Cucu Umar bin Khatab yang Zuhud dan Mirip Dengannya
loading...
A
A
A
Salim: “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada yang memilikinya (Allah), bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturunan al-Khaththab, alangkah kayanya kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdullah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan doa, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid: “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-hari?”
Salim: “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”
Al-Walid: “Hanya roti dan zaitun?”
Salim: “Benar.”
Al-Walid: “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim: “Jika kebetulan aku tidak berselera, maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, al-Faruq Umar bin Khaththab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemui Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan di belenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim: “Bangkitlah, dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim: “Apakah Anda muslim?”
Tahanan: “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim: “Apakah Anda shalat subuh?”
Tahanan: “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat subuh? Adakah seorang muslim yang tidak mengerjakan shalat subuh?”
Salim: “Saya bertanya, apakah Anda shalat subuh hari ini?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturunan al-Khaththab, alangkah kayanya kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdullah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan doa, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid: “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-hari?”
Salim: “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”
Al-Walid: “Hanya roti dan zaitun?”
Salim: “Benar.”
Al-Walid: “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim: “Jika kebetulan aku tidak berselera, maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, al-Faruq Umar bin Khaththab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemui Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan di belenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim: “Bangkitlah, dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim: “Apakah Anda muslim?”
Tahanan: “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim: “Apakah Anda shalat subuh?”
Tahanan: “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat subuh? Adakah seorang muslim yang tidak mengerjakan shalat subuh?”
Salim: “Saya bertanya, apakah Anda shalat subuh hari ini?”