Al-Qur'an Terkesan Mengecam Kaum Yahudi, Begini Penjelasannya

Senin, 17 Mei 2021 - 13:09 WIB
loading...
Al-Quran Terkesan Mengecam Kaum Yahudi, Begini Penjelasannya
Seorang umat Yahudi Ortodoks anti-Zionis menyobek bendera Israel dalam protes melawan negara Israel di New York. Foto Reuters
A A A
Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah SWT. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani , dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab .



Prof M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Penerbit Mizan, mengatakan selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah lainnya.

Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali, dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali

Menurut Quraish, kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negative tentang mereka.

Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan sebagainya.

Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62).



Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka.

Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian.

Dengan demikian, kata Quraish Shihab, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu.

Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani.



Menurut pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.

Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan:

"Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah:

Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya): "hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun [109]: 2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:

"Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman."

Menurut Quraish, yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam.

Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan menganut agamanya.



Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka.

Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaRyanya Ashab Al-Nuzul.

Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan" untuk orang Yahudi.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1434 seconds (0.1#10.140)