Tanah Yang Dijanjikan, Sebuah Klaim Palsu Zionis-Yahudi
loading...
A
A
A
Tanah yang dijanjikan atau “tanah perjanjian” atau “Tuhan memberi kami tanah” adalah kata-kata pertama yang digunakan penjajah Zionis modern untuk membenarkan pembersihan etnis mereka atas penduduk asli dan kejahatan mereka yang berkelanjutan.
Penulis dan blogger asal Palestina, Sami Bedouin, menulis bahwa fakta sejarah menegaskan, Palestina tidak pernah menjadi tanah asli orang-orang Yahudi, bahkan menurut Taurat dan Sastra Yahudi sekalipun.
"Apakah orang-orang Yahudi tua yang menginvasi Palestina sebagai migran dari Irak bersama dengan nenek moyang mereka, Abraham, atau dari Mesir bersama dengan Musanya, atau dari Afrika tempat eksodus mereka dimulai, orang-orang Yahudi itu tidak pernah menjadi orang asli dari Palestina," tuturnya.
Menurut dia, jika orang Yahudi ingin percaya pada dongeng Talmud kuno tentang Musa yang sakit, lalu Yehuwa (Yahudi) menunjukkan Gurun Sinai dan menyebutnya “tanah yang dijanjikan” untuk memberikan Palestina yang telah dihuni kepada “budak-budak miskin” Mesir, itu adalah masalah mereka. Namun, tulisnya lagi, itu tidak ada hubungannya dengan kenyataan atau sejarah: Yahudi tua (serta penjajah Eropa modern) tidak lebih dari penjajah terhadap tanah yang tidak pernah menjadi tanah air mereka.
Secara historis, orang Kanaan, orang Yebos dari Yerusalem, orang Het dari Hebron, orang Amori dari Skem (Nablus), dan tujuh suku bangsa lainnya, adalah penduduk yang mendiami tanah Palestina selama ribuan tahun sebelum invasi Yahudi kuno.
Penduduk asli Palestina adalah mereka yang membangun kota-kota kuno Palestina seperti Yerusalem, Hebron, Jericho, Skem dan sisa-sisa desa Palestina-Kanaan.
Fakta bahwa penduduk asli Yebos Kanaan telah membangun Yerusalem dengan kuil paganisnya sekitar 1.500 tahun sebelum ada Yahudi yang menginjak tanah ini.
Jelas dalam Taurat (Yehuwa berbicara kepada Musa) berbicara tentang tanah “mereka” (bangsa-bangsa lain), tetapi bukan “milikmu” atau tanah orang-orang Yahudi. Dan orang-orang Yahudi harus melawan penduduk asli tanah itu dan bahkan memusnahkan penduduk asli itu sesuai dengan perintah Yehuwa.
Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa penduduk asli Palestina (orang Kanaan) beriman kepada Yesus (Nabi Isa Alaihi Salam) dan tinggal di tanahnya, sedangkan orang Yahudi tidak. Orang Yahudi merencanakan melawan penduduk pribumi dengan cara menuduhnya melakukan penghujatan, kemudian penduduk asli diusir dari tanahnya.
Pembenaran Zionis Yahudi
Bagaimana bisa penjajah Palestina kuno dan juga modern membenarkan perampokan tanah yang mereka lakukan dan kejahatan berdarah terhadap penduduk asli yang termasuk genosida?
Ada dua kata kunci yang dapat memperjelas cara berpikir delusi Zionis, kata Sami Bedouin, dua kata ini adalah “tanah perjanjian” dan “Amalek”.
“Tanah perjanjian” atau “Tuhan memberi kami tanah” adalah kata-kata pertama yang digunakan penjajah Zionis modern untuk membenarkan pembersihan etnis mereka atas penduduk asli dan kejahatan mereka yang berkelanjutan.
Apakah penjajah itu mengimani Taurat atau tidak, apakah penjajah Zionis di Palestina adalah ultra religius atau dari pinggiran paling kiri, apakah ia seorang Zionis yang fanatik atau “merpati damai”, tidak satu pun dari mereka yang dapat membenarkan keberadaannya di Palestina, kecuali kata ajaib “Tuhan memberi kami tanah”, seolah Tuhan tidak lain adalah agen real estate yang bekerja untuk orang lain.
Pemusnahan Amalek (penduduk asli Palestina), menurutnya, adalah kata kunci kedua yang digunakan mentalitas Zionis-Yahudi untuk membenarkan tindakan kriminalnya. Amalek dan perlunya memerangi dan memusnahkan mereka banyak dibahas di kalangan agama Yahudi, yang merujuk pada semua non-Yahudi, khususnya penduduk asli Palestina.
Untuk mendapatkan motivator suci bagi proyek kolonial Zionis, referensi Yahudi harus menjelek-jelekkan penduduk asli Palestina yang menjadi proyek kolonial Zionis. Lingkaran agama Yahudi menghubungkan sifat orang-orang Amalek dengan Toratically yang membenarkan pembinasaan.
Sekarang, Palestina telah menjadi “tanah air Yahudi”. Semua orang yang menentang ajaran sesat ini atau ketika penduduk asli berjuang untuk mendapatkan kembali rumah mereka yang dicuri, maka mereka dianggap sebagai orang Amalek “anti-semit”, yang harus dimusnahkan oleh perintah langsung dari Yehuwa Yahudi.
Negeri Pilihan
Allah SWT telah menetapkan keberkahan tanah Palestina, tanah yang juga termasuk bagian dari Syam. Keberkahannya ini dapat dirunut, misalnya Syam menjadi tempat hijrah Nabi Ibrahim AS, tempat singgah Nabi Muhammad SAW ketika menjalankan Isra dan Mi’raj, tempat dakwah para Nabi. Dakwah yang membawa misi agama tauhid. Dan juga lantaran keberadaan Masjidil Aqsha di tanah Palestina yang penuh berkah.
Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [al-Israa/17 : 1]
Selain memuliakan tanah Palestina, Allah juga memilih Mekkah dan Madinah. Begitulah Allah telah mengistimewakan wilayah Syam, dan Masjidil Aqsha. Dan Allah memilih Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjadikannya sebagai khatamul anbiya wal mursalin.
Bani Israil
Sejarah Yahudi bermula sejak Israil, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil, yang tumbuh di daerah Kan’an (Palestina) dengan dikarunia sejumlah 12 anak. Mereka itulah yang disebut asbath (suku) Bani Israil, dan hidup secara badawah (pedesaan).
Ketika Allah menempatkan Yusuf sebagai pejabat penting di Mesir, kemudian meminta kedua orang tua dan saudara-saudaranya untuk berpindah ke Mesir. Di Mesir, keluarga ini hidup di tengah masyarakat watsaniyyun (paganisme). Mereka hidup dengan kehidupan yang baik lagi nikmat di masa Yusuf.
Setelah Nabi Yusuf wafat, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian penguasa, kondisi Bani Israil berubah total. Yang sebelumnya menyandang kehormatan dan kemuliaan, kemudian menjadi terhina, lantaran Fir’aun melakukan penindasan dan memperbudak mereka dalam jangka waktu yang amat lama, sampai Allah mengutus Nabi Musa AS.
Allah SWT berfirman:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya, mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu” [al-Baqarah/2 : 49]
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka …” [QS al-Qashash/28 : 4]
Masa Nabi Musa AS, Allah mengutus Nabi Musa dan Harun kepada Fir’aun dan kaumnya, dengan dibekali mukjizat, untuk menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan membebaskan Bani Israil dari siksaan. Namun Fir’aun dan kaumnya mendustakan mereka berdua, kufur kepada Allah. Karenanya, Allah menimpakan kepada mereka berbagai bencana, kekeringan, rusaknya pertanian, mengirim angin kencang, belalang dan lain-lain.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Musa untuk lari bersama Bani Israil pada suatu malam dari negeri Mesir.
Fir’aun dan kaumnya pun mengejar. Tetapi Allah SWT menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, dan menyelematkan Musa dan kaumnya ke Negeri Saina, masuk dalam wilayah Palestina sekarang. Peristiwa itu terjadi pada hari Asyura.
Orang-orang Yahudi menyebutkan, lama Bani Israil tinggal di Mesir 430 tahun. Jumlah mereka waktu itu sekitar 600 ribu orang lelaki.
Mengenai besaran jumlah ini. Dr Su’ud bin Abdul Aziz Al-Khalaf berkata: “Pengakuan ini sangat berlebihan. Karena berarti, bila ditambah dengan jumlah anak-anak dan kaum wanita, maka akan mencapai kisaran 2 juta-an jiwa. Tidak mungkin dapat dipercaya. Itu berarti jumlah mereka mengalami pertumbuhan 30 ribu kali. Sebab sewaktu Bani Israil masuk ke Mesir, berjumlah 70 jiwa.
Padahal Allah SWT berfirman dalam surat asy-Syu’ara/26 : 54.
إِنَّ هَٰؤُلَاءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
“(Fir’aun berkata) ; ‘Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan yang kecil”
Jumlah 2 juta tidak bisa dikatakan kecil. Mustahil dalam satu malam terjadi eksodus dua juta jiwa. Kita tahu di dalamnya terdapat anak-anak dan kaum wanita serta orang-orang tua. Orang-orang yang bersama Nabi Musa, mereka adalah orang-orang dari Bani Israil yang mengalami penindasan dan kehinaan serta menuhankan manusia dalam jangka waktu yang lama.
Aqidah mereka telah rusak, jiwanya membusuk, mentalnya melemah, dan muncul pada mereka tanda-tanda pengingkaran, kemalasan, pesimis, serta bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Meski Allah telah menunjukkan banyak mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui Nabi Musa, tetapi mereka tetap ingkar, sombong dan tetap kufur. Mereka justru meminta untuk dibuatkan berhala sebagai tuhan yang disembah. Hingga akhirnya, As-Samiri berhasil menghasut mereka untuk menyembah anak sapi, menolak memerangi kaum yang bengis (Jababirah).
Maka, Allah menimpakan hukuman kepada mereka berupa tiih (berjalan berputar-putar tanpa arah karena kebingungan) dalam jangka waktu yang dikehendaki Allah. Pada rentang waktu ini, Musa wafat.
Sementara Harun sudah meninggal terlebih dahulu. Setelah usai ketetapan waktu yang Allah kehendaki untuk menghukum mereka dengan kebingungan tanpa mengetahui arah, Bani Israil berhasil menaklukan bumi yang suci di bawah pimpinan Nabi Yusya bin Nun Alaihissalam.
Para ahli, membagi perjalanan sejarah kota suci Palestina pasca penaklukan tersebut menjadi tiga periode. Pertama : Masa Qudhah, Yaitu masa penunjukkan hakim bagi setiap suku yang berjumlah dua belas, setelah masing-masing mendapatkan wilayah sesuai pembagian Nabi Yusya bin Nun. Masa ini, kurang lebih berlangsung selama 400 tahun lamanya.
Kedua, dikenal dengan masa raja-raja. Diawali oleh Raja Thalut. Kondisi masyarakat mengalami masa keemasan saat dipegang oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Ketiga, periode yang disebut sebagai masa perpecahan internal, yaitu setelah Nabi Sulaiman wafat. Mereka terbelah menjadi dua kutub. Bagian selatan dengan ibukota Baitul Maqdis dan wilayah utara dengan ibukota Nablus. Dua wilayah ini, akhirnya dikuasai bangsa asing. Wilayah selatan ditaklukan oleh bangsa Assiria dari Irak. Wilayah utara diserbu Mesir. Disusul kedatangan Nebukadnezar, yang mampu mengusir bangsa Mesir dari sana.
Pergantian kekuasaan ini, akhirnya dipegang bangsa Romawi yang berhasil mengalahkan bangsa Yunani, penguasa sebelumnya.
Pada masa kekuasaan Romawi inilah, Isa Al-Masih diutus oleh Allah. Pada masa itu pula, musibah dahsyat dialami kaum Yahudi. Bangsa Romawi melakukan genocide (pemusnahan) secara keras etnis mereka, lantaran orang-orang Yahudi melakukan pemberontakan. Baitul Maqdis pun dihancurkan.
Bangsa Yahudi tercerai-berai. Sebagian melarikan diri ke seluruh penjuru wilayah bumi. Demikianlah hukuman Allah dengan mendatangkan bangsa yang menindas mereka. Siksaan dan kepedihan ditimpakan kepada mereka, atas kerusakan, tindak aniaya dan akibat akhlak mereka yang buruk.
Bangsa Romawi menguasai tanah Baitul Maqdis hingga beberapa lama, hingga kemudian pada abad pertama hijriyah, pada masa khalifah Umar Ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, kaum Muslimin berhasil mengambil alih penguasaan tanah penuh berkah ini dari tangan bangsa Romawi yang memeluk agama Nashrani, meliputi Palestina, Syam dan daerah yang ada di dalamnya.
Tepatnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khaththab RA, pada bulan Rajab tahun 16 H, sehingga menjadi Darul Islam. Penyerahan Baitul Maqdis ini terjadi, setelah pasukan Romawi disana dikepung oleh pasukan kaum Muslimin selama empat puluh hari di bawah komando Abu Ubaidah Ibnul Jarrah RA.
Kemudian Khalifah Umar Ibnul Khaththab menetapkan orang-orang Yahudi tidak boleh tinggal di Baitul Maqdis.
Klaim Palsu
Merasa nenek moyangnya pernah berdiam di sana, menyebabkan kaum Yahudi membuat klaim jika mereka memiliki hak atas tanah Palestina. Alasan yang dikemukakan, karena mereka telah mendiaminya sejak Nabi Ibrahim dan berakhir ketika orang-orang Yahudi generasi akhir diusir dari Baitul Maqdis pada masa Romawi.
Mereka pun mengklaim hak kepemilikan tersebut juga berdasarkan tinjauan agama. Yaitu mengacu kepada kitab suci mereka, bahwa Allah telah menjanjikan kepemilikan tanah Kan’an (Palestina) dan wilayah sekitarnya, dari sungai Nil di Mesir sampai sungai Eufrat di Irak.
Janji tersebut disampaikan Allah kepada Ibrahim. Begitulah bangsa Yahudi yang hidup pada masa sekarang mengklaim sebagai keturunan Ibrahim, bangsa terpilih. Sehingga merasa paling berhak dengan Palestina dan sekitarnya, yang disebut-sebut sebagai ardhul mi’ad (tanah yang dijanjikan).
Karenanya, muncul upaya untuk menghimpun kaum Yahudi yang tersebar di berbagai wilayah, bertujuan mendirikan sebuah negara Israil Raya.
Napoleon Bonaparte, seorang raja Perancis telah memfasilitasi tujuan tersebut. Caranya, pada tahun 1799M, dia mengajak Yahudi dari Asia dan Afrika untuk bergabung dengan pasukannya. Namun akibat kekalahan dideritanya, menyebabkan rencana tersebut tidak terwujud.
Penulis dan blogger asal Palestina, Sami Bedouin, menulis bahwa fakta sejarah menegaskan, Palestina tidak pernah menjadi tanah asli orang-orang Yahudi, bahkan menurut Taurat dan Sastra Yahudi sekalipun.
"Apakah orang-orang Yahudi tua yang menginvasi Palestina sebagai migran dari Irak bersama dengan nenek moyang mereka, Abraham, atau dari Mesir bersama dengan Musanya, atau dari Afrika tempat eksodus mereka dimulai, orang-orang Yahudi itu tidak pernah menjadi orang asli dari Palestina," tuturnya.
Menurut dia, jika orang Yahudi ingin percaya pada dongeng Talmud kuno tentang Musa yang sakit, lalu Yehuwa (Yahudi) menunjukkan Gurun Sinai dan menyebutnya “tanah yang dijanjikan” untuk memberikan Palestina yang telah dihuni kepada “budak-budak miskin” Mesir, itu adalah masalah mereka. Namun, tulisnya lagi, itu tidak ada hubungannya dengan kenyataan atau sejarah: Yahudi tua (serta penjajah Eropa modern) tidak lebih dari penjajah terhadap tanah yang tidak pernah menjadi tanah air mereka.
Secara historis, orang Kanaan, orang Yebos dari Yerusalem, orang Het dari Hebron, orang Amori dari Skem (Nablus), dan tujuh suku bangsa lainnya, adalah penduduk yang mendiami tanah Palestina selama ribuan tahun sebelum invasi Yahudi kuno.
Penduduk asli Palestina adalah mereka yang membangun kota-kota kuno Palestina seperti Yerusalem, Hebron, Jericho, Skem dan sisa-sisa desa Palestina-Kanaan.
Fakta bahwa penduduk asli Yebos Kanaan telah membangun Yerusalem dengan kuil paganisnya sekitar 1.500 tahun sebelum ada Yahudi yang menginjak tanah ini.
Jelas dalam Taurat (Yehuwa berbicara kepada Musa) berbicara tentang tanah “mereka” (bangsa-bangsa lain), tetapi bukan “milikmu” atau tanah orang-orang Yahudi. Dan orang-orang Yahudi harus melawan penduduk asli tanah itu dan bahkan memusnahkan penduduk asli itu sesuai dengan perintah Yehuwa.
Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa penduduk asli Palestina (orang Kanaan) beriman kepada Yesus (Nabi Isa Alaihi Salam) dan tinggal di tanahnya, sedangkan orang Yahudi tidak. Orang Yahudi merencanakan melawan penduduk pribumi dengan cara menuduhnya melakukan penghujatan, kemudian penduduk asli diusir dari tanahnya.
Pembenaran Zionis Yahudi
Bagaimana bisa penjajah Palestina kuno dan juga modern membenarkan perampokan tanah yang mereka lakukan dan kejahatan berdarah terhadap penduduk asli yang termasuk genosida?
Ada dua kata kunci yang dapat memperjelas cara berpikir delusi Zionis, kata Sami Bedouin, dua kata ini adalah “tanah perjanjian” dan “Amalek”.
“Tanah perjanjian” atau “Tuhan memberi kami tanah” adalah kata-kata pertama yang digunakan penjajah Zionis modern untuk membenarkan pembersihan etnis mereka atas penduduk asli dan kejahatan mereka yang berkelanjutan.
Apakah penjajah itu mengimani Taurat atau tidak, apakah penjajah Zionis di Palestina adalah ultra religius atau dari pinggiran paling kiri, apakah ia seorang Zionis yang fanatik atau “merpati damai”, tidak satu pun dari mereka yang dapat membenarkan keberadaannya di Palestina, kecuali kata ajaib “Tuhan memberi kami tanah”, seolah Tuhan tidak lain adalah agen real estate yang bekerja untuk orang lain.
Pemusnahan Amalek (penduduk asli Palestina), menurutnya, adalah kata kunci kedua yang digunakan mentalitas Zionis-Yahudi untuk membenarkan tindakan kriminalnya. Amalek dan perlunya memerangi dan memusnahkan mereka banyak dibahas di kalangan agama Yahudi, yang merujuk pada semua non-Yahudi, khususnya penduduk asli Palestina.
Untuk mendapatkan motivator suci bagi proyek kolonial Zionis, referensi Yahudi harus menjelek-jelekkan penduduk asli Palestina yang menjadi proyek kolonial Zionis. Lingkaran agama Yahudi menghubungkan sifat orang-orang Amalek dengan Toratically yang membenarkan pembinasaan.
Sekarang, Palestina telah menjadi “tanah air Yahudi”. Semua orang yang menentang ajaran sesat ini atau ketika penduduk asli berjuang untuk mendapatkan kembali rumah mereka yang dicuri, maka mereka dianggap sebagai orang Amalek “anti-semit”, yang harus dimusnahkan oleh perintah langsung dari Yehuwa Yahudi.
Negeri Pilihan
Allah SWT telah menetapkan keberkahan tanah Palestina, tanah yang juga termasuk bagian dari Syam. Keberkahannya ini dapat dirunut, misalnya Syam menjadi tempat hijrah Nabi Ibrahim AS, tempat singgah Nabi Muhammad SAW ketika menjalankan Isra dan Mi’raj, tempat dakwah para Nabi. Dakwah yang membawa misi agama tauhid. Dan juga lantaran keberadaan Masjidil Aqsha di tanah Palestina yang penuh berkah.
Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [al-Israa/17 : 1]
Selain memuliakan tanah Palestina, Allah juga memilih Mekkah dan Madinah. Begitulah Allah telah mengistimewakan wilayah Syam, dan Masjidil Aqsha. Dan Allah memilih Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjadikannya sebagai khatamul anbiya wal mursalin.
Bani Israil
Sejarah Yahudi bermula sejak Israil, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil, yang tumbuh di daerah Kan’an (Palestina) dengan dikarunia sejumlah 12 anak. Mereka itulah yang disebut asbath (suku) Bani Israil, dan hidup secara badawah (pedesaan).
Ketika Allah menempatkan Yusuf sebagai pejabat penting di Mesir, kemudian meminta kedua orang tua dan saudara-saudaranya untuk berpindah ke Mesir. Di Mesir, keluarga ini hidup di tengah masyarakat watsaniyyun (paganisme). Mereka hidup dengan kehidupan yang baik lagi nikmat di masa Yusuf.
Setelah Nabi Yusuf wafat, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian penguasa, kondisi Bani Israil berubah total. Yang sebelumnya menyandang kehormatan dan kemuliaan, kemudian menjadi terhina, lantaran Fir’aun melakukan penindasan dan memperbudak mereka dalam jangka waktu yang amat lama, sampai Allah mengutus Nabi Musa AS.
Allah SWT berfirman:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya, mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu” [al-Baqarah/2 : 49]
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka …” [QS al-Qashash/28 : 4]
Masa Nabi Musa AS, Allah mengutus Nabi Musa dan Harun kepada Fir’aun dan kaumnya, dengan dibekali mukjizat, untuk menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan membebaskan Bani Israil dari siksaan. Namun Fir’aun dan kaumnya mendustakan mereka berdua, kufur kepada Allah. Karenanya, Allah menimpakan kepada mereka berbagai bencana, kekeringan, rusaknya pertanian, mengirim angin kencang, belalang dan lain-lain.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Musa untuk lari bersama Bani Israil pada suatu malam dari negeri Mesir.
Fir’aun dan kaumnya pun mengejar. Tetapi Allah SWT menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, dan menyelematkan Musa dan kaumnya ke Negeri Saina, masuk dalam wilayah Palestina sekarang. Peristiwa itu terjadi pada hari Asyura.
Orang-orang Yahudi menyebutkan, lama Bani Israil tinggal di Mesir 430 tahun. Jumlah mereka waktu itu sekitar 600 ribu orang lelaki.
Mengenai besaran jumlah ini. Dr Su’ud bin Abdul Aziz Al-Khalaf berkata: “Pengakuan ini sangat berlebihan. Karena berarti, bila ditambah dengan jumlah anak-anak dan kaum wanita, maka akan mencapai kisaran 2 juta-an jiwa. Tidak mungkin dapat dipercaya. Itu berarti jumlah mereka mengalami pertumbuhan 30 ribu kali. Sebab sewaktu Bani Israil masuk ke Mesir, berjumlah 70 jiwa.
Padahal Allah SWT berfirman dalam surat asy-Syu’ara/26 : 54.
إِنَّ هَٰؤُلَاءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
“(Fir’aun berkata) ; ‘Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan yang kecil”
Jumlah 2 juta tidak bisa dikatakan kecil. Mustahil dalam satu malam terjadi eksodus dua juta jiwa. Kita tahu di dalamnya terdapat anak-anak dan kaum wanita serta orang-orang tua. Orang-orang yang bersama Nabi Musa, mereka adalah orang-orang dari Bani Israil yang mengalami penindasan dan kehinaan serta menuhankan manusia dalam jangka waktu yang lama.
Aqidah mereka telah rusak, jiwanya membusuk, mentalnya melemah, dan muncul pada mereka tanda-tanda pengingkaran, kemalasan, pesimis, serta bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Meski Allah telah menunjukkan banyak mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui Nabi Musa, tetapi mereka tetap ingkar, sombong dan tetap kufur. Mereka justru meminta untuk dibuatkan berhala sebagai tuhan yang disembah. Hingga akhirnya, As-Samiri berhasil menghasut mereka untuk menyembah anak sapi, menolak memerangi kaum yang bengis (Jababirah).
Maka, Allah menimpakan hukuman kepada mereka berupa tiih (berjalan berputar-putar tanpa arah karena kebingungan) dalam jangka waktu yang dikehendaki Allah. Pada rentang waktu ini, Musa wafat.
Sementara Harun sudah meninggal terlebih dahulu. Setelah usai ketetapan waktu yang Allah kehendaki untuk menghukum mereka dengan kebingungan tanpa mengetahui arah, Bani Israil berhasil menaklukan bumi yang suci di bawah pimpinan Nabi Yusya bin Nun Alaihissalam.
Para ahli, membagi perjalanan sejarah kota suci Palestina pasca penaklukan tersebut menjadi tiga periode. Pertama : Masa Qudhah, Yaitu masa penunjukkan hakim bagi setiap suku yang berjumlah dua belas, setelah masing-masing mendapatkan wilayah sesuai pembagian Nabi Yusya bin Nun. Masa ini, kurang lebih berlangsung selama 400 tahun lamanya.
Kedua, dikenal dengan masa raja-raja. Diawali oleh Raja Thalut. Kondisi masyarakat mengalami masa keemasan saat dipegang oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Ketiga, periode yang disebut sebagai masa perpecahan internal, yaitu setelah Nabi Sulaiman wafat. Mereka terbelah menjadi dua kutub. Bagian selatan dengan ibukota Baitul Maqdis dan wilayah utara dengan ibukota Nablus. Dua wilayah ini, akhirnya dikuasai bangsa asing. Wilayah selatan ditaklukan oleh bangsa Assiria dari Irak. Wilayah utara diserbu Mesir. Disusul kedatangan Nebukadnezar, yang mampu mengusir bangsa Mesir dari sana.
Pergantian kekuasaan ini, akhirnya dipegang bangsa Romawi yang berhasil mengalahkan bangsa Yunani, penguasa sebelumnya.
Pada masa kekuasaan Romawi inilah, Isa Al-Masih diutus oleh Allah. Pada masa itu pula, musibah dahsyat dialami kaum Yahudi. Bangsa Romawi melakukan genocide (pemusnahan) secara keras etnis mereka, lantaran orang-orang Yahudi melakukan pemberontakan. Baitul Maqdis pun dihancurkan.
Bangsa Yahudi tercerai-berai. Sebagian melarikan diri ke seluruh penjuru wilayah bumi. Demikianlah hukuman Allah dengan mendatangkan bangsa yang menindas mereka. Siksaan dan kepedihan ditimpakan kepada mereka, atas kerusakan, tindak aniaya dan akibat akhlak mereka yang buruk.
Bangsa Romawi menguasai tanah Baitul Maqdis hingga beberapa lama, hingga kemudian pada abad pertama hijriyah, pada masa khalifah Umar Ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, kaum Muslimin berhasil mengambil alih penguasaan tanah penuh berkah ini dari tangan bangsa Romawi yang memeluk agama Nashrani, meliputi Palestina, Syam dan daerah yang ada di dalamnya.
Tepatnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khaththab RA, pada bulan Rajab tahun 16 H, sehingga menjadi Darul Islam. Penyerahan Baitul Maqdis ini terjadi, setelah pasukan Romawi disana dikepung oleh pasukan kaum Muslimin selama empat puluh hari di bawah komando Abu Ubaidah Ibnul Jarrah RA.
Kemudian Khalifah Umar Ibnul Khaththab menetapkan orang-orang Yahudi tidak boleh tinggal di Baitul Maqdis.
Klaim Palsu
Merasa nenek moyangnya pernah berdiam di sana, menyebabkan kaum Yahudi membuat klaim jika mereka memiliki hak atas tanah Palestina. Alasan yang dikemukakan, karena mereka telah mendiaminya sejak Nabi Ibrahim dan berakhir ketika orang-orang Yahudi generasi akhir diusir dari Baitul Maqdis pada masa Romawi.
Mereka pun mengklaim hak kepemilikan tersebut juga berdasarkan tinjauan agama. Yaitu mengacu kepada kitab suci mereka, bahwa Allah telah menjanjikan kepemilikan tanah Kan’an (Palestina) dan wilayah sekitarnya, dari sungai Nil di Mesir sampai sungai Eufrat di Irak.
Janji tersebut disampaikan Allah kepada Ibrahim. Begitulah bangsa Yahudi yang hidup pada masa sekarang mengklaim sebagai keturunan Ibrahim, bangsa terpilih. Sehingga merasa paling berhak dengan Palestina dan sekitarnya, yang disebut-sebut sebagai ardhul mi’ad (tanah yang dijanjikan).
Karenanya, muncul upaya untuk menghimpun kaum Yahudi yang tersebar di berbagai wilayah, bertujuan mendirikan sebuah negara Israil Raya.
Napoleon Bonaparte, seorang raja Perancis telah memfasilitasi tujuan tersebut. Caranya, pada tahun 1799M, dia mengajak Yahudi dari Asia dan Afrika untuk bergabung dengan pasukannya. Namun akibat kekalahan dideritanya, menyebabkan rencana tersebut tidak terwujud.
(mhy)