Makna Khair al-Ummah Menurut Prof Haedar Nashir
loading...
A
A
A
KH Ahmad Dahlan memaknai QS Ali Imran ayat 104 sebagai perintah untuk membentuk sebuah perkumpulan yang terorganisir dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar . Bila perkumpulan tersebut dilandasi keimanan kepada Allah dan sukses menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, maka janji Allah sebagaimana dalam QS Ali Imran ayat 110 akan memberinya status sebagai khair al-ummah (umat terbaik).
Dalam Sabda Nabi tersirat bahwa khair al-ummah berarti sekelompok manusia yang paling banyak menebar manfaat bagi manusia (khair al-nas anfa’uhum li al-nas).
Sementara dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 2, Muhammadiyah menempatkan khair al-ummah atau masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai tujuan utama. Dengan kata lain, tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah menebar manfaat bagi semesta.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menerangkan QS Al-Baqarah ayat 143 menguatkan bahwa predikat khair al-ummah mengharuskan umat Islam untuk mengambil peran ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas.
Konsep “wasath” dan “syuhada” dalam ayat ini juga sesungguhnya memiliki filosofi yang mendalam. Artinya, ucap Haedar sebagaimana dikutip laman resmi Muhammadiyah, muhammadiyah.or.id., orang harus tahu peta konstalasi dan realitas empirik sehingga umat Islam harus melek ilmu pengetahuan dan tidak menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
“Artinya, Muhammadiyah tidak boleh menjadi sekumpulan orang awam," ujar Haedar Nashir dalam sambutannya di acara Musyawarah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara pada Ahad (21/02).
Kyai Dahlan telah tepat memberi warna dengan pemikiran yang maju, selalu reform, dan menempatkan Islam selalu mampu selaras waktu dan tempat.
"Artinya, KHA Dahlan memiliki visi yang visioner, maka organisasi ini harus diisi orang orang cerdas dan terpilih,” jelasnya.
Bila Muhammadiyah ingin mendapat predikat khair al-ummah, maka organisasi ini, kata Haedar, tidak boleh berisi orang-orang awam. Haedar menerangkan bahwa orang awam berarti kering hati, dangkal pikiran, dan miskin wacana keilmuan. Naif dalam lisan dan perbuatan, dan tidak menghadirkan uswah al-hasanah bagi lingkungan setempat juga masuk sebagai kategori orang awam.
“Lebih dari itu, kita di Muhammadiyah memiliki tujuan menjadi khair al-ummah. Bagaimana mau terbaik kalau kita tidak terbaik, menjadi manusia terbaik, dan organisasi terbaik? Hadis Nabi mengungkapkan manusia terbaik adalah memberi manfaat. Manfaat itu lahir dari sikap, tindakan, perkataan yang memberi rahmat. Warga muhammadiyah harus menebar hikmah bukan menebar masalah,” tegas Haedar.
Umat tengahan merupakan bagian dari khair al-ummah yang menjadi pilihan Muhammadiyah di antara kutub ekstrem yang terus saling bertubrukan paham. Berdasarkan prinsip wasathiyyah, Haedar mengajak warga Muhammadiyah agar jangan sampai berapologi dengan perbedaan pemikiran. Bila perlu Muhammadiyah akan seboros-borosnya belanja pemikiran, sekalipun pemikiran tersebut berasal dari orang yang tidak percaya terhadap Tuhan.
“Jangan apologi terhadap pemikiran orang lain. Bila perlu kita belanja pemikiran seboros-borosnya dari berbagai sumber, bahkan dari orang ateis sekalipun, agar kita tahu apa yang membuat mereka jadi ateis, dan bagaimana cara kita beradu argumen dengan mereka. Belanja pemikiran itu akan memudahkan kita memilih mana pemikiran yang terbaik,” terang Haedar.
Seandainya Muhammadiyah anti terhadap perbedaan pemikiran, maka akan menjadi perkumpulan dengan cara pandang miopik, yaitu rabun dalam memandang kehidupan. Dunia miopik yang terkurung dalam kerangkeng sempit menyebabkan kehidupan penuh dengan saling curiga, rasa benci, dan berseteru dengan sikap menang sendiri. Terang saja Haedar menentang hal tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip khair al-ummah dan ummatan wasathan.
Dalam Sabda Nabi tersirat bahwa khair al-ummah berarti sekelompok manusia yang paling banyak menebar manfaat bagi manusia (khair al-nas anfa’uhum li al-nas).
Sementara dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 2, Muhammadiyah menempatkan khair al-ummah atau masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai tujuan utama. Dengan kata lain, tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah menebar manfaat bagi semesta.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menerangkan QS Al-Baqarah ayat 143 menguatkan bahwa predikat khair al-ummah mengharuskan umat Islam untuk mengambil peran ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas.
Konsep “wasath” dan “syuhada” dalam ayat ini juga sesungguhnya memiliki filosofi yang mendalam. Artinya, ucap Haedar sebagaimana dikutip laman resmi Muhammadiyah, muhammadiyah.or.id., orang harus tahu peta konstalasi dan realitas empirik sehingga umat Islam harus melek ilmu pengetahuan dan tidak menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
“Artinya, Muhammadiyah tidak boleh menjadi sekumpulan orang awam," ujar Haedar Nashir dalam sambutannya di acara Musyawarah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara pada Ahad (21/02).
Kyai Dahlan telah tepat memberi warna dengan pemikiran yang maju, selalu reform, dan menempatkan Islam selalu mampu selaras waktu dan tempat.
"Artinya, KHA Dahlan memiliki visi yang visioner, maka organisasi ini harus diisi orang orang cerdas dan terpilih,” jelasnya.
Bila Muhammadiyah ingin mendapat predikat khair al-ummah, maka organisasi ini, kata Haedar, tidak boleh berisi orang-orang awam. Haedar menerangkan bahwa orang awam berarti kering hati, dangkal pikiran, dan miskin wacana keilmuan. Naif dalam lisan dan perbuatan, dan tidak menghadirkan uswah al-hasanah bagi lingkungan setempat juga masuk sebagai kategori orang awam.
“Lebih dari itu, kita di Muhammadiyah memiliki tujuan menjadi khair al-ummah. Bagaimana mau terbaik kalau kita tidak terbaik, menjadi manusia terbaik, dan organisasi terbaik? Hadis Nabi mengungkapkan manusia terbaik adalah memberi manfaat. Manfaat itu lahir dari sikap, tindakan, perkataan yang memberi rahmat. Warga muhammadiyah harus menebar hikmah bukan menebar masalah,” tegas Haedar.
Umat tengahan merupakan bagian dari khair al-ummah yang menjadi pilihan Muhammadiyah di antara kutub ekstrem yang terus saling bertubrukan paham. Berdasarkan prinsip wasathiyyah, Haedar mengajak warga Muhammadiyah agar jangan sampai berapologi dengan perbedaan pemikiran. Bila perlu Muhammadiyah akan seboros-borosnya belanja pemikiran, sekalipun pemikiran tersebut berasal dari orang yang tidak percaya terhadap Tuhan.
“Jangan apologi terhadap pemikiran orang lain. Bila perlu kita belanja pemikiran seboros-borosnya dari berbagai sumber, bahkan dari orang ateis sekalipun, agar kita tahu apa yang membuat mereka jadi ateis, dan bagaimana cara kita beradu argumen dengan mereka. Belanja pemikiran itu akan memudahkan kita memilih mana pemikiran yang terbaik,” terang Haedar.
Seandainya Muhammadiyah anti terhadap perbedaan pemikiran, maka akan menjadi perkumpulan dengan cara pandang miopik, yaitu rabun dalam memandang kehidupan. Dunia miopik yang terkurung dalam kerangkeng sempit menyebabkan kehidupan penuh dengan saling curiga, rasa benci, dan berseteru dengan sikap menang sendiri. Terang saja Haedar menentang hal tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip khair al-ummah dan ummatan wasathan.
(mhy)