padahal ia mampu menutupinya, maka shalatnya tidak sah, walaupun salat itu dikerjakannya sendirian dan di tempat yang gelap. Sebab, terdapat ijma’ yang menyatakan kewajiban menutup aurat di dalam salat, dan ijma’ itu disandarkan pada ayat :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak cucu Adam ! Pakailah perhiasanmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid…”(Qs. al-A’raf : 31)
Bahan busana yang semula tebal dan berat, kini semakin ringan dan praktis seperti bahan dari kain nilon atau sifon. Sayangnya, banyak inspirasi mode malah berbenturan dengan ketentuan dan syarat syariat. Contohnya, banyak model busana muslimah yang tipis bahkan ada yang transparan. Atau bahan busana yang bagus tetapi ketat dan lain-lainnya.
Busana yang dikenakan untuk muslim dan muslimah sangat terkait dengan pelaksanaan ibadah di dalamnya, misalnya saat hendak salat. Bolehkah salat dengan pakaian tipis atau transparan? Bagaimana pula bila memakai mukena namun bahannya tipis sehingga terkesan menempel di tubuh?
Dinukil dari kitab 'Al-Qaulu Al-Mubin Fii Akhtha-I al-Mushallin', karya Syaikh Masyhur Hasan Salman diuraikan bahwa sebagaimana dilarang mengerjakan salat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat , tidak diperbolehkan juga salat dengan pakaian tipis (transparan) yang menampakkan bagian tubuh di baliknya, seperti yang dikenakan sebagian korban mode saat ini.
Termasuk dalam kategori pakaian tipis dan transparan yang tidak diperkenankan dipakai ketika salat adalah piyama, disydasy (semacam jubah berbahan tipis), dan pakaian yang terbuat dari kain nilon dan sifon.
Baca Juga
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dengan sanad muttasil (bersambung) sebagaimana dalam shahihnya dia mengisahkan: “Seorang laki-laki menghadap Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya tentang hukum mengerjakan salat dengan mengenakan sehelai kain (pakaian) saja. Beliaupun menjawabnya dengan balik bertanya :
أَوَ كُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ؟
“Apakah tiap-tiap kalian mempunyai dua helai kain ?”
Pertanyaan serupa juga pernah disampaikan seseorang kepada Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu. Maka Umar menjawab, ‘Manfaatkanlah kelapangan rizki yang diberikan Allah. Hendaklah seseorang salat dengan mengenakan sarung dan pakaian atas, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel, atau celana panjang yang lebar dan pakaian atas, atau celana panjang dan gamis, atau celana panjang yang lebar dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis. (HR. al-Bukhari dan lainnya)
Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhu penah melihat Nafi’ salat sendirian hanya dengan mengenakan sehelai kain. Abdullah pun bertanya, ‘Bukankah Allah telah memberimu kemampuan untuk mengenakan dua helai kain? Nafi’ menjawab,’Ya.’ Abdullah bertanya lagi,‘Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan sehelai kain saja ?” Nafi’ menjawab,’Tidak’. Maka Abdullah menyatakan,’Sungguh Allah lebih berhak menjadi tujuan kita dalam menghias diri (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar)
Begitu pula tidak sepantasnya seorang muslim salat dengan memakai pakaian tidur, padahal dia pasti malu mengenakannya saat pergi ke pasar karena memang umumnya tipis dan transparan.
Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah menyatakan dalam at-Tamhid (VI/369) : “Para ulama menganjurkan orang yang mampu berpakaian untuk menghias diri dengan pakaiannya itu ketika hendak mengerjakan salat, juga dengan memakai wewangian dan bersiwak.”
Para ulama fikih pun menegaskan pada bahasan syarat-syarat sah salat, khususnya pada bahasan menutup aurat di dalam salat, bahwa penutup aurat yang disyaratkan harus tebal, tidak boleh menggunakan kain tipis yang dapat memperlihatkan warna kulit.
Hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, baik ketika salat sendirian maupun berjama’ah. Jadi, siapa pun yang auratnya terbuka ketika salat, padahal ia mampu menutupinya, maka shalatnya tidak sah, walaupun salat itu dikerjakannya sendirian dan di tempat yang gelap. Sebab, terdapat ijma’ yang menyatakan kewajiban menutup aurat di dalam salat, dan ijma’ itu disandarkan pada ayat :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak cucu Adam ! Pakailah perhiasanmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid…”(Qs. al-A’raf : 31)