Ini Mengapa Ujian Bisa Berubah Menjadi Bencana yang Dahsyat
loading...
A
A
A
Semua ini terjadi ketika manusia masih di dunia, maka Rasulullah shalallaahu 'alahi wa sallam mengistilahkannya dengan fitnah dunia (fitnatul mahyaa, cobaan selagi hidup). Tentu saja ada cobaan yang lain yang lebih dahsyat ketimbang cobaan dunia, itulah yang dinamakan fitnah negeri akhirat (fitnatul mamaat: cobaan setelah kematian, di antaranya menjawab pertanyaan malaikat di alam barzakh.
Dapat menjawab berarti nikmat, tidak dapat menjawab berarti azab atau mushibah). (Sunan an-Nasaai bis Syarhil Hafizh Jalaluddin as-Suyithi wa Haasyiyatil Imam as-Sindi, 2/ 57).
Oleh karenanya, Rasulullah mengingatkan, kehidupan dunia selalu diuji dengan kenikmatan, sementara kehidupan akhirat selalu diuji dengan kepahitan. “Kelezatan dunia adalah empedunya akhirat, sedangkan kepahitan dunia adalah madunya akhirat." (HR Al-Hakim dan Ahmad dalam Washayal Ulamaa 'Inda Hudhuuril Maut, tahgieg Musthafa Abdul Gadir Atha', hlm. 102).
Sebagai Renungan
Kembali kepada ujian dunia, yaitu bencana demi bencana yang menimpa umat manusia, seyogianya menjadi bahan renungan dengan pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang semakin dekat dan merapat kepada yang mendatangkan ujian, yakni Allah Rabbunaa Taabaaraka wa Ta'ala. Itulah yang disebutkan pendekatan akidah, di mana kembalinya umat manusia kepada akidah yang benar merupakan solusi atas setiap musibah yang menimpa.
Di antara renungan yang dimaksud adalah:
1) Menjadikan semua peristiwa sebagai pembimbing peringatan yang dapat menambahkan keimanan akan kesempurnaan kuasa dan kekuatan Allah azza wa jalla serta menyakini bahwa Allahlah yang mengatur sesuai kehendakNya dan berkehendak mengadzab manusia, baik “adzab dari atas" semisal petir, halilintar yang menghancurkan dan angin topan, serta "adzab dari bawah" semisal gempa dan tanah longsor (Renungan QS Al-An'aam/ 6: 65).
2) Menjadikan semua peristiwa sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan rasa takut dikarenakan keagunganNya (Renungan QS. Al-Isra'/ 17: 59).
3) Setelah terjadinya bencana, merenungkan betapa bijaknya Allah meletakkan manusia di bumi yang tidak bergoncang ini (Renungan QS. Ghaafir/ 40: 64).
4) Menyakini bahwa bumi benar-benar milik Allah, apapun yang Dia lakukan merupakan kehendakNya (termasuk menenggelamkannya dengan bencana). (Renungan QS. Ar-Ra'd/ 13: 41).
5) Bertambahnya keyakinan dan tawakkal kepada Allah bahwa di balik peristiwa itu terdapat wasilah dan pelajaran yang dapat lebih menghubungkan hamba dengan RabbNya.
6) Menyadari bahwasanya semua musibah yang terjadi disebabkan karena dosa-dosa yang dilakukan (Renungan QS. Al-Ankabuut/ 29: 40).
7) Menjadikan bahan dorongan untuk membantu dan mendo'akan orang-orang yang dilanda musibah sebagai titik tolak pertaubatan menuju jalanNya. (Lihat: Taushiyah Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam risalahnya: “Agid Shahiihah, Solusi Atas Setiap Setelah Musibah)
'Alaa kulli hal, meminjam pepatah klasik “Tidak mungkin ada asap, kalau tak ada api, tak mungkin ada akibat (musabab), kalau tak ada sebab (sabab).”
Demikian pula datangnya berbagai bencana dan ujian yang menimpa sampai melahirkan badai petaka, semua terjadi dikarenakan tingkah laku manusia, di samping kehendak yang Maha Kuasa.
Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan kepada kaum Muhaijirin: “Wahai segenap muhajirin, ada lima perkara yang dapat menyebabkan kalian ditimpa mushibah berat, dan aku berlindung dari semuanya itu.”
Berikutnya, Rasul pun merincikan:
1. Tidaklah perbuatan fakhsya' (kriminalitas, prostitusi, perjudian, minum khamar dll.) dilakukan secara terang-terangan, melainkan Allah kirimkan penyakit yang tidak pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya.
2. Tidaklah mereka mengurangi timbangan dan sukatan (korupsi, manipulasi dan lainnya), melainkan Allah timpakan kemarau panjang dan sulitnya mendapatkan pertolongan, serta terjadinya kezaliman penguasa kepada mereka.
3. Tidaklah orang-orang kaya menahan zakat mereka, melainkan Allah tahan curahan hujan dari langit, Kalaulah Allah tidak sayang kepada binatang bumi, hujan itu tidak akan pernah diturunkan.
4. Tidaklah janji Allah dan rasulNya diingkari, melainkan Allah timpakan kesulitan berupa musuh yang akan merampas kekayaan mereka.
Dapat menjawab berarti nikmat, tidak dapat menjawab berarti azab atau mushibah). (Sunan an-Nasaai bis Syarhil Hafizh Jalaluddin as-Suyithi wa Haasyiyatil Imam as-Sindi, 2/ 57).
Oleh karenanya, Rasulullah mengingatkan, kehidupan dunia selalu diuji dengan kenikmatan, sementara kehidupan akhirat selalu diuji dengan kepahitan. “Kelezatan dunia adalah empedunya akhirat, sedangkan kepahitan dunia adalah madunya akhirat." (HR Al-Hakim dan Ahmad dalam Washayal Ulamaa 'Inda Hudhuuril Maut, tahgieg Musthafa Abdul Gadir Atha', hlm. 102).
Sebagai Renungan
Kembali kepada ujian dunia, yaitu bencana demi bencana yang menimpa umat manusia, seyogianya menjadi bahan renungan dengan pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang semakin dekat dan merapat kepada yang mendatangkan ujian, yakni Allah Rabbunaa Taabaaraka wa Ta'ala. Itulah yang disebutkan pendekatan akidah, di mana kembalinya umat manusia kepada akidah yang benar merupakan solusi atas setiap musibah yang menimpa.
Di antara renungan yang dimaksud adalah:
1) Menjadikan semua peristiwa sebagai pembimbing peringatan yang dapat menambahkan keimanan akan kesempurnaan kuasa dan kekuatan Allah azza wa jalla serta menyakini bahwa Allahlah yang mengatur sesuai kehendakNya dan berkehendak mengadzab manusia, baik “adzab dari atas" semisal petir, halilintar yang menghancurkan dan angin topan, serta "adzab dari bawah" semisal gempa dan tanah longsor (Renungan QS Al-An'aam/ 6: 65).
2) Menjadikan semua peristiwa sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan rasa takut dikarenakan keagunganNya (Renungan QS. Al-Isra'/ 17: 59).
3) Setelah terjadinya bencana, merenungkan betapa bijaknya Allah meletakkan manusia di bumi yang tidak bergoncang ini (Renungan QS. Ghaafir/ 40: 64).
4) Menyakini bahwa bumi benar-benar milik Allah, apapun yang Dia lakukan merupakan kehendakNya (termasuk menenggelamkannya dengan bencana). (Renungan QS. Ar-Ra'd/ 13: 41).
5) Bertambahnya keyakinan dan tawakkal kepada Allah bahwa di balik peristiwa itu terdapat wasilah dan pelajaran yang dapat lebih menghubungkan hamba dengan RabbNya.
6) Menyadari bahwasanya semua musibah yang terjadi disebabkan karena dosa-dosa yang dilakukan (Renungan QS. Al-Ankabuut/ 29: 40).
7) Menjadikan bahan dorongan untuk membantu dan mendo'akan orang-orang yang dilanda musibah sebagai titik tolak pertaubatan menuju jalanNya. (Lihat: Taushiyah Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam risalahnya: “Agid Shahiihah, Solusi Atas Setiap Setelah Musibah)
'Alaa kulli hal, meminjam pepatah klasik “Tidak mungkin ada asap, kalau tak ada api, tak mungkin ada akibat (musabab), kalau tak ada sebab (sabab).”
Demikian pula datangnya berbagai bencana dan ujian yang menimpa sampai melahirkan badai petaka, semua terjadi dikarenakan tingkah laku manusia, di samping kehendak yang Maha Kuasa.
Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan kepada kaum Muhaijirin: “Wahai segenap muhajirin, ada lima perkara yang dapat menyebabkan kalian ditimpa mushibah berat, dan aku berlindung dari semuanya itu.”
Berikutnya, Rasul pun merincikan:
1. Tidaklah perbuatan fakhsya' (kriminalitas, prostitusi, perjudian, minum khamar dll.) dilakukan secara terang-terangan, melainkan Allah kirimkan penyakit yang tidak pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya.
2. Tidaklah mereka mengurangi timbangan dan sukatan (korupsi, manipulasi dan lainnya), melainkan Allah timpakan kemarau panjang dan sulitnya mendapatkan pertolongan, serta terjadinya kezaliman penguasa kepada mereka.
3. Tidaklah orang-orang kaya menahan zakat mereka, melainkan Allah tahan curahan hujan dari langit, Kalaulah Allah tidak sayang kepada binatang bumi, hujan itu tidak akan pernah diturunkan.
4. Tidaklah janji Allah dan rasulNya diingkari, melainkan Allah timpakan kesulitan berupa musuh yang akan merampas kekayaan mereka.