Pernikahan Tak Lazim Dua Kali Sayyidah Zainab bin Jahsy
loading...
A
A
A
BAGI adat Arab Quraish cerita pernikahan Sayyidah Zainab bin Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (ra) sungguh tidak lazim. Bisa juga dibilang kontroversial. Dan sudah pasti, kisah ini menjadi sangat mengharukan. Beliau seakan-akan dijadikan pelopor, bahkan pendobrak, untuk menjalankan hukum Islam yang melanggar kaidah adat istiadat bangsa Arab Quraish sebelumnya.
Oleh Rasulullah , Sayyidah Zainab dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang kemudian dijadikan anak angkat. Keputusan Rasulullah ini seakan ingin menunjukkan bahwa bangsa Arab tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa lain, bahkan dari budak sekalipun. Derajat seseorang ditentukan takwanya.
Sayangnya, pernikahan ini gagal membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Zaid bin Haritsah menceraikan Sayyidah Zainab. Selanjutnya Rasulullah menikahi janda anak angkatnya itu. Ini juga kontroversial bagi orang-orang Arab. Kala itu mereka menganggap istri anak angkat tidak bisa dinikahi ayah angkatnya.
Agar tidak keliru, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) memiliki dua istri yang bernama sama: Zainab. Satu Zainab binti Khuzaimah dan satu lagi Zainab binti Jahsy. Yang akan kita ceritakan ini kali adalah Sayyidah Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (588-641 M). ( )
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ibu dari Sayyidah Zainab bintu Jahsy bernama Umayyah binti Muththalib adalah putri dari paman Rasulullah SAW.
Beliau telah masuk Islam sejak awal dan ikut hijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Kemudian Rasulullah meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau.
Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy."
Rasulullah menjawab, "Sungguh aku telah meridhainya untuk dirimu."
( )
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menulis, bahwa Rasulullah telah melamar Sayyidah Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya.
Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Sayyidah Khadijah lalu dimerdekakan oleh Nabi Muhammad.
“Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan," jelas Haekal.
Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Beliau ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS Al-Hujurat : 13)
Sungguhpun begitu, menurut Haekal, beliau merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab binti Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya.
Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka beliau pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu.
Biarlah Rasulullah memperlihatkan desakannya itu supaya Sayyidah Zainab dan saudaranya Abdullah bin Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.
Dan untuk itu Allah SWT berfirman,
Oleh Rasulullah , Sayyidah Zainab dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang kemudian dijadikan anak angkat. Keputusan Rasulullah ini seakan ingin menunjukkan bahwa bangsa Arab tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa lain, bahkan dari budak sekalipun. Derajat seseorang ditentukan takwanya.
Sayangnya, pernikahan ini gagal membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Zaid bin Haritsah menceraikan Sayyidah Zainab. Selanjutnya Rasulullah menikahi janda anak angkatnya itu. Ini juga kontroversial bagi orang-orang Arab. Kala itu mereka menganggap istri anak angkat tidak bisa dinikahi ayah angkatnya.
Agar tidak keliru, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) memiliki dua istri yang bernama sama: Zainab. Satu Zainab binti Khuzaimah dan satu lagi Zainab binti Jahsy. Yang akan kita ceritakan ini kali adalah Sayyidah Zainab binti Jahsy bin Rabab radhiyallahu ‘anha (588-641 M). ( )
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ibu dari Sayyidah Zainab bintu Jahsy bernama Umayyah binti Muththalib adalah putri dari paman Rasulullah SAW.
Beliau telah masuk Islam sejak awal dan ikut hijrah bersama Rasulullah SAW ke Madinah. Kemudian Rasulullah meminangnya untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau.
Zainab berkata, "Wahai Rasulullah, saya masih belum yakin dirinya untuk diriku, sedangkan diriku adalah seorang janda Quraisy."
Rasulullah menjawab, "Sungguh aku telah meridhainya untuk dirimu."
( )
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menulis, bahwa Rasulullah telah melamar Sayyidah Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya.
Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Sayyidah Khadijah lalu dimerdekakan oleh Nabi Muhammad.
“Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan," jelas Haekal.
Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Beliau ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS Al-Hujurat : 13)
Sungguhpun begitu, menurut Haekal, beliau merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab binti Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya.
Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka beliau pun bersedia berkorban, karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya itu.
Biarlah Rasulullah memperlihatkan desakannya itu supaya Sayyidah Zainab dan saudaranya Abdullah bin Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.
Dan untuk itu Allah SWT berfirman,