Kaum Khawarij Angggap Ali bin Abu Thalib Murtad dan Menjadi Kafir
loading...
A
A
A
Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. berusaha menginsyafkan kaum Khawarij yang sudah mulai berangkat ke Nehrawan guna mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Ali bin Abu Thalib cepat-cepat menulis surat kepada mereka, dibawa oleh seorang kurir. Dalam surat tersebut Ali bin Abu Thalib menjelaskan seperti yang sudah pernah dikemukakan dalam khutbah-khutbahnya.
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan sebelum menutup suratnya dengan kata-kata "Wassalaam", Ali bin Abu Thalib r.a. menegaskan ajakannya: "Seterimanya surat ini, hendaknya kalian segera kembali kepada kami. Kami sudah siap untuk berangkat menghadapi musuh kami dan musuh kalian, dan kami tetap memegang pimpinan seperti semula!"
Surat Ali bin Abu Thalib r.a. itu cepat dijawab oleh kaum Khawarij dengan penuh ejekan dan tuduhan semena-mena: "Engkau marah bukan karena Allah. Engkau marah hanya karena dirimu sendiri! Allah tidak akan menyelamatkan tipu-daya orang-orang yang berkhianat!"
Setelah membaca surat jawaban Khawarij yang seperti itu, Ali bin Abu Thalib putus harapan mengajak mereka bersatu kembali. Tadinya ia berniat hendak berangkat menghadapi pasukan Muawiyah di Shiffin , tetapi sekarang..., apa boleh buat! Daripada tertusuk dari belakang, lebih baik kaum Khawarij "dibenahi" lebih dahulu.
Usaha memberi pengertian sudah ditempuh. Mengajak bersatu kembali telah dicoba. Ajakan untuk berjuang lagi melawan pasukan Syam sudah ditolak. Bahkan mereka sekarang siap mengacungkan pedang.
Bahaya harus ditanggulangi satu demi satu. Yang lebih ringan perlu disingkirkan lebih dulu. Sekarang Ali bin Abu Thalib mengubah niat semula. Menangguhkan perlawanan terhadap pasukan Syam dan menumpas kaum Khawarij lebih dulu.
Pasukan disiapkan untuk berangkat mengejar kaum Khawarij. Lalu Ali bin Abu Thalib r.a. mengucapkan amanat yang berisi petunjuk dan komando: "Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perintah Allah, ia berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para hamba Allah, bertakwalah kalian semua kepada-Nya. Perangilah orang-orang yang bertindak memerangi kaum pengemban Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-orang yang tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau mengerti isyarat-isyarat Al-Qur'an, yaitu mereka yang tidak mau melihat persoalan dari sudut agama. Mereka itu sesungguhnya orang-orang yang belum begitu lama memeluk agama Islam."
"Demi Allah," kata Ali bin Abu Thalib r.a. seterusnya, "seandainya mereka itu sampai dapat menguasai kalian, mereka pasti akan berbuat seperti Kisra dan Kaisar (raja-raja Persia dan Romawi). Berangkatlah sekarang dan siap bertempur. Aku sudah mengirim utusan ke Bashrah agar saudara-saudara yang ada di sana bergabung dengan kalian. Insya Allah, mereka akan segera datang!"
Waktu Ali bin Abu Thalib r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk menumpas pemberontakan bersenjata, tetapi Ali bin Abu Thalib r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri.
Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pemberontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontakan Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau belum sepenuhnya.
Sudah menjadi kepribadian Ali bin Abu Thalib r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya.
Selain itu, walau kelompok Khawarij sekarang berbalik menentang Ali bin Abu Thalib r.a., namun mereka itu tidak menyeberang atau berpihak kepada Muawiyah. Harus disayangkan, dalam keadaan sedang genting-gentingnya menghadapi lawan yang kuat, Syam, kelompok yang sangat ekstrim itu hendak menusuk dari belakang atau menggunting dalam lipatan.
Dengan berbagai perasaan yang serba resah seperti itu, Ali bin Abu Thalib r.a. masih ingin mencoba sekali lagi mengembalikan mereka tanpa kekerasan. Mereka hendak diajak bertukar pikiran mengenai masalah gawat yang sedang mencekam perhatian mereka, yaitu "tahkim".
Lewat seorang kurir Ali bin Abu Thalib r.a. minta supaya kaum Khawarij mengirimkan seorang wakil untuk diajak bertukar-pikiran, dengan jaminan bahwa wakil itu akan dilindungi keamanan dan keselamatannya.
Dalam permintaannya itu Ali bin Abu Thalib r.a. menyatakan janji, jika hujjah (argumentasi) yang dikemukakan oleh wakil mereka itu kuat dan benar, Ali bin Abu Thalib r.a. bersedia mohon pengampunan kepada Allah dan bertaubat atas kesalahannya menerima "tahkim".
Sebaliknya, jika ternyata hujjah Ali bin Abu Thalib r.a. yang kuat dan benar, mereka pun harus bersedia mohon pengampunan dan bertaubat kepada Allah s.w.t.
Permintaan Ali bin Abu Thalib r.a. dapat disetujui kaum Khawarij. Mereka mengirim Ibnul Kawwa sebagai wakil. Berlangsunglah diskusi panjang lebar. Masing-masing mengemukakan alasan dan hujjah untuk memperkuat dan membenarkan pendiriannya sendiri-sendiri. Tetapi akhirnya dengan mengadu hujjah berdasar Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, Ibnul Kawwa tergiring ke sudut sampai tidak dapat lagi menemukan alasan untuk menyanggah hujjah-hujjah yang dikemukakan Ali bin Abu Thalib r.a. secara terperinci.
Selesai diskusi, Ibnul Kawwa kembali kepada kaumnya. Dengan jujur Ibnul Kawwa mengatakan, bahwa berdasar hujjah-hujjah yang dikemukakan, Ali bin Abu Thalib r.a. berada di pihak yang benar menurut hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya. Semua hujjah Ali bin Abu Thalib r.a. wajib diterima oleh mereka.
Demikian kata Ibnul Kawwa kepada kaumnya. Kaum Khawarij tak dapat menerima hasil diskusi yang telah berlangsung antara Ali bin Abu Thalib r.a. dengan Ibnul Kawwa. Ibnul Kawwa dikatakan bukan imbangannya untuk berdiskusi dengan Ali bin Abu Thalib r.a. Ibnul Kawwa tidak boleh diberi kesempatan lagi untuk menghadapi diskusi dengan Ali bin Abu Thalib r.a., karena ia tidak akan mampu menghadapi hujjah, logika dan kesanggupan berpikir Ali bin Abu Thalib r.a.
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan sebelum menutup suratnya dengan kata-kata "Wassalaam", Ali bin Abu Thalib r.a. menegaskan ajakannya: "Seterimanya surat ini, hendaknya kalian segera kembali kepada kami. Kami sudah siap untuk berangkat menghadapi musuh kami dan musuh kalian, dan kami tetap memegang pimpinan seperti semula!"
Surat Ali bin Abu Thalib r.a. itu cepat dijawab oleh kaum Khawarij dengan penuh ejekan dan tuduhan semena-mena: "Engkau marah bukan karena Allah. Engkau marah hanya karena dirimu sendiri! Allah tidak akan menyelamatkan tipu-daya orang-orang yang berkhianat!"
Setelah membaca surat jawaban Khawarij yang seperti itu, Ali bin Abu Thalib putus harapan mengajak mereka bersatu kembali. Tadinya ia berniat hendak berangkat menghadapi pasukan Muawiyah di Shiffin , tetapi sekarang..., apa boleh buat! Daripada tertusuk dari belakang, lebih baik kaum Khawarij "dibenahi" lebih dahulu.
Usaha memberi pengertian sudah ditempuh. Mengajak bersatu kembali telah dicoba. Ajakan untuk berjuang lagi melawan pasukan Syam sudah ditolak. Bahkan mereka sekarang siap mengacungkan pedang.
Bahaya harus ditanggulangi satu demi satu. Yang lebih ringan perlu disingkirkan lebih dulu. Sekarang Ali bin Abu Thalib mengubah niat semula. Menangguhkan perlawanan terhadap pasukan Syam dan menumpas kaum Khawarij lebih dulu.
Pasukan disiapkan untuk berangkat mengejar kaum Khawarij. Lalu Ali bin Abu Thalib r.a. mengucapkan amanat yang berisi petunjuk dan komando: "Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perintah Allah, ia berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para hamba Allah, bertakwalah kalian semua kepada-Nya. Perangilah orang-orang yang bertindak memerangi kaum pengemban Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-orang yang tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau mengerti isyarat-isyarat Al-Qur'an, yaitu mereka yang tidak mau melihat persoalan dari sudut agama. Mereka itu sesungguhnya orang-orang yang belum begitu lama memeluk agama Islam."
"Demi Allah," kata Ali bin Abu Thalib r.a. seterusnya, "seandainya mereka itu sampai dapat menguasai kalian, mereka pasti akan berbuat seperti Kisra dan Kaisar (raja-raja Persia dan Romawi). Berangkatlah sekarang dan siap bertempur. Aku sudah mengirim utusan ke Bashrah agar saudara-saudara yang ada di sana bergabung dengan kalian. Insya Allah, mereka akan segera datang!"
Waktu Ali bin Abu Thalib r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk menumpas pemberontakan bersenjata, tetapi Ali bin Abu Thalib r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri.
Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pemberontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontakan Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau belum sepenuhnya.
Sudah menjadi kepribadian Ali bin Abu Thalib r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya.
Selain itu, walau kelompok Khawarij sekarang berbalik menentang Ali bin Abu Thalib r.a., namun mereka itu tidak menyeberang atau berpihak kepada Muawiyah. Harus disayangkan, dalam keadaan sedang genting-gentingnya menghadapi lawan yang kuat, Syam, kelompok yang sangat ekstrim itu hendak menusuk dari belakang atau menggunting dalam lipatan.
Dengan berbagai perasaan yang serba resah seperti itu, Ali bin Abu Thalib r.a. masih ingin mencoba sekali lagi mengembalikan mereka tanpa kekerasan. Mereka hendak diajak bertukar pikiran mengenai masalah gawat yang sedang mencekam perhatian mereka, yaitu "tahkim".
Lewat seorang kurir Ali bin Abu Thalib r.a. minta supaya kaum Khawarij mengirimkan seorang wakil untuk diajak bertukar-pikiran, dengan jaminan bahwa wakil itu akan dilindungi keamanan dan keselamatannya.
Dalam permintaannya itu Ali bin Abu Thalib r.a. menyatakan janji, jika hujjah (argumentasi) yang dikemukakan oleh wakil mereka itu kuat dan benar, Ali bin Abu Thalib r.a. bersedia mohon pengampunan kepada Allah dan bertaubat atas kesalahannya menerima "tahkim".
Sebaliknya, jika ternyata hujjah Ali bin Abu Thalib r.a. yang kuat dan benar, mereka pun harus bersedia mohon pengampunan dan bertaubat kepada Allah s.w.t.
Permintaan Ali bin Abu Thalib r.a. dapat disetujui kaum Khawarij. Mereka mengirim Ibnul Kawwa sebagai wakil. Berlangsunglah diskusi panjang lebar. Masing-masing mengemukakan alasan dan hujjah untuk memperkuat dan membenarkan pendiriannya sendiri-sendiri. Tetapi akhirnya dengan mengadu hujjah berdasar Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, Ibnul Kawwa tergiring ke sudut sampai tidak dapat lagi menemukan alasan untuk menyanggah hujjah-hujjah yang dikemukakan Ali bin Abu Thalib r.a. secara terperinci.
Selesai diskusi, Ibnul Kawwa kembali kepada kaumnya. Dengan jujur Ibnul Kawwa mengatakan, bahwa berdasar hujjah-hujjah yang dikemukakan, Ali bin Abu Thalib r.a. berada di pihak yang benar menurut hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya. Semua hujjah Ali bin Abu Thalib r.a. wajib diterima oleh mereka.
Demikian kata Ibnul Kawwa kepada kaumnya. Kaum Khawarij tak dapat menerima hasil diskusi yang telah berlangsung antara Ali bin Abu Thalib r.a. dengan Ibnul Kawwa. Ibnul Kawwa dikatakan bukan imbangannya untuk berdiskusi dengan Ali bin Abu Thalib r.a. Ibnul Kawwa tidak boleh diberi kesempatan lagi untuk menghadapi diskusi dengan Ali bin Abu Thalib r.a., karena ia tidak akan mampu menghadapi hujjah, logika dan kesanggupan berpikir Ali bin Abu Thalib r.a.