Rahasia di Balik Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah

Minggu, 17 Mei 2020 - 15:15 WIB
loading...
Rahasia di Balik Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah
Siti Aisyah memang istimewa. Kesuciannya telah diakui Allah SWT dari atas langit ketujuh. Ilustrasi/Ist
A A A
SITI Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhma (ra) adalah wanita yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) setelah Saudah bintu Zam’ah bin Qois RA ra. ( )

Siti Aisyah memang istimewa. Kesuciannya telah diakui Allah SWT dari atas langit ketujuh. Malaikat telah menampakkan Aisyah tiga malam berturut-turut kepada Baginda Rasul sebelum beliau menikahi Siti Aisyah.

Hal tersebut sebagaimana sabda Beliau SAW:

رأيتُك في المنام ثلاث ليال ، جاء بك الملك في سرقة من حرير، فيقول : هذه امرأتك فأكشف عن وجهك فإذا أنت فيه، فأقول : إن يك هذا من عند الله يُمضه

“Aku melihatmu (Aisyah) dalam mimpiku selama tiga malam. Malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Lalu kusingkapkan penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Aku bergumam, ‘Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi pada bulan Syawal tahun 11 setelah kenabian, tepatnya dua tahun lima bulan setelah peristiwa hijrah serta setahun setelah pernikahan beliau SAW dengan Saudah bintu Zam’ah berlangsung.

Saat menikah dengan Rasulullah SAW, Siti Aisyah berumur 6 tahun. Hal itu berdasarkan sebuah hadis bahwasannya Aisyah berkata:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وبنى بي وأنا بنت تسع سنين

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. Dan beliau kumpul bersamaku ketika aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam “aṣ-Ṣiddīqah Binti aṣ-Ṣiddīq” umur Siti Aisyah ketika berbulan madu dengan Nabi tidak kurang dari 12 tahun dan tak lebih dari 15 tahun. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Sa’ad yang menerangkan bahwa Siti Aisyah dilamar pada usia 9 tahun dan bulan madu pada usia sudah baligh (15 tahun). Ketika itu, maharnya 400 dirham. (Baca Juga: Masya Allah, Mahar Nabi Kepada Khadijah Ternyata Rp1,3 Miliar
Siti Aisyah adalah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah SAW dalam keadaan masih gadis atau perawan. Dengan Siti Aisyah, hidup nabi sangat bewarna dan romantis. Bila Siti Khadijah adalah wanita dewasa yang keibuan maka sebaliknya Siti Aisyah adalah wanita muda yang energik, lincah dan cantik. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai istri nabi yang intelektualitasnnya sangat tinggi.

Beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Dr. Mahmud Ṭahhan dalam “Taisīr Muṣṭalah al-Hadīts” (2004: 244) menempatkannya sebagai sahabat dalam urutan keempat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Jumlahnya: 2210. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.(Baca Juga: Ibu Kaum Mukmin, Gus Baha: Kita Berutang Banyak kepada Sayyidah Aisyah
Hikmah
Salah satu hikmah dari pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah radhiallahu ‘anha adalah menghapus anggapan orang-orang terdahulu yang menjadi norma yang berlaku di antara mereka yaitu ketika seseorang sudah bersahabat dekat, maka status mereka layaknya saudara kandung dan berlaku hukum-hukum saudara kandung.

Ketika Rasulullah hendak menikahi Aisyah, Abu Bakar sempat mempertanyakannya, karena ia merasa apakah yang demikian dihalalkan.

عن عروة أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب عائشة إلى أبي بكر فقال له أبو بكر: إنما أنا أخوك، فقال: أنت أخي في دين الله وكتابه وهي لي حلال.

Dari Aurah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Abu Bakar untuk melamar Aisyah. Lalu Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku ini saudaramu’. Nabi menjawab, ‘Iya, engkau saudaraku dalam agama Allah dan Kitab-Nya dan ia (anak perempuanmu) itu halal bagiku’.” (HR. Bukhari).

Rasulullah hendak memutus kesalahpahaman ini dan mengajarkan hukum yang benar yang berlaku hingga hari kiamat kelak.

Menurut Muhammad Husain Haekal dalam buku "Sejarah Hidup Muhammad", pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah lebih didorong karena mereka adalah puteri sahabat dekatnya, Abu Bakar. Hal yang sama juga kemudian dilakukan dengan Hafshah Binti Umar bin Khattab ra.

“Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka,” tutur Haekal. “Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka.”

Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Nabi Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin. "Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia 9 tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil," tambah Haekal.

"Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi," ujarnya. Haekal lalu menceritakan bagaimana Umar memarahi Hafsah karena berani menentang Rasulullah, suaminya.

Umar Memarahi Hafsah
"Sungguh," kata Umar , "tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!" Dia pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar sepanjang hari."

Kata Umar selanjutnya: "Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsah. "Anakku," kataku kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah saw. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!" Hafsha menjawab: "Memang kami menentangnya."

"Engkau harus tahu," kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah saw."

Katanya lagi: "Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."

Haekal mengatakan, “Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu.” ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2614 seconds (0.1#10.140)