Serampangan Mengkafirkan Orang, Bumi Tolak Jasad Muhallim

Sabtu, 17 April 2021 - 17:58 WIB
loading...
Serampangan Mengkafirkan Orang, Bumi Tolak Jasad Muhallim
Ilustrasi/ist
A A A
MENGANGGAP seseorang kafir bisa berakibat fatal. Rasulullah SAW sangat membenci orang yang demikian itu. Pada masa hidupnya, tepatnya tahun kedelapan hijrah, Rasulullah SAW mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh.



Di sana kemudian mereka bertemu ‘Amir bin Al-Athbat yang segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya ‘Amir bin Al-Athbat sebagai kaum kafir alias tidak beriman.

Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah SAW dan turunlah ayat:

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا (النساء: 94)

Artinya, “Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’.” (An-Nisa: 94)

Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah SAW agar dimintakan ampunan kepada Allah Ta’ala atas perbuatannya.
Namun bagaimana responnya? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir terhadap bin Al-Athbat bahkan sampai membunuhnya, Rasulullah justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.”

Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian ia meninggal dan ketika akan dikuburkan bumi enggan menerimanya.

Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda:

إِنَّ الْأَرْضَ تَقْبَلُ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْ صَاحِبِكُمْ، وَلَكِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يَعِظَكُمْ مِنْ حُرْمَتِكُمْ.

Artinya, “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasehati kalian atas kemuliaan kalian.” (Ismail bin Katsîr Ad-Dimasyqi, Tafsîr Al-Qur’âil Karîm, [Giza, Muassasah Qurthubah: 1421 H/2000 M], cetakan pertama, ed: Musthafa As-Sayyid Muhammad, dkk., juz IV, halaman216-218).

Kisah ini memberi pelajaran bahwa dalam kondisi konflik pun tidak boleh secara serampangan mengafirkan orang. Sikap demikian adalah perbuatan dosa, sangat berbahaya dan dapat menelan korban orang tidak berdosa.



Dilarang Islam
Vonis kafir atau takfîr secara serampangan merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam.

َنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا. فَإنْ كانَ كَمَا قَالَ، وَإلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ. (متفق عليه)

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dalam riwayat lain lebih tegas Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ. (متفق عليه)

Artinya, “Dan siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih).

Berdasarkan hadis-hadis ini pula, maka para ulamapun telah memperingatkan kepada kita semua agar jangan tergesa-gesa dan jangan gegabah dalam mengkafirkan kaum muslimin.

Al-Qurthubi mengatakan masalah mengkafirkan adalah masalah yang berbahaya, banyak manusia maju melakukannya lalu mereka jatuh, adapun para ulama terkemuka, mereka memilih sikap hati-hati maka mereka pun selamat. Dan keselamatan adalah sesuatu yang tidak ada bandingannya.

Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Hendaknya bagi seorang mufti (orang yang berfatwa) untuk berhati-hati dari sikap mengkafirkan selagi dia bisa, karena bahayanya yang sangat besar dan banyaknya orang yang tidak bermaksud melakukannya, apalagi orang-orang awam biasa. Para imam-imam kita (ulama Syafi’iyyah) selalu demikian sejak dahulu hingga sekarang.

Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata: “Melaknat seorang muslim hukumnya haram, lebih parah lagi adalah mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari agama Islam, padahal hal itu memiliki dampak negatif yang banyak, di antaranya: membuat musuh-musuh Islam bergembira dan mencela kaum muslimin”.

Imam Syaukani berkata: “Ketahuilah bahwa menghukumi seorang muslim bahwa dia keluar dari agama Islam menuju kekafiran tidaklah pantas dilakukan seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir kecuali dengan bukti yang lebih terang dari matahari, karena telah shahih dari sejumlah sahabat bahwa Nabi bersabda: “Barang siapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka akan kembali kepadanya salah satu di antaranya.”

Dalam hadits-hadits ini terdapat peringatan keras dari tergesa-gesa dalam mengkafirkan.

Abdullah Abu Buthain berkata: Kesimpulannya, wajib bagi setiap orang yang menasihati dirinya untuk tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan bukti dari Allah. Dan hendaknya dia berwaspada dari mengeluarkan seorang dari Islam dengan sekadar pemahamannya dan akalnya, karena mengeluarkan seorang atau memasukkannya termasuk perkara agama yang sangat agung. Setan telah menggelincirkan banyak manusia dalam masalah ini.



Sejarah
Pemikiran takfir tanpa dalil muncul pada sejarah umat ini pada waktu yang cukup dini, yaitu dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Khawarij kepada khalifah Ali bin Abi Thalib  pada tahun 37 H pasca keputusan dua hakim pada perang Shiffin, mereka mengingkari Ali, mengkafirkan beliau dan dua hakim serta orang-orang yang setuju dengan keputusan tersebut.

Imam Ibnu Katsir  mengatakan: “Tatkala Ali mengutus Abu Musa  dan beberapa pasukan bersamanya ke Daumatul Jandal, maka Khawarij semakin menjadi-jadi dan mereka sangat mengingkari Ali bahkan mereka terang-terangan mengkafirkan beliau.”

Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa mengkafirkan pelaku dosa besar adalah bid’ah yang pertama kali muncul pada umat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karenanya, harus hati-hati dari pengkafiran kaum muslimin karena dosa, sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga mereka mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah dan harta mereka.”

Pemikiran Khawarij ini pun akhirnya menular kepada kelompok-kelompok lainnya seperti Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan lain-lain dari kelompok-kelompok tersesat sehingga menjadi tanda yang menonjol bagi kebanyakan kelompok bid’ah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1816 seconds (0.1#10.140)