Lebanon: Negara Sektarianistik Tanpa Tedeng Aling-aling
loading...
A
A
A
Dubes RI untuk Lebanon Hajriyanto Y. Thohari dalam Buku The Anthropology of The Arabs: Catatan-Catatan Etnografis dari Beirut menggambarkan Lebanon dengan apik. Menurutnya, Lebanon menyimpan berbagai kisah menarik sebagai negara Arab baik tentang geografis, masyarakat, budaya, politik, arsitektur dan lain sebagainya.
Studi etnografis dengan cara mengamati, melihat, dan hidup bersama orang Arab diceritakan dalam buku ini. Salah satunya disebutkan bahwa Lebanon negara Arab yang sangat luar biasa bersih.
“Masjid-masjid di Lebanon sangat bersih, bukan hanya di kota, melainkan juga samapai di kampung-kampung,” ungkap kader Muhammadiyah ini dalam Webinar Caknurian Urban Sufism With Komaruddin Hidayat bertajuk “Melihat dari Dekat Keberagamaan Orang Arab”, Jum’at pekan lalu.
Hajriyanto Y. Thohari mengungkapkan Lebanon memiliki sistem politik confesionalism di mana pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan sekte agama. Ada 18 sekte agama di Lebanon. Sistem politik confesionalism merupakan peninggalan Perancis setelah berakhirnya perang dunia pertama.
Pembagian kekuasaan berdasarkan sekte tersebut meliputi Kristen Maronis jatahnya menjadi presiden, Perdana Menteri jatahnya muslim sunni, dan Ketua parlemen dari syiah.
Setiap kabinet harus separuh dari kristen dan muslim yang kemudian dielaborasi ke masing-masing sekte. Begitu juga dalam parlemen.
Panglima Tentara Lebanon harus dari Maronis, tetapi kepala Stafnya harus dari Druze. Kepolisian harus dari sunni dan seterusnya. Menjadikan Lebanon adalah negara sektarianistik yang terus terang, “tanpa tedeng aling-aling”.
Prof Komaruddin Hidayat menyampaikan buku The Anthropology of The Arabs karya Hajriyanto sebagai salah satu bacaan yang sangat menarik. Terlebih di Indonesia saat ini terdapat Arabisasi kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu, Amich Alhumami mengapresiasi Hajriyanto sebagai tipikal Antropolog, baik Antropologis by training maupun Antropologis by experience.
Menurutnya, Hajriyanto merupakan pendongeng yang mahir, dan pandai menyisipkan humor segar khas intelektual dalam tulisan-tulisannya.
Kembali ke Lebanon. Hadjriyanto Y Thohari menjelaskan, Lebanon merupakan pelopor dan perintis modernisasi Bahasa Arab. Hal itu ditandai ketika bahasa Arab mengalami banyak kerusakan akibat bahasa Arab Pasar/Informal (Amiyah), sarjana Arab asal Lebanon-lah yang memperbaiki kerusakan tersebut.
Para sarjana pelopor Bahasa Arab modern tersebut sebagian besar adalah pemeluk agama Kristen/Nasrani. Hasil perbaikan yang dilakukan oleh mereka menyebabkan bahasa Arab modern lebih dekat dengan bahasa Arab Formal (Fusha). Gerakan modernisasi Arab, termasuk modernisasi bahasa Arab terjadi pada akhir tahun 1900-an sampai tahun 2000-an.
“Pelopornya banyak yang beragama Kristen, maka kalau kamus-kamus bahasa Arab misalnya Al Munjid itu ditulis oleh ahli bahasa Arab Nasrani,” katanya dalam acara bincang buku Antropology of The Arabs yang diadakan MPI PWM Jabar pada Kamis (24/3).
Bahkan kamus besar yang berjudul Muhith Al Muhith juga ditulis oleh seorang Kristen yang bernama Butsur Al Bustani. Yang unik dari kamus ini, kata Hadjri, adalah rujukannya, yakni merujuk kepada Kitab Suci Al Qur’an. Meskipun beragama Kristen, Butsur Al Bustani seringkali merujuk dan mengutip kalimat dari Al Qur’an.
“Bahasa itu pengaruhnya besar dalam kebudayaan,” imbuhnya, sebagaimana disiarkan laman resmi Muhammadiyah.
Menceritakan isi buku yang ditulisnya “Antropology of The Arab”, dengan renyah Hadjri menjelaskan, dalam pendekatan antropologi dirinya banyak menemukan keunikan yang dimiliki oleh bangsa Arab. Di antaranya adalah terkait dengan budaya makannya, dalam penelusurannya, Hadjri menemukan makan dalam budaya bangsa Arab memiliki posisi tersendiri.
Kuat Makan
Di Arab, katanya, orang tua yang mencari menantu laki-laki untuk anak perempuannya, kriteria salah satunya ditandai dengan kekuatan makannya. Jika semakin banyak dan kuat makan si laki-laki, maka potensi diterima sebagai menantu semakin besar. Orang Arab, kata Hadjri, volume makannya 2 setengah atau 3 kali lebih banyak dari orang Indonesia.
Selain makanan, dirinya juga membahas tentang antropologi pakaian. Ia menjelaskan, bangsa Arab yang terkenal konservatif/tradisional dalam cara berpakaian, namun mereka mengalami kemajuan yang luar biasa, terlebih dalam bidang ekonomi dan pendidikan yang mulai bergerak naik. Bangsa Arab begitu cinta kepada pakaian tradisionalnya, mereka dengan bangga memakai gamis dalam pertemuan-pertemuan internasional dan menjamu tamu internasional.
“Negaranya sangat maju, padahal mereka tradisionil-konservatif, negara sistem politiknya juga tradisionil-konservatif. Tapi negara Arab yang sok Barat, tampil modern. Yang pakai jas, berdasi, namanya presiden, perdana mentri itu pendapatan perkapitanya rendah, seperti Mesir, Suriah, Aljazair, Lebanon, dan lain sebagainya,” seloroh Hadjri.
Studi etnografis dengan cara mengamati, melihat, dan hidup bersama orang Arab diceritakan dalam buku ini. Salah satunya disebutkan bahwa Lebanon negara Arab yang sangat luar biasa bersih.
“Masjid-masjid di Lebanon sangat bersih, bukan hanya di kota, melainkan juga samapai di kampung-kampung,” ungkap kader Muhammadiyah ini dalam Webinar Caknurian Urban Sufism With Komaruddin Hidayat bertajuk “Melihat dari Dekat Keberagamaan Orang Arab”, Jum’at pekan lalu.
Hajriyanto Y. Thohari mengungkapkan Lebanon memiliki sistem politik confesionalism di mana pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan sekte agama. Ada 18 sekte agama di Lebanon. Sistem politik confesionalism merupakan peninggalan Perancis setelah berakhirnya perang dunia pertama.
Pembagian kekuasaan berdasarkan sekte tersebut meliputi Kristen Maronis jatahnya menjadi presiden, Perdana Menteri jatahnya muslim sunni, dan Ketua parlemen dari syiah.
Setiap kabinet harus separuh dari kristen dan muslim yang kemudian dielaborasi ke masing-masing sekte. Begitu juga dalam parlemen.
Panglima Tentara Lebanon harus dari Maronis, tetapi kepala Stafnya harus dari Druze. Kepolisian harus dari sunni dan seterusnya. Menjadikan Lebanon adalah negara sektarianistik yang terus terang, “tanpa tedeng aling-aling”.
Prof Komaruddin Hidayat menyampaikan buku The Anthropology of The Arabs karya Hajriyanto sebagai salah satu bacaan yang sangat menarik. Terlebih di Indonesia saat ini terdapat Arabisasi kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu, Amich Alhumami mengapresiasi Hajriyanto sebagai tipikal Antropolog, baik Antropologis by training maupun Antropologis by experience.
Menurutnya, Hajriyanto merupakan pendongeng yang mahir, dan pandai menyisipkan humor segar khas intelektual dalam tulisan-tulisannya.
Kembali ke Lebanon. Hadjriyanto Y Thohari menjelaskan, Lebanon merupakan pelopor dan perintis modernisasi Bahasa Arab. Hal itu ditandai ketika bahasa Arab mengalami banyak kerusakan akibat bahasa Arab Pasar/Informal (Amiyah), sarjana Arab asal Lebanon-lah yang memperbaiki kerusakan tersebut.
Para sarjana pelopor Bahasa Arab modern tersebut sebagian besar adalah pemeluk agama Kristen/Nasrani. Hasil perbaikan yang dilakukan oleh mereka menyebabkan bahasa Arab modern lebih dekat dengan bahasa Arab Formal (Fusha). Gerakan modernisasi Arab, termasuk modernisasi bahasa Arab terjadi pada akhir tahun 1900-an sampai tahun 2000-an.
“Pelopornya banyak yang beragama Kristen, maka kalau kamus-kamus bahasa Arab misalnya Al Munjid itu ditulis oleh ahli bahasa Arab Nasrani,” katanya dalam acara bincang buku Antropology of The Arabs yang diadakan MPI PWM Jabar pada Kamis (24/3).
Bahkan kamus besar yang berjudul Muhith Al Muhith juga ditulis oleh seorang Kristen yang bernama Butsur Al Bustani. Yang unik dari kamus ini, kata Hadjri, adalah rujukannya, yakni merujuk kepada Kitab Suci Al Qur’an. Meskipun beragama Kristen, Butsur Al Bustani seringkali merujuk dan mengutip kalimat dari Al Qur’an.
“Bahasa itu pengaruhnya besar dalam kebudayaan,” imbuhnya, sebagaimana disiarkan laman resmi Muhammadiyah.
Menceritakan isi buku yang ditulisnya “Antropology of The Arab”, dengan renyah Hadjri menjelaskan, dalam pendekatan antropologi dirinya banyak menemukan keunikan yang dimiliki oleh bangsa Arab. Di antaranya adalah terkait dengan budaya makannya, dalam penelusurannya, Hadjri menemukan makan dalam budaya bangsa Arab memiliki posisi tersendiri.
Kuat Makan
Di Arab, katanya, orang tua yang mencari menantu laki-laki untuk anak perempuannya, kriteria salah satunya ditandai dengan kekuatan makannya. Jika semakin banyak dan kuat makan si laki-laki, maka potensi diterima sebagai menantu semakin besar. Orang Arab, kata Hadjri, volume makannya 2 setengah atau 3 kali lebih banyak dari orang Indonesia.
Selain makanan, dirinya juga membahas tentang antropologi pakaian. Ia menjelaskan, bangsa Arab yang terkenal konservatif/tradisional dalam cara berpakaian, namun mereka mengalami kemajuan yang luar biasa, terlebih dalam bidang ekonomi dan pendidikan yang mulai bergerak naik. Bangsa Arab begitu cinta kepada pakaian tradisionalnya, mereka dengan bangga memakai gamis dalam pertemuan-pertemuan internasional dan menjamu tamu internasional.
“Negaranya sangat maju, padahal mereka tradisionil-konservatif, negara sistem politiknya juga tradisionil-konservatif. Tapi negara Arab yang sok Barat, tampil modern. Yang pakai jas, berdasi, namanya presiden, perdana mentri itu pendapatan perkapitanya rendah, seperti Mesir, Suriah, Aljazair, Lebanon, dan lain sebagainya,” seloroh Hadjri.
(mhy)