Hukum Seputar Salat: Bersedekap Setelah I’tidal, Apa Dasarnya?
loading...
A
A
A
I’tidal adalah rukun salat yang ketujuh, yaitu posisi berdiri tegak lurus setelah melaksanakan ruku’. Di dalam hadis Abu Hamid as-Sa’idy yang diriwayatkan imam at-Turmudzi disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلَّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدَلاً. [رواه الترمذي]
Artinya: “Pernah Rasulullah SAW apabila berdiri sembahyang, kemudian beliau berkata (membaca) sami’allaahu li man hamidah dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap anggotanya kembali mengambil tempat masing-masing dengan lurus.” [HR. at-Tirmizi]
Disebutkan oleh pengarang kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Juz I halaman 658: “Abu Yusuf dan para imam (ahli fiqh) yang lain berkata: Bangun/bangkit dari ruku’ dan i’tidal dalam keadaan berdiri penuh tuma’ninah, baik itu rukun atau fardlu salat, yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.”
Selanjutnya ada hadis yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut ini:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
Artinya: “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya saat memasuki salat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah (saat mengangkat kedua tangannya) adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan sami‘llâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” (HR Muslim: 401)
Hadis di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah SAW saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja.
Melepaskan tangan
Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya
Senada dengan pendapat tersebut, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab I‘ânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.”
Dengan demikian, Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan salat.
Tidak Jelas
Mengenai hadis Wa’il bin Hajm al-Hadlrami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkannya itu yang dikutip dari kitab as-Sunan al-Mahjurah (sunah-sunah yang ditinggalkan/dibiarkan), karangan dari Anis bin Ahmad bin Thahir itu:
1. Perkataan وَوَضَعَ كَفَّيْهِ (meletakkan kedua pergelangan tangannya) tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan ke dada (bersedekap), tentu bunyi hadis itu وَوَضَعَ كَفَّيْهِ فِي صَدْرِهِ (dan meletakkan kedua pergelangannya ke dadanya).
2. Ahli hadis Muhammad Nashiruddin al-Baniy di dalam bukunya Shifatu Shalati an-Nabiy (sifat shalat Nabi) pada halaman 130 menerangkan dengan kata-kata sebagai berikut:
… عَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ: “إِنْ شَاءَ أَرْسَلَ يَدَيْهِ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوعِ وَ إِنْ شَاءَ وَضَعَهُمَا” لِأَنَّهُ لاَ يَرْفَعُ ذَلِكَ إِلَي النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ إِنَّمَا قَالَهُ بِاجْتِهَادِهِ وَرَأْيِهِ وَالرَّأْيُ قَدْ يَخْطَئُ …
Artinya : “Dari Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya (diriwayatkan) beliau berkata : “Jika (seseorang) menghendaki melepaskan kedua tangannya sesudah bangkit dari ruku’ dan (bila) ia menghendaki (boleh pula) meletakkan kedua tangannya (di atas dada atau bersedekap)”
Kemudian Nashiruddin al-Baniy berkomentar, sesungguhnya yang demikian tidak marfu’ kepada Nabi SAW. Itu adalah perkataan Imam Ahmad atas dasar ijtihad dan pendapatnya. Sedangkan pendapat itu kadang bisa salah dan keliru … ”
3. Hadis Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunnah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ‘ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Imam Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
===
Referensi: nu.or.id dan muhammadiyah. or.id.
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلَّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدَلاً. [رواه الترمذي]
Artinya: “Pernah Rasulullah SAW apabila berdiri sembahyang, kemudian beliau berkata (membaca) sami’allaahu li man hamidah dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap anggotanya kembali mengambil tempat masing-masing dengan lurus.” [HR. at-Tirmizi]
Disebutkan oleh pengarang kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Juz I halaman 658: “Abu Yusuf dan para imam (ahli fiqh) yang lain berkata: Bangun/bangkit dari ruku’ dan i’tidal dalam keadaan berdiri penuh tuma’ninah, baik itu rukun atau fardlu salat, yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.”
Selanjutnya ada hadis yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut ini:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
Artinya: “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya saat memasuki salat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah (saat mengangkat kedua tangannya) adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan sami‘llâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” (HR Muslim: 401)
Hadis di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah SAW saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja.
Melepaskan tangan
Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya
Senada dengan pendapat tersebut, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab I‘ânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.”
Dengan demikian, Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan salat.
Tidak Jelas
Mengenai hadis Wa’il bin Hajm al-Hadlrami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkannya itu yang dikutip dari kitab as-Sunan al-Mahjurah (sunah-sunah yang ditinggalkan/dibiarkan), karangan dari Anis bin Ahmad bin Thahir itu:
1. Perkataan وَوَضَعَ كَفَّيْهِ (meletakkan kedua pergelangan tangannya) tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan ke dada (bersedekap), tentu bunyi hadis itu وَوَضَعَ كَفَّيْهِ فِي صَدْرِهِ (dan meletakkan kedua pergelangannya ke dadanya).
2. Ahli hadis Muhammad Nashiruddin al-Baniy di dalam bukunya Shifatu Shalati an-Nabiy (sifat shalat Nabi) pada halaman 130 menerangkan dengan kata-kata sebagai berikut:
… عَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ: “إِنْ شَاءَ أَرْسَلَ يَدَيْهِ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوعِ وَ إِنْ شَاءَ وَضَعَهُمَا” لِأَنَّهُ لاَ يَرْفَعُ ذَلِكَ إِلَي النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ إِنَّمَا قَالَهُ بِاجْتِهَادِهِ وَرَأْيِهِ وَالرَّأْيُ قَدْ يَخْطَئُ …
Artinya : “Dari Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya (diriwayatkan) beliau berkata : “Jika (seseorang) menghendaki melepaskan kedua tangannya sesudah bangkit dari ruku’ dan (bila) ia menghendaki (boleh pula) meletakkan kedua tangannya (di atas dada atau bersedekap)”
Kemudian Nashiruddin al-Baniy berkomentar, sesungguhnya yang demikian tidak marfu’ kepada Nabi SAW. Itu adalah perkataan Imam Ahmad atas dasar ijtihad dan pendapatnya. Sedangkan pendapat itu kadang bisa salah dan keliru … ”
3. Hadis Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunnah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ‘ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Imam Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
===
Referensi: nu.or.id dan muhammadiyah. or.id.
(mhy)