3 Tahap Proses Pensyariatan Puasa, Mirip dengan Kewajiban Sholat

Kamis, 31 Maret 2022 - 21:07 WIB
loading...
3 Tahap Proses Pensyariatan Puasa, Mirip dengan Kewajiban Sholat
Pada awalnya, kewajiban puasa bisa diganti dengan fidyah. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Perintah puasa dilakukan secara bertahap. Kewajiban yang mesti dijalankan orang-orang beriman di bulan Ramadhan itu berproses, setidaknya ada tiga tahapan.

Pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh yang ummat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa, tidak ada pilihan untuk berbuka, dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. ( QS Al-Baqarah : 185)



Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib berkata: Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah SAW ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan.

Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya. Ketika menunggu istrinya mencari makan tidak sengaja Qais ini tertidur, karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: “Celakahlah engkau!”, esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada nabi, maka turunlah ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah : 187)



Dalam kesempatan lainnya, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim juga menjelaskan bahwa sebenarnya proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan sholat. Keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.

Penjelasan ini didapat lewat riwayat Imam Ahmad melalui jalur Muadz bin Jabal, menceritakan: Bahwa pensyariatan sholat itu melalui tiga tahapan dan pensyariatan puasa juga melalui tiga tahapan. Adapun pensyaritan sholat, pada mulanya ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah beliau sholat selama lebih kurang tujuh belas bulan menghadap arah Baitul Maqdis, hingga akhirnya Allah menurunkan ayatNya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai” (QS Al-Baqarah: 144)

Sehingga terjadi perubahan arah kiblat dengan menghadap ke arah Masjid Haram , dan ini dinilai sebagai tahapan pertama dalam pensyariatan salat.

Muadz melanjutkan, tatkala mereka berkumpul di masjid untuk sholat maka satu dengan yang lainnya saling memanggil untuk sholat, hampir-hampir di antara mereka ada yang membunyikan suara lonceng agar dengan mudah mengumpulkan jamaah untuk sholat.

Kemudian datanglah Abdullah bin Zaid, laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah SAW sambil menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi, bahwa dia melihat seorang laki-laki dengan memakai kain hijau berdiri menghadap kiblat dan meneriakkan: Allahu Akbar… Allahu Akbar… dst (lafazh adzan sekarang), lalu setelah selesai tidak berapa lama dari sana laki-laki tadi kembali melafalkan lafazh tersebut, hanya saja kali ini dia menambahkan lafazh seperti lafazh Iqamah sekarang.



Lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar lafazh itu diajarkan kepada Bilal untuk selanjutnya agar Bilal bisa menyeru dengan lafazh itu untuk setiap salat. Tidak lama setelah itu datang juga Umar bin Khattab yang juga menceritakan perihal mimpi yang sama tentang adzan dan iqamah.

Dan cerita tentang adzan serta iqamah ini dinilai sebagai tahapan kedua dalam pensyariatan salat.

Muadz melanjutkan, bahwa tatkala salat sudah berlangsung sebagian dari sahabat ketinggalan jamaah, maka sebagian sahabat berijtihad sendiri dengan mempercepat salat hingga pada akhirnya bisa menyusul rokaat imam, dan pada akhirnya bisa salam bersama imam.

Namun berbeda dengan apa yang dilakuakan oleh Muadz, beliau tidak melakukan seperti itu. Ketika datang Muadz langsung mengikuti gerak Imam hingga akhir, tatkala imam salam, Muadz berdiri kembali menyempurnakan rakaat yang tertinggal, atas perilaku Muazd ini akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan: “Sesungguhnya Muadz telah melakukan yang benar untuk kalian, maka perbuatlah seperti apa yang diperbuat Muadz”
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2335 seconds (0.1#10.140)