Serampangan Mengkafirkan Orang, Bumi Tolak Jasad Muhallim
loading...
A
A
A
Al-Qurthubi mengatakan masalah mengkafirkan adalah masalah yang berbahaya, banyak manusia maju melakukannya lalu mereka jatuh, adapun para ulama terkemuka, mereka memilih sikap hati-hati maka mereka pun selamat. Dan keselamatan adalah sesuatu yang tidak ada bandingannya.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Hendaknya bagi seorang mufti (orang yang berfatwa) untuk berhati-hati dari sikap mengkafirkan selagi dia bisa, karena bahayanya yang sangat besar dan banyaknya orang yang tidak bermaksud melakukannya, apalagi orang-orang awam biasa. Para imam-imam kita (ulama Syafi’iyyah) selalu demikian sejak dahulu hingga sekarang.
Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata: “Melaknat seorang muslim hukumnya haram, lebih parah lagi adalah mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari agama Islam, padahal hal itu memiliki dampak negatif yang banyak, di antaranya: membuat musuh-musuh Islam bergembira dan mencela kaum muslimin”.
Imam Syaukani berkata: “Ketahuilah bahwa menghukumi seorang muslim bahwa dia keluar dari agama Islam menuju kekafiran tidaklah pantas dilakukan seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir kecuali dengan bukti yang lebih terang dari matahari, karena telah shahih dari sejumlah sahabat bahwa Nabi bersabda: “Barang siapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka akan kembali kepadanya salah satu di antaranya.”
Dalam hadits-hadits ini terdapat peringatan keras dari tergesa-gesa dalam mengkafirkan.
Abdullah Abu Buthain berkata: Kesimpulannya, wajib bagi setiap orang yang menasihati dirinya untuk tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan bukti dari Allah. Dan hendaknya dia berwaspada dari mengeluarkan seorang dari Islam dengan sekadar pemahamannya dan akalnya, karena mengeluarkan seorang atau memasukkannya termasuk perkara agama yang sangat agung. Setan telah menggelincirkan banyak manusia dalam masalah ini.
Sejarah
Pemikiran takfir tanpa dalil muncul pada sejarah umat ini pada waktu yang cukup dini, yaitu dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Khawarij kepada khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 37 H pasca keputusan dua hakim pada perang Shiffin, mereka mengingkari Ali, mengkafirkan beliau dan dua hakim serta orang-orang yang setuju dengan keputusan tersebut.
Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Tatkala Ali mengutus Abu Musa dan beberapa pasukan bersamanya ke Daumatul Jandal, maka Khawarij semakin menjadi-jadi dan mereka sangat mengingkari Ali bahkan mereka terang-terangan mengkafirkan beliau.”
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa mengkafirkan pelaku dosa besar adalah bid’ah yang pertama kali muncul pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karenanya, harus hati-hati dari pengkafiran kaum muslimin karena dosa, sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga mereka mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah dan harta mereka.”
Pemikiran Khawarij ini pun akhirnya menular kepada kelompok-kelompok lainnya seperti Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan lain-lain dari kelompok-kelompok tersesat sehingga menjadi tanda yang menonjol bagi kebanyakan kelompok bid’ah.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Hendaknya bagi seorang mufti (orang yang berfatwa) untuk berhati-hati dari sikap mengkafirkan selagi dia bisa, karena bahayanya yang sangat besar dan banyaknya orang yang tidak bermaksud melakukannya, apalagi orang-orang awam biasa. Para imam-imam kita (ulama Syafi’iyyah) selalu demikian sejak dahulu hingga sekarang.
Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata: “Melaknat seorang muslim hukumnya haram, lebih parah lagi adalah mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari agama Islam, padahal hal itu memiliki dampak negatif yang banyak, di antaranya: membuat musuh-musuh Islam bergembira dan mencela kaum muslimin”.
Imam Syaukani berkata: “Ketahuilah bahwa menghukumi seorang muslim bahwa dia keluar dari agama Islam menuju kekafiran tidaklah pantas dilakukan seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir kecuali dengan bukti yang lebih terang dari matahari, karena telah shahih dari sejumlah sahabat bahwa Nabi bersabda: “Barang siapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka akan kembali kepadanya salah satu di antaranya.”
Dalam hadits-hadits ini terdapat peringatan keras dari tergesa-gesa dalam mengkafirkan.
Abdullah Abu Buthain berkata: Kesimpulannya, wajib bagi setiap orang yang menasihati dirinya untuk tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan bukti dari Allah. Dan hendaknya dia berwaspada dari mengeluarkan seorang dari Islam dengan sekadar pemahamannya dan akalnya, karena mengeluarkan seorang atau memasukkannya termasuk perkara agama yang sangat agung. Setan telah menggelincirkan banyak manusia dalam masalah ini.
Sejarah
Pemikiran takfir tanpa dalil muncul pada sejarah umat ini pada waktu yang cukup dini, yaitu dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Khawarij kepada khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 37 H pasca keputusan dua hakim pada perang Shiffin, mereka mengingkari Ali, mengkafirkan beliau dan dua hakim serta orang-orang yang setuju dengan keputusan tersebut.
Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Tatkala Ali mengutus Abu Musa dan beberapa pasukan bersamanya ke Daumatul Jandal, maka Khawarij semakin menjadi-jadi dan mereka sangat mengingkari Ali bahkan mereka terang-terangan mengkafirkan beliau.”
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa mengkafirkan pelaku dosa besar adalah bid’ah yang pertama kali muncul pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karenanya, harus hati-hati dari pengkafiran kaum muslimin karena dosa, sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga mereka mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah dan harta mereka.”
Pemikiran Khawarij ini pun akhirnya menular kepada kelompok-kelompok lainnya seperti Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan lain-lain dari kelompok-kelompok tersesat sehingga menjadi tanda yang menonjol bagi kebanyakan kelompok bid’ah.
(mhy)