Cucu Umar bin Khatab yang Zuhud dan Mirip Dengannya
loading...
A
A
A
ANAK Umar bin Khattab banyak, akan tetapi yang paling mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga memiliki banyak anak, bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan Abdullah adalah Salim .
Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Ibnu Abdullah, cucu al-Faruq, Umar bin Khattab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama, dan kewibawaannya.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rezeki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak akan apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di depan Ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca Al-Quran dengan tartil dan khusyuk. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai tawaf dan salat dua rakaat, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan zikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,
Khalifah: “Assalamu’alaika wa rahmatullah wahai Abu Umar.”
Salim: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Khalifah: “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya: “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika salat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadis ini dan itu, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu berkata:
Khalifah: “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim: “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah: “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Ibnu Abdullah, cucu al-Faruq, Umar bin Khattab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama, dan kewibawaannya.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rezeki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak akan apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di depan Ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca Al-Quran dengan tartil dan khusyuk. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai tawaf dan salat dua rakaat, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan zikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,
Khalifah: “Assalamu’alaika wa rahmatullah wahai Abu Umar.”
Salim: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Khalifah: “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya: “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika salat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadis ini dan itu, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu berkata:
Khalifah: “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim: “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah: “Tentunya dari kebutuhan dunia.”