Habib Anis Sholeh Ba'asyin Mengistilahkan Puasa Seperti Fermentasi Anggur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Budayawan asal Pati, Habib Anis Sholeh Ba’asyin , mengumpamakan puasa bak anggur yang difermentasi. Semakin lama difermentasi maka semakin bernilai. Harganya semakin mahal.
Anggur, katanya, baru punya makna setelah kita fermentasi menjadi arak. Minuman anggur itu lebih mahal harganya dibandingkan buah anggur. Semakin tua itu anggur, semakin mahal. Semakin lama diendapkan mahal dan mulia nilainya.
"Istilah ini saya kutip dari pendapat (alm) Kiai Ahmad," tuturnya dalam acara Suluk Maleman seri ke-112, beberapa hari lalu. Acara ini diramaikan dengan koleksi musik Sampak GusUran.
Anis mencontohkan, ketika kita disakiti seseorang, tentu kita marah. Itu wajar. Namun setelah sekian lama maka akan menep atau mengendap. "Pada saat itu kita introspeksi diri. Kita mampu menep, ekspresi kita akan lebih bijaksana," jelasnya.
Reaksi seseorang terhadap peristiwa itulah yang menunjukkan seberapa menepnya dia. Puasa itu sendiri menjadi jalan untuk memudahkan dalam memfermentasi nilai-nilai kehidupan.
Habib Anis mengatakan kini bagaimana membuat puasa kita memfermentasi menjadi sari-sari nilai. Pengalaman hidup kita, kita fermentasi, kita enepkan, diendapkan, nanti pada titik tertentu akan muncul kita sebagai nilai-nilai yang terejawantahkan dalam menyikapi hidup ini.
Puasa berarti juga menepi. Menarik diri dari keramaian. “Dengan menarik diri dari keramaian maka kita bisa menep, artinya diam atau tenang. Mengendapkan semua kekeruhan untuk menjadi jernih," tuturnya.
Kata menep yang diserap bahasa Indonesia dari bahasa Jawa ini, kata Habib Anis, punya arti yang sangat dekat dengan kata shaum atau shiyam dalam bahasa Arab.
Bila telah mampu menep, maka seseorang itu akan mampu lebih bijaksana atau dewasa. Karena orang dapat melihat dan menangkap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah peristiwa sebelum bereaksi.
“Pengalaman hidup, jika semakin lama diendapkan tentu akan semakin kuat dalam melahirkan pemaknaan dan memahami nilai-nilai,” ujarnya.
Dengan menep juga diharapkan membuat orang tidak kagetan dengan apa yang dilihatnya sehingga keliru dalam bereaksi. Hal itu lantaran seringkali apa yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini.
“Di media sosial, meski tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, orang begitu mudah ngomong apa saja. Mudah menghakimi. Kalau orang bisa menghakimi orang lain, tentu tidak perlu ada pengadilan akhirat. Padahal tidak seperti itu,” tegasnya.
Dia pun mengingatkan, hanya dari melihat jejak digital, banyak yang menganggap orang itu sesuai apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Padahal hal itu tak sesuai dengan konsep Islam.
Meski sepuluh tahun lalu pernah berbuat kesalahan, asalkan mau bertobat, maka seseorang akan kembali menjadi nol. Hal itulah yang tidak berlaku di konsep jejak digital.
“Imam Syafii mengingatkan untuk jangan menghukumi orangnya tapi perbuatannya. Perbuatan itu sendiri kontekstual ada ruang, waktu dan kejadiannya. Perbuatannya bisa saja salah, tapi bukan berarti orangnya akan salah terus. Bukankah itu kebijaksanaan dari orang yang sudah menep?” ucap Habib Anis.
Puasa, kata Habib Anis, juga mengajari untuk kembali menjadi manusia. Puasa mengajak untuk menahan diri. Terutama untuk hal-hal yang berdampak buruk.
Puasa melatih membuat orang menep dengan output kedewasaan dan kebijaksanaan. “Kenapa harus menahan diri? Terkadang manusia itu merasa tahu semuanya dan ingin ikut berkomentar, ikut campur. Akhirnya ini membuat permasalahan menjadi mubal. Menjadi keruh atau tidak jernih. Dalam kaitan ini, menep akan membuat orang memahami bahwa pada dasarnya dia punya keterbatasan pemahaman. Karena tidak mungkin kita paham pada semua hal,” katanya.
Anggur, katanya, baru punya makna setelah kita fermentasi menjadi arak. Minuman anggur itu lebih mahal harganya dibandingkan buah anggur. Semakin tua itu anggur, semakin mahal. Semakin lama diendapkan mahal dan mulia nilainya.
"Istilah ini saya kutip dari pendapat (alm) Kiai Ahmad," tuturnya dalam acara Suluk Maleman seri ke-112, beberapa hari lalu. Acara ini diramaikan dengan koleksi musik Sampak GusUran.
Anis mencontohkan, ketika kita disakiti seseorang, tentu kita marah. Itu wajar. Namun setelah sekian lama maka akan menep atau mengendap. "Pada saat itu kita introspeksi diri. Kita mampu menep, ekspresi kita akan lebih bijaksana," jelasnya.
Reaksi seseorang terhadap peristiwa itulah yang menunjukkan seberapa menepnya dia. Puasa itu sendiri menjadi jalan untuk memudahkan dalam memfermentasi nilai-nilai kehidupan.
Habib Anis mengatakan kini bagaimana membuat puasa kita memfermentasi menjadi sari-sari nilai. Pengalaman hidup kita, kita fermentasi, kita enepkan, diendapkan, nanti pada titik tertentu akan muncul kita sebagai nilai-nilai yang terejawantahkan dalam menyikapi hidup ini.
Puasa berarti juga menepi. Menarik diri dari keramaian. “Dengan menarik diri dari keramaian maka kita bisa menep, artinya diam atau tenang. Mengendapkan semua kekeruhan untuk menjadi jernih," tuturnya.
Kata menep yang diserap bahasa Indonesia dari bahasa Jawa ini, kata Habib Anis, punya arti yang sangat dekat dengan kata shaum atau shiyam dalam bahasa Arab.
Bila telah mampu menep, maka seseorang itu akan mampu lebih bijaksana atau dewasa. Karena orang dapat melihat dan menangkap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah peristiwa sebelum bereaksi.
“Pengalaman hidup, jika semakin lama diendapkan tentu akan semakin kuat dalam melahirkan pemaknaan dan memahami nilai-nilai,” ujarnya.
Dengan menep juga diharapkan membuat orang tidak kagetan dengan apa yang dilihatnya sehingga keliru dalam bereaksi. Hal itu lantaran seringkali apa yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini.
“Di media sosial, meski tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, orang begitu mudah ngomong apa saja. Mudah menghakimi. Kalau orang bisa menghakimi orang lain, tentu tidak perlu ada pengadilan akhirat. Padahal tidak seperti itu,” tegasnya.
Dia pun mengingatkan, hanya dari melihat jejak digital, banyak yang menganggap orang itu sesuai apa yang telah dilakukan pada masa lampau. Padahal hal itu tak sesuai dengan konsep Islam.
Meski sepuluh tahun lalu pernah berbuat kesalahan, asalkan mau bertobat, maka seseorang akan kembali menjadi nol. Hal itulah yang tidak berlaku di konsep jejak digital.
“Imam Syafii mengingatkan untuk jangan menghukumi orangnya tapi perbuatannya. Perbuatan itu sendiri kontekstual ada ruang, waktu dan kejadiannya. Perbuatannya bisa saja salah, tapi bukan berarti orangnya akan salah terus. Bukankah itu kebijaksanaan dari orang yang sudah menep?” ucap Habib Anis.
Puasa, kata Habib Anis, juga mengajari untuk kembali menjadi manusia. Puasa mengajak untuk menahan diri. Terutama untuk hal-hal yang berdampak buruk.
Puasa melatih membuat orang menep dengan output kedewasaan dan kebijaksanaan. “Kenapa harus menahan diri? Terkadang manusia itu merasa tahu semuanya dan ingin ikut berkomentar, ikut campur. Akhirnya ini membuat permasalahan menjadi mubal. Menjadi keruh atau tidak jernih. Dalam kaitan ini, menep akan membuat orang memahami bahwa pada dasarnya dia punya keterbatasan pemahaman. Karena tidak mungkin kita paham pada semua hal,” katanya.
(mhy)