Khutbah Sholat Gerhana Bulan 26 Mei 2021
loading...
A
A
A
Khutbah Shalat Gerhana Bulan 26 Mei 2021 oleh Dr H Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا اْلإِخْوَان، أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ، قَالَ اللهُ تَعاَلَى فِي اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ: وَمِنْ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ، لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Jamaah shalat gerhana rahimakumullah
Malam hari ini Rabu, 26 Mei 2021, terjadi gerhana bulan total dan telah dimulai prosesnya. gerhana ini dapat diamati di seluruh wilayah Indonesia.
Mitologi Gerhana
Peristiwa alam ini melahirkan macam-macam mitologi di berbagai belahan bumi. Di negeri Cina kuno, orang percaya bahwa gerhana terjadi karena seekor naga langit membanjiri sungai dengan darah lalu menelannya. Itu sebabnya orang Cina menyebut gerhana sebagai “chih” yang artinya “memakan”.
Demikian pula di Jepang, dahulu orang percaya bahwa gerhana terjadi karena ada racun yang disebarkan ke bumi. Untuk menghindari air di bumi terkontaminasi oleh racun tersebut, maka masyarakat menutupi rapat sumur-sumur mereka.
Di Indonesia, khususnya Jawa, dahulu orang-orang menganggap bahwa gerhana bulan terjadi karena ada Batarakala alias raksasa jahat memakan rembulan. Mereka kemudian beramai-ramai memukul kentongan pada saat gerhana untuk menakut-nakuti dan mengusir Batarakala.
Demikianlah orang-orang Quraisy di Arabia, gerhana bulan dikaitkan dengan kejadian-kejadian tertentu di bumi, seperti adanya kematian atau kelahiran seseorang. Kepercayaan ini dipegang secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat di zaman itu.
Di zaman Rasulullah SAW , pernah terjadi gerhana matahari , pada saat yang sama putra beliau bernama Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia. Sebagian orang menghubung hubungkan, mengkait kaitkan peristiwa alam tersebut dengan kematian putra beliau.
Mereka beranggapan bahwa peristiwa gerhana adalah karena alam ikut berduka cita atas kematian putra Rasul Allah SAW. Semua kepercayaan di atas adalah mitos atau takhayul, yang salah satu penyebabnya adalah karena pengetahuan masyarakat tentang alam masih sederhana. Dan jiwa mereka masih diliputi oleh keyakinan paganism atau penyembahan kepada para dewa
Islam Meluruskan Mitologi
Jamaah shalat gerhana rahimakumullah
Di antara misi Islam adalah melenyapkan mitologi dari keyakinan manusia. Mitologi adalah kepercayaan-kepercayaan yang bersemayam dalam jiwa masyarakat tetapi tidak memiliki dasar nalar dan wahyu.
Dahulu orang orang Romawi memberi nama hari hari mereka dengan nama dewa-dewa yang mereka sembah dan mereka agungkan. Sunday: hari untuk menyembah dewa matahari. Monday: hari untuk menyenmbah dewa rembulan. Saturday: hari untuk menyembah dewa Saturnus.
Kemudian Islam melenyapkan mitologi tersebut dengan memeri nama hari berdasarkan urut-urutannya. Ahad, isnain, tsulatsa’, arbi’a’, khamis, jumu’ah, dan sabtu.
Demikianlah dalam masalah gerhana ini. Rasulullah saw, menjelaskan rembulan (bulan) atau matahari adalah benda langit, seperti benda benda langit yang lainnya, yang merupakan tanda tanda keagungan Allah, tanda-tanda kemutlakan kuasa Allah swt, atas semua makhluk-Nya.
Fenomena lam yang berujud gerhana baik matahari ataupun rembulan bukan karena kematian atau kelahiran seseorang, melainkan peristiwa alam yang akan memperkuat iman kita, semakin mendekatkan kita kepada Allah swt.
Sebagaimana sabda Rasullah SAW riwayat al-Bukhari dari Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan berdiri yang lama, kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri dengan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan memanjangkan rukuknya, namun tidak selama rukuknya yang pertama.
Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah di hadapan orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya.
Lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidaklah gerhana itu disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” (HR al-Bukhari, hadirs nomor 986).
Empat Sikap Hadapi Gerhana
Dalam hadits tersebut ditegaskan, paling tidak ada empat sikap ajaran Islam terhadap peristiwa gerhana.
Pertama, bahwasannya tidak ada hubungan antara peristiwa gerhana dengan kelahiran atau kematian seseorang. Mitologi tidak memiliki tempat dalam ajaran islam.
Kedua, bahwasannya kita harus mampu menjadikan momentum gerhana sebagai sarana untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah, mendekatkan diri kepadanya. Dengan cara melaksanakan shalat gerhana, banyak banyak bertakbir, dan berdoa kepada-Nya.
Juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hubungan baik kita dengan sesama manusia, dengan cara memperbanyak sedekah, dan menebar manfaat kepada mereka.
Ketiga, gerhana juga merupakan peringatan Allah kepada para hamba-Nya agar segera bertobat dari dosa dan kesalahan-kesalahannya. Karena nabi juga bersabda:
وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ يُخَوِّفُ اللهُ بِهِمَا عِبَادَهُ
Di mana gerhana matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah yang dengan keduanya Ia menakut-nakuti dan memperingatkan hamba-hamba-Nya.
Dari hadits ini, kita dapat mengetahui gerhana adalah peringatan bagi para hamba agar menjauhi kemaksiatan dan bersegera melakukan berbagai kebaikan. gerhana peringatan bagi kita semua agar bersegera melakukan taubat dengan taubatan nashuha dari semua dosa dan maksiat. Allah SWT, berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلاَّ تَخْوِيفًا (سورة الإسراء: ٥٩)
“Dan tidaklah kami mengirimkan tanda-tanda itu kecuali dalam rangka untuk menakut-nakuti dan memberi peringatan.” (al-Isra 59).
Taubatan nashuha adalah taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memenuhi seluruh rukun taubat. Yaitu menyesal, meninggalkan dosa, dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi dosa yang pernah dilakukan.
Kempat, merenungkan dahsyatnya kekuasaan Allah Rabbul ‘alamin. Gerhana merupakan peristiwa alamiah sebagai bagian dari gerak harmonis sistem Tata Surya yang luar biasa. Tata Surya adalah kumpulan benda-benda langit yang terdiri atas sebuah bintang yang disebut matahari dan semua objek yang terikat oleh gaya gravitasinya.
Tata Surya kita sendiri terletak di galaksi Bima Sakti, sebuah galaksi spiral yang berdiameter sekitar 100.000 tahun cahaya dan memiliki sekitar 200 miliar bintang. Matahari berlokasi di salah satu lengan spiral galaksi yang disebut Lengan Orion. Letak Matahari berjarak antara 25.000 dan 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi, dengan kecepatan orbit mengelilingi pusat galaksi sekitar 2.200 kilometer per detik. Subhânallâh.
Momentum Menyadari Kekuasaan Allah
Peristiwa gerhana rembulan total ini merupakan momentum tepat bagi kita semua untuk merenungkan dahsyatnya kekuasaan Allah Rabbul ‘alamin, Penguasa Alam Raya ini. Ini juga momentum seorang hamba untuk mengagungkan Tuhannya, meningkatkan kualitas penghambaan kepada-Nya.
Mari kita gunakan kesempatan langka ini untuk ber-muhasabah, menginstropeksi diri sendiri. Sudahkah doa, takbir, dan sedekah kita berada di jalan yang benar? Apakah kita berdoa sebagai wujud ketawadukan kepada Sang Khaliq atau keserakahan kita sebagai manusia yang serba-ingin? Berdoa karena kita membutuhkan Allah atau sekadar memenuhi nafsu diri sendiri? Pernahkah kita tidak meremehkan doa sebagai perintah dari Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan takbir kita? Sudahkah ia lebih mendalam dan bermakna dari sebatas kata-kata? Apakah kita bagian dari sebagian orang yang bertakbir membesarkan nama Allah tapi di saat bersamaan juga membesarkan ego pribadi dan kelompoknya sendiri?
Bagaimana pula dengan sedekah kita? Seberapa besar manfaat yang dibawa harta dan kehadiran kita untuk orang-orang sekitar? Masihkah kita membeda-bedakan dalam bersedekah orang yang kita senangi dan orang yang kita benci? Sudah kita tak mengharap pamrih dari jasa-jasa yang kita buat meskipun sekadar pujian dan terima kasih?
Apapun momentumnya, seyogianya hal itu menjadi bahan memperbaiki kualitas kepribadian kita. Semakin dekat kepada Allah dari hari ke hari, kian bersahabat dengan alam dan manusia lainnya dari waktu ke waktu.
Hal itu bisa dilakukan hanya dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan Dzat yang diagungkan, melebihi apa saja, tak terkecuali jabatan, gelar, harta, atau lainnya.
Imam al-Ghazali pernah bertanya, “Apa yang paling besar di dunia ini?”
Murid-muridnya yang menjawab, “Gunung.” “Matahari.” “Bumi.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Semua jawaban itu benar. Tapi yang jauh lebih besar adalah hawa nafsu. Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.”
Semoga kita semua bisa belajar dan mengambil dari peristiwa gerhana rembulan ini.
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا اْلإِخْوَان، أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ، قَالَ اللهُ تَعاَلَى فِي اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ: وَمِنْ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ، لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Jamaah shalat gerhana rahimakumullah
Malam hari ini Rabu, 26 Mei 2021, terjadi gerhana bulan total dan telah dimulai prosesnya. gerhana ini dapat diamati di seluruh wilayah Indonesia.
Mitologi Gerhana
Peristiwa alam ini melahirkan macam-macam mitologi di berbagai belahan bumi. Di negeri Cina kuno, orang percaya bahwa gerhana terjadi karena seekor naga langit membanjiri sungai dengan darah lalu menelannya. Itu sebabnya orang Cina menyebut gerhana sebagai “chih” yang artinya “memakan”.
Demikian pula di Jepang, dahulu orang percaya bahwa gerhana terjadi karena ada racun yang disebarkan ke bumi. Untuk menghindari air di bumi terkontaminasi oleh racun tersebut, maka masyarakat menutupi rapat sumur-sumur mereka.
Di Indonesia, khususnya Jawa, dahulu orang-orang menganggap bahwa gerhana bulan terjadi karena ada Batarakala alias raksasa jahat memakan rembulan. Mereka kemudian beramai-ramai memukul kentongan pada saat gerhana untuk menakut-nakuti dan mengusir Batarakala.
Demikianlah orang-orang Quraisy di Arabia, gerhana bulan dikaitkan dengan kejadian-kejadian tertentu di bumi, seperti adanya kematian atau kelahiran seseorang. Kepercayaan ini dipegang secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat di zaman itu.
Di zaman Rasulullah SAW , pernah terjadi gerhana matahari , pada saat yang sama putra beliau bernama Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia. Sebagian orang menghubung hubungkan, mengkait kaitkan peristiwa alam tersebut dengan kematian putra beliau.
Mereka beranggapan bahwa peristiwa gerhana adalah karena alam ikut berduka cita atas kematian putra Rasul Allah SAW. Semua kepercayaan di atas adalah mitos atau takhayul, yang salah satu penyebabnya adalah karena pengetahuan masyarakat tentang alam masih sederhana. Dan jiwa mereka masih diliputi oleh keyakinan paganism atau penyembahan kepada para dewa
Islam Meluruskan Mitologi
Jamaah shalat gerhana rahimakumullah
Di antara misi Islam adalah melenyapkan mitologi dari keyakinan manusia. Mitologi adalah kepercayaan-kepercayaan yang bersemayam dalam jiwa masyarakat tetapi tidak memiliki dasar nalar dan wahyu.
Dahulu orang orang Romawi memberi nama hari hari mereka dengan nama dewa-dewa yang mereka sembah dan mereka agungkan. Sunday: hari untuk menyembah dewa matahari. Monday: hari untuk menyenmbah dewa rembulan. Saturday: hari untuk menyembah dewa Saturnus.
Kemudian Islam melenyapkan mitologi tersebut dengan memeri nama hari berdasarkan urut-urutannya. Ahad, isnain, tsulatsa’, arbi’a’, khamis, jumu’ah, dan sabtu.
Demikianlah dalam masalah gerhana ini. Rasulullah saw, menjelaskan rembulan (bulan) atau matahari adalah benda langit, seperti benda benda langit yang lainnya, yang merupakan tanda tanda keagungan Allah, tanda-tanda kemutlakan kuasa Allah swt, atas semua makhluk-Nya.
Fenomena lam yang berujud gerhana baik matahari ataupun rembulan bukan karena kematian atau kelahiran seseorang, melainkan peristiwa alam yang akan memperkuat iman kita, semakin mendekatkan kita kepada Allah swt.
Sebagaimana sabda Rasullah SAW riwayat al-Bukhari dari Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan berdiri yang lama, kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri dengan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan memanjangkan rukuknya, namun tidak selama rukuknya yang pertama.
Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah di hadapan orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya.
Lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidaklah gerhana itu disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” (HR al-Bukhari, hadirs nomor 986).
Empat Sikap Hadapi Gerhana
Dalam hadits tersebut ditegaskan, paling tidak ada empat sikap ajaran Islam terhadap peristiwa gerhana.
Pertama, bahwasannya tidak ada hubungan antara peristiwa gerhana dengan kelahiran atau kematian seseorang. Mitologi tidak memiliki tempat dalam ajaran islam.
Kedua, bahwasannya kita harus mampu menjadikan momentum gerhana sebagai sarana untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah, mendekatkan diri kepadanya. Dengan cara melaksanakan shalat gerhana, banyak banyak bertakbir, dan berdoa kepada-Nya.
Juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hubungan baik kita dengan sesama manusia, dengan cara memperbanyak sedekah, dan menebar manfaat kepada mereka.
Ketiga, gerhana juga merupakan peringatan Allah kepada para hamba-Nya agar segera bertobat dari dosa dan kesalahan-kesalahannya. Karena nabi juga bersabda:
وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ يُخَوِّفُ اللهُ بِهِمَا عِبَادَهُ
Di mana gerhana matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah yang dengan keduanya Ia menakut-nakuti dan memperingatkan hamba-hamba-Nya.
Dari hadits ini, kita dapat mengetahui gerhana adalah peringatan bagi para hamba agar menjauhi kemaksiatan dan bersegera melakukan berbagai kebaikan. gerhana peringatan bagi kita semua agar bersegera melakukan taubat dengan taubatan nashuha dari semua dosa dan maksiat. Allah SWT, berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلاَّ تَخْوِيفًا (سورة الإسراء: ٥٩)
“Dan tidaklah kami mengirimkan tanda-tanda itu kecuali dalam rangka untuk menakut-nakuti dan memberi peringatan.” (al-Isra 59).
Taubatan nashuha adalah taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memenuhi seluruh rukun taubat. Yaitu menyesal, meninggalkan dosa, dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi dosa yang pernah dilakukan.
Kempat, merenungkan dahsyatnya kekuasaan Allah Rabbul ‘alamin. Gerhana merupakan peristiwa alamiah sebagai bagian dari gerak harmonis sistem Tata Surya yang luar biasa. Tata Surya adalah kumpulan benda-benda langit yang terdiri atas sebuah bintang yang disebut matahari dan semua objek yang terikat oleh gaya gravitasinya.
Tata Surya kita sendiri terletak di galaksi Bima Sakti, sebuah galaksi spiral yang berdiameter sekitar 100.000 tahun cahaya dan memiliki sekitar 200 miliar bintang. Matahari berlokasi di salah satu lengan spiral galaksi yang disebut Lengan Orion. Letak Matahari berjarak antara 25.000 dan 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi, dengan kecepatan orbit mengelilingi pusat galaksi sekitar 2.200 kilometer per detik. Subhânallâh.
Momentum Menyadari Kekuasaan Allah
Peristiwa gerhana rembulan total ini merupakan momentum tepat bagi kita semua untuk merenungkan dahsyatnya kekuasaan Allah Rabbul ‘alamin, Penguasa Alam Raya ini. Ini juga momentum seorang hamba untuk mengagungkan Tuhannya, meningkatkan kualitas penghambaan kepada-Nya.
Mari kita gunakan kesempatan langka ini untuk ber-muhasabah, menginstropeksi diri sendiri. Sudahkah doa, takbir, dan sedekah kita berada di jalan yang benar? Apakah kita berdoa sebagai wujud ketawadukan kepada Sang Khaliq atau keserakahan kita sebagai manusia yang serba-ingin? Berdoa karena kita membutuhkan Allah atau sekadar memenuhi nafsu diri sendiri? Pernahkah kita tidak meremehkan doa sebagai perintah dari Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan takbir kita? Sudahkah ia lebih mendalam dan bermakna dari sebatas kata-kata? Apakah kita bagian dari sebagian orang yang bertakbir membesarkan nama Allah tapi di saat bersamaan juga membesarkan ego pribadi dan kelompoknya sendiri?
Bagaimana pula dengan sedekah kita? Seberapa besar manfaat yang dibawa harta dan kehadiran kita untuk orang-orang sekitar? Masihkah kita membeda-bedakan dalam bersedekah orang yang kita senangi dan orang yang kita benci? Sudah kita tak mengharap pamrih dari jasa-jasa yang kita buat meskipun sekadar pujian dan terima kasih?
Apapun momentumnya, seyogianya hal itu menjadi bahan memperbaiki kualitas kepribadian kita. Semakin dekat kepada Allah dari hari ke hari, kian bersahabat dengan alam dan manusia lainnya dari waktu ke waktu.
Hal itu bisa dilakukan hanya dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan Dzat yang diagungkan, melebihi apa saja, tak terkecuali jabatan, gelar, harta, atau lainnya.
Imam al-Ghazali pernah bertanya, “Apa yang paling besar di dunia ini?”
Murid-muridnya yang menjawab, “Gunung.” “Matahari.” “Bumi.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Semua jawaban itu benar. Tapi yang jauh lebih besar adalah hawa nafsu. Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.”
Semoga kita semua bisa belajar dan mengambil dari peristiwa gerhana rembulan ini.
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
(mhy)