Baca juga: Sejarah Diwajibkannya Salat, Awalnya Nabi Diajarkan 2 Rakaat Oleh Jibril
Allah berfirman: "Peliharalah segala salat (kalian) dan (peliharalah pula) salat Wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam salat kalian) dengan khusyuk.’" (QS al-Baqarah [2] : 238).
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud salat Wustha (salat yang di tengah-tengah) adalah salat Ashar. Tetapi, yang tahu persis hanya Allah Ta'ala. Sebagaimana diisyaratkan pada ayat ini “was shalâtul wustha”.
Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Sir Al-Asrâr, maksud dari shalâh al wusthâ adalah salat kalbu karena kalbu berada di tengah badan; antara kanan dan kiri, atas dan bawah, juga menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.
Ada beberapa pendapat mengenai makna dari salâtul wustha. Allamah Faqih Imani dalam kitab tafsir "Nurul Qur’an" mengatakan bahwa shalâtul wustha adalah salat zuhur.
Baca Juga:
Baca juga: Fadhilah Salat Sunnah Awwabin Diganjar Pahala Ibadah 12 Tahun
Hal ini diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut. Ahmad, alBukhari, dalam tarikhnya, Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid Ibn Tsabit bahwa Nabi melakukan salat zuhur ketika terik matahari, dan ketika itu salat zuhur adalah salat yang paling berat bagi para sahabat. Maka turunlah ayat Al-Baqarah ayat 238.
Lain lagi pendapat Sayyid Qutub . Dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb, memaparkan salat wustha adalah salat ashar. Hal ini menurut beliau berdasarkan hadis: “Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Abu Kuraib mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dari Al A’masy dari Muslim bin Shubaih dari Syutair bin Syakal dari Ali dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada perang Ahzab: Pasukan musuh benar-benar telah menyibukkan kita dari salat wustha (ashar), semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salat ashar di antara dua salat malam, yaitu diantara maghrib dan isya.” (H.R. Muslim).
Baca juga: Alhamdulillah! Ini Manfaat Salat Tahajud dalam Perspektif Medis
Sedangkan Prof Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh, berpendapat bahwa memahami perintah melaksanakan salat wustha berarti melaksanakan semua salat dalam bentuk sebaik-baiknya.
Berbeda
Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlẩnî memiliki pendapat yang berbeda dari ulama-ulama lainnya. Menurut beliau yang dimaksud dengan salat wustha adalah salatnya kalbu. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim yang dikutip oleh beliau dalam kitab sirr al asrâr: “Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah. Allah membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya kitab al Qadr bab Tashrîf Allah Ta’ala al Qulub Kaifa Yasya’, nomor hadist 2654).
Menurut Syaikh Abdul Qadir, salat itu harus menghadirkan kalbu. Jika salat kalbu dilupakan, maka rusaklah salat syari’ah dan shalat thariqahnya. Hal ini berdasarkan hadis: “Tidaklah sah salat seseorang kecuali disertai dengan hadirnya kalbu”).
Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani berkata: “Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat dengan Tuhannya. Sedangkan tempat munajat adalah qalbu. Bila qalbu lalai (ghaflah), maka batallah salat kalbu sekaligus salat badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain mengikuti”.
Baca juga: 9 Keutamaan Salat Tahajud, 5 di Antaranya Diraih di Dunia
(mhy)