Cucu Umar bin Khatab yang Zuhud dan Mirip Dengannya

Selasa, 15 Juni 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Tahanan: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan, ‘Ya.’ Silakan Anda melaksanakan perintah zalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”

Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat subuh. Saya mendenganr Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa shalat subuh, dia berada dalam naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena dia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu berbicara.

Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi ke Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak, “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim?” Orang itu menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”

Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas…!”

Ketika khilafah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdillah:

“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengujiku agar berkanan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepada saya buku-buku tentang Umar bin Khaththab, perilaku dan keputusan-keputusanya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”

Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdillah mengirim surat balasan:

”Telah sampai kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khaththab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu adalah bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khaththab dan tidak didampingi orang-orang seperti mendampingi Umar bin Khaththab. Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. Apabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.

Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena busuknya. Wassalamu’alaika warahmatullahi wabarakatuh.”

Kehidupan Salim bin Abdillah bin Umar bin Khaththab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunai dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan masalah kaum muslimin.

Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turut menghadiri pemakaman beliau.

Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdullah, timbul rasa iri di hatinya sehingga di bergumam, “Nanti akan terbukti betapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu.
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2271 seconds (0.1#10.140)