Dunia Islam Tertinggal, Kalangan Orientalis Sebut al-Ghazali Mengkhianati Sains
loading...
A
A
A
Albert Einstein seorang ilmuwan jenius memastikan bahwa setiap jenis massa bisa dikonversi menjadi energi dengan rumus paling terkenal di dunia, yaitu: E= mc². Rumus ini digadang-gadang menjadi inspirasi pembuatan bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki . Penemuan bom atom dianggap sebagai titik awal perkembangan sains dan teknologi modern di Barat.
Sementara itu, dunia Islam tertinggal cukup jauh dengan prestasi dunia Barat dalam bidang sains dan teknologi. Bahkan sejumlah data statistik menyimpulkan bahwa pelajar di negara religius seperti Jordania, Yaman, Indonesia, dan Qatar menempati empat posisi paling bawah dalam bidang sains dan matematika. Bahkan data lain menyebutkan bahwa pelajar Indonesia dalam sains dan membaca relatif masih rendah.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November, Prof Agus Purwanto, mengatakan pencarian tentang sebab-sebab kemunduran kaum Muslim adalah tema klasik yang sudah dilontarkan para intelektual dan sarjana sejak akhir abad ke-19. Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa. "Dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme Barat," katanya, dalam kajian webinar yang diselenggarakan Universitas Darussalam Gontor pada Selasa (23/02).
Salah satu tesis yang sempat mengemuka di dunia akademik menyebut bahwa Imam al-Ghazali adalah orang yang harus bertanggungjawab atas mundurnya pemikiran kreatif dalam dunia Islam. Oleh sejumlah orientalis dan cendekiawan muslim, kitab Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali dipandang sebagai pembunuh ilmu-ilmu rasional sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim.
Ibnu Rusyd pernah mencoba meluruskan tuduhan al-Ghazali tersebut dalam sebuah kitab tandingan Tahafut al-Tahafut. Dalam kitab tersebut, dengan gemas Ibnu Rusyd menyerang al-Ghazali dan juga Ibnu Sina karena keduanya telah salah dalam memahami Aristoteles. Akan tetapi menurut beberapa sarjana, pengaruh Ibnu Rusyd hanya berkembang biak di dunia Barat, sementara dunia Islam masih terkungkung dengan pemikiran al-Ghazali.
Kendati demikian, tesis para orientalis yang sering menulis bahwa al-Ghazali “mengkhianati” sains harus tetap dikritisi. Sebab faktanya tidak ada cendikiawan muslim yang menggunakan pandangan al-Ghazali untuk menyerang tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November, Prof Agus Purwanto, mengungkapkan bahwa kemunduran sains dan teknologi di dunia muslim merupakan masalah teologis, alih-alih kapital. Ia mengungkapkan bahwa ketika berbicara ajaran dan kesempurnaan Islam, maka tiga kompenen seperti Tuhan, alam, dan manusia, tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Baginya, saat ini umat Islam masih terfokus pada relasi Tuhan dan manusia.
“Sedangkan orang Barat di satu sisi dalam kajiannya menitikberatkan kajian tentang alam sehingga mereka unggul dalam sains dan teknologi. Padahal kita tahu bahwa al-Quran ada sekitar ada 800 ayat yang secara spesifik penguasaan ilmu pengetahuan. Akibat melupakan ayat-ayat ini dunia Islam tertinggal dalam ilmu pengetahuan,” ungkap Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Ia menyatakan ayat alam di dalam al-Qur’an sedikitnya ada 800, lima kali lebih banyak dari ayat fikih yang 160. Sayangnya, ayat alam terlupakan dan tidak mendapat perhatian umat Islam. Umat Islam abai pada alam dan ilmu tentangnya. Akibatnya, hingga saat ini umat Islam hanya sebagai konsumen dan user hampir semua produk industri modern.
Berpikir dan Berpikir
Agus mengatakan ayat tentang ilmu pengetahuan itu disampaikan dalam beragam kosakata seperti ungkapan langit, bintang, matahari, bulan, bumi, tumbuhan, hewan, debu, tanah dan lain sebagainya. Meski ayat hukum hanya berjumlah seperlima dari ayat kauniyah, tetapi telah menyedot hampir semua energi ulama dan umat Islam.
Umat Islam seakan melupakan ayat-ayat al-Quran yang membahas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, dan kerlap-kerlipnya gugus bintang. Mereka melupakan kilat yang menyambar, malam yang gelap-gulita, cahaya yang melesat, dan listrik yang membakar. Padahal ayat-ayat tentang alam tersebut dapat diposisikan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam rangka bagaimana membangun hubungan sains dan agama.
Ia menjelaskan ekspresi ayat al-Quran dalam menggambarkan “akal” selalu menggunakan kata kerja (fiil), alih-alih kata benda (isim). Dari 49 kata “akal” tidak ada satu pun yang menggunakan kata benda, bahkan hanya ada satu ayat dalam al-Quran yang menggunakan term “akal” dalam bentuk kata kerja lampau (fill madhi). Dominasi fiil mudhari dalam kata “akal” menunjukkan bahwa umat Islam seharusnya menggunakan akal secara terus menerus.
Lebih dari itu, kata “akal” dalam bentuk fiil mudhari didominasi oleh dhamir-dhamir yang bermakna komunal (jama’) bukan personal (mufrad) seperti ungkapan “ya’quluna” dan “ta’qiluna”.
Agus menyatakan bahwa pilihan kata ini memiliki filosofi yang mendalam. Baginya, hal tersebut menandakan bahwa berpikir merupakan anjuran yang mesti dikerjakan setiap orang beriman.
“Jadi dalam Islam, berpikir itu bukan sesuatu yang seperti monumen benda mati, juga bukan sekadar proses sejarah masa lalu, tetapi anjuran agar terus berpikir, berpikir, dan berpikir,” jelasnya.
Penjelasan Agus ini juga dapat dibaca langsung dalam sejumlah bukunya seperti Ayat-ayat Semesta.
Dengan demikian, Allah SWT melalui al-Quran sesungguhnya mendorong orang-orang beriman agar menggunakan akalnya untuk berpikir secara maksimal.
Berpikir secara radikal akan menghasilkan temuan-temuan yang dapat membawa pada satu kebanggaan bahwa Islam menjadi rahmat semesta alam. Sebab sejak dulu peradaban Islam selalu diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan, sebagaimana Franz Rosenthal dalam The Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medievel Islam.
Sementara itu, dunia Islam tertinggal cukup jauh dengan prestasi dunia Barat dalam bidang sains dan teknologi. Bahkan sejumlah data statistik menyimpulkan bahwa pelajar di negara religius seperti Jordania, Yaman, Indonesia, dan Qatar menempati empat posisi paling bawah dalam bidang sains dan matematika. Bahkan data lain menyebutkan bahwa pelajar Indonesia dalam sains dan membaca relatif masih rendah.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November, Prof Agus Purwanto, mengatakan pencarian tentang sebab-sebab kemunduran kaum Muslim adalah tema klasik yang sudah dilontarkan para intelektual dan sarjana sejak akhir abad ke-19. Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa. "Dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme Barat," katanya, dalam kajian webinar yang diselenggarakan Universitas Darussalam Gontor pada Selasa (23/02).
Salah satu tesis yang sempat mengemuka di dunia akademik menyebut bahwa Imam al-Ghazali adalah orang yang harus bertanggungjawab atas mundurnya pemikiran kreatif dalam dunia Islam. Oleh sejumlah orientalis dan cendekiawan muslim, kitab Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali dipandang sebagai pembunuh ilmu-ilmu rasional sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim.
Ibnu Rusyd pernah mencoba meluruskan tuduhan al-Ghazali tersebut dalam sebuah kitab tandingan Tahafut al-Tahafut. Dalam kitab tersebut, dengan gemas Ibnu Rusyd menyerang al-Ghazali dan juga Ibnu Sina karena keduanya telah salah dalam memahami Aristoteles. Akan tetapi menurut beberapa sarjana, pengaruh Ibnu Rusyd hanya berkembang biak di dunia Barat, sementara dunia Islam masih terkungkung dengan pemikiran al-Ghazali.
Kendati demikian, tesis para orientalis yang sering menulis bahwa al-Ghazali “mengkhianati” sains harus tetap dikritisi. Sebab faktanya tidak ada cendikiawan muslim yang menggunakan pandangan al-Ghazali untuk menyerang tradisi ilmu pengetahuan dalam Islam.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November, Prof Agus Purwanto, mengungkapkan bahwa kemunduran sains dan teknologi di dunia muslim merupakan masalah teologis, alih-alih kapital. Ia mengungkapkan bahwa ketika berbicara ajaran dan kesempurnaan Islam, maka tiga kompenen seperti Tuhan, alam, dan manusia, tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Baginya, saat ini umat Islam masih terfokus pada relasi Tuhan dan manusia.
“Sedangkan orang Barat di satu sisi dalam kajiannya menitikberatkan kajian tentang alam sehingga mereka unggul dalam sains dan teknologi. Padahal kita tahu bahwa al-Quran ada sekitar ada 800 ayat yang secara spesifik penguasaan ilmu pengetahuan. Akibat melupakan ayat-ayat ini dunia Islam tertinggal dalam ilmu pengetahuan,” ungkap Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Ia menyatakan ayat alam di dalam al-Qur’an sedikitnya ada 800, lima kali lebih banyak dari ayat fikih yang 160. Sayangnya, ayat alam terlupakan dan tidak mendapat perhatian umat Islam. Umat Islam abai pada alam dan ilmu tentangnya. Akibatnya, hingga saat ini umat Islam hanya sebagai konsumen dan user hampir semua produk industri modern.
Berpikir dan Berpikir
Agus mengatakan ayat tentang ilmu pengetahuan itu disampaikan dalam beragam kosakata seperti ungkapan langit, bintang, matahari, bulan, bumi, tumbuhan, hewan, debu, tanah dan lain sebagainya. Meski ayat hukum hanya berjumlah seperlima dari ayat kauniyah, tetapi telah menyedot hampir semua energi ulama dan umat Islam.
Umat Islam seakan melupakan ayat-ayat al-Quran yang membahas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, dan kerlap-kerlipnya gugus bintang. Mereka melupakan kilat yang menyambar, malam yang gelap-gulita, cahaya yang melesat, dan listrik yang membakar. Padahal ayat-ayat tentang alam tersebut dapat diposisikan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam rangka bagaimana membangun hubungan sains dan agama.
Ia menjelaskan ekspresi ayat al-Quran dalam menggambarkan “akal” selalu menggunakan kata kerja (fiil), alih-alih kata benda (isim). Dari 49 kata “akal” tidak ada satu pun yang menggunakan kata benda, bahkan hanya ada satu ayat dalam al-Quran yang menggunakan term “akal” dalam bentuk kata kerja lampau (fill madhi). Dominasi fiil mudhari dalam kata “akal” menunjukkan bahwa umat Islam seharusnya menggunakan akal secara terus menerus.
Lebih dari itu, kata “akal” dalam bentuk fiil mudhari didominasi oleh dhamir-dhamir yang bermakna komunal (jama’) bukan personal (mufrad) seperti ungkapan “ya’quluna” dan “ta’qiluna”.
Agus menyatakan bahwa pilihan kata ini memiliki filosofi yang mendalam. Baginya, hal tersebut menandakan bahwa berpikir merupakan anjuran yang mesti dikerjakan setiap orang beriman.
“Jadi dalam Islam, berpikir itu bukan sesuatu yang seperti monumen benda mati, juga bukan sekadar proses sejarah masa lalu, tetapi anjuran agar terus berpikir, berpikir, dan berpikir,” jelasnya.
Penjelasan Agus ini juga dapat dibaca langsung dalam sejumlah bukunya seperti Ayat-ayat Semesta.
Dengan demikian, Allah SWT melalui al-Quran sesungguhnya mendorong orang-orang beriman agar menggunakan akalnya untuk berpikir secara maksimal.
Berpikir secara radikal akan menghasilkan temuan-temuan yang dapat membawa pada satu kebanggaan bahwa Islam menjadi rahmat semesta alam. Sebab sejak dulu peradaban Islam selalu diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan, sebagaimana Franz Rosenthal dalam The Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medievel Islam.
(mhy)