Pernikahan Jarak Jauh Rasulullah Dengan Ummu Habibah
loading...
A
A
A
Ummu Habibah bernama asli Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Beliau dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan wafat pada tahun 44 H. Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Sang Ibu merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Soal nama asli itu, memang ada beda pendapat di kalangan para ulama. Ada yang menyatakan nama asli Ummu Habibah adalah Hindun, namun yang menyatakan Ramlah jauh lebih masyhur. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa yang masyhur, nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Inilah yang menjadi pendapat yang dianggap sahih oleh jumhur ulama berdasarkan penelitian nasab, sejarah, dan hadis .
Sebagaimana Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa nama asli Ummu Habibah yang lebih sahih adalah Ramlah. Namun Ummu Habibah lebih masyhur dengan nama kunyah-nya, atau nama panggilan, dibanding dengan nama aslinya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 4:305.
Ummu Habibah termasuk puteri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada istri Nabi SAW yang punya kedekatan nasab dengan beliau seperti Sayyidah Zainab binti Jahsy dari jalur ibunya (ibu Sayyidah Zainab adalah bibi Nabi SAW dari jalur bapaknya). ( )
Beliau adalah pemeluk Islam generasi pertama. Padahal beliau adalah putri dari tokoh besar Makkah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya, Abu Sufyan, sangat marah ketika mengetahui putrinya masuk Islam. ( )
Itu sebabnya, beliau berhijrah bersama sang suami. Mereka menempuh perjalanan jauh dan melelahkan menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah.
Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung. Di Habasyah beliau melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Maka sejak itu, beliau dipanggil Ummu Habibah. ( )
Saat di Habasyah itu, sang suami seringkali berdiskusi masalah agama dan ketuhanan dengan kaum Nasrani. Dalam perjalananya, sang suami justru murtad dan memeluk Nasrani . Tentu saja hal ini menjadi musibah besar bagi Ummu Habibah.
Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Makkah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya.
Beliau benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad . Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya (Ibnu Sayyid an-Nas: Uyun al-Atsar, 2/389).
Di Habasyah, Ummu Habibah bermimpi dengan mimpi yang aneh. Kemudian mimpi ini menjadi nyata. Ia bercerita, “Dalam mimpiku kulihat suamiku Ubaidullah bin Jahsy terlihat berpenampilan sangat buruk. Aku merasa takut. Dari situ keadaannya pun berubah.
Pagi harinya suamiku berkata, ‘Hai Ummu Habibah, sungguh aku belum pernah melihat agama yang lebih baik dari Nasrani. Dulu, aku memeluk agama ini. Setelah itu aku memeluk agamanya Muhammad. Sekarang aku kembali lagi menjadi Nasrani’.
Kukatakan padanya, ‘Demi Allah, tidak ada kebaikan untukmu’. Kukabarkan padanya tentang mimpiku. Namun ia tak peduli. Akhirnya ia menjadi pecandu khamr hingga ajalnya tiba.
Betapapun berat yang beliau rasakan, beliau tetap tegar. Ayahnya yang kufur, suaminya yang murtad, masa-masa kesendiriannya tak menggoyahkan imannya.
Di kesempatan lainnya, Ummu Habibah kembali bermimpi. Namun mimpi kali ini adalah mimpi indah. Ada seorang yang datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin.” Aku kaget. Dan kutakwil mimpi itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersuntingku. Setelah usai masa iddahku, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya.
Ia masuk ke rumahku dan berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu.
Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.”
Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.
Soal nama asli itu, memang ada beda pendapat di kalangan para ulama. Ada yang menyatakan nama asli Ummu Habibah adalah Hindun, namun yang menyatakan Ramlah jauh lebih masyhur. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa yang masyhur, nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Inilah yang menjadi pendapat yang dianggap sahih oleh jumhur ulama berdasarkan penelitian nasab, sejarah, dan hadis .
Sebagaimana Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa nama asli Ummu Habibah yang lebih sahih adalah Ramlah. Namun Ummu Habibah lebih masyhur dengan nama kunyah-nya, atau nama panggilan, dibanding dengan nama aslinya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 4:305.
Ummu Habibah termasuk puteri dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada istri Nabi SAW yang punya kedekatan nasab dengan beliau seperti Sayyidah Zainab binti Jahsy dari jalur ibunya (ibu Sayyidah Zainab adalah bibi Nabi SAW dari jalur bapaknya). ( )
Beliau adalah pemeluk Islam generasi pertama. Padahal beliau adalah putri dari tokoh besar Makkah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Bapaknya, Abu Sufyan, sangat marah ketika mengetahui putrinya masuk Islam. ( )
Itu sebabnya, beliau berhijrah bersama sang suami. Mereka menempuh perjalanan jauh dan melelahkan menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah.
Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung. Di Habasyah beliau melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Maka sejak itu, beliau dipanggil Ummu Habibah. ( )
Saat di Habasyah itu, sang suami seringkali berdiskusi masalah agama dan ketuhanan dengan kaum Nasrani. Dalam perjalananya, sang suami justru murtad dan memeluk Nasrani . Tentu saja hal ini menjadi musibah besar bagi Ummu Habibah.
Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Makkah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya.
Beliau benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad . Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya (Ibnu Sayyid an-Nas: Uyun al-Atsar, 2/389).
Di Habasyah, Ummu Habibah bermimpi dengan mimpi yang aneh. Kemudian mimpi ini menjadi nyata. Ia bercerita, “Dalam mimpiku kulihat suamiku Ubaidullah bin Jahsy terlihat berpenampilan sangat buruk. Aku merasa takut. Dari situ keadaannya pun berubah.
Pagi harinya suamiku berkata, ‘Hai Ummu Habibah, sungguh aku belum pernah melihat agama yang lebih baik dari Nasrani. Dulu, aku memeluk agama ini. Setelah itu aku memeluk agamanya Muhammad. Sekarang aku kembali lagi menjadi Nasrani’.
Kukatakan padanya, ‘Demi Allah, tidak ada kebaikan untukmu’. Kukabarkan padanya tentang mimpiku. Namun ia tak peduli. Akhirnya ia menjadi pecandu khamr hingga ajalnya tiba.
Betapapun berat yang beliau rasakan, beliau tetap tegar. Ayahnya yang kufur, suaminya yang murtad, masa-masa kesendiriannya tak menggoyahkan imannya.
Di kesempatan lainnya, Ummu Habibah kembali bermimpi. Namun mimpi kali ini adalah mimpi indah. Ada seorang yang datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin.” Aku kaget. Dan kutakwil mimpi itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersuntingku. Setelah usai masa iddahku, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya.
Ia masuk ke rumahku dan berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu.
Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.”
Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.