Untaian Kalimat Umar bin Khattab yang Meningkatkan Wibawa dan Hikmah

Senin, 12 Juli 2021 - 18:20 WIB
loading...
Untaian Kalimat Umar bin Khattab yang Meningkatkan Wibawa dan Hikmah
Ilustrasi/Ist
A A A
BERIKUT adalah bagian kedua dari kisah Ahnaf bin Qais , pemimpin Bani Tamim. Beliau adalah salah satu murid Umar bin Khattab yang amat fanatik. Lebih dari ini Ahnaf mendapati untaian kalimat Umar yang dianggapnya menjadikan dirinya berwibawa. Apa itu?



Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada al-Faruq Umar bin Khaththab. Dia menghadiri majelis-majelis Umar, mendengarkan nasihat-nasihatnya juga mempelajari berbagai hukum dan pidana. Beliau termasuk murid Umar yang berhasil dan sangat terwarnai oleh karakter gurunya tersebut.

Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab yang berkata,

Barangsiapa banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebihan dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat waranya
Dan barangsiapa sedikit sifat waranya maka matilah hatinya.

Ahnaf memang memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya.

Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?”

Beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang untuk mendapatkan kedudukan itu.”

Orang itu bertanya, “Apakah empat hal itu?”

Beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya, dan rasa malu yang mengendalikannya.”



Ahnaf bin Qais termasuk salah satu tokoh yang lapang dada di Arab, sehingga sifat penyabarnya dibuat sebagai permisalan. Suatu ketika Amru bin Ahtam pernah memperalat seseorang untuk mencaci maki Ahnaf dengan kata-kata yang menyakitkan, tetapi yang dicaci hanya terdiam dan menundukkan kepala. Melihat yang dicaci tidak menggubrisnya, orang itu gigit jari serta bergumam, “Celakalah aku! Demi Allah dia tak mau mempedulikan karena aku dipandang rendah olehnya!”

Ketika hampir mencapai wilayah kaumnya, dia menoleh kepada orang tadi lalu berkata, “Wahai putra saudaraku, bila di hatimu masih tersimpan ganjalan-ganjalan terhadapku, silakan dilontarkan di sini semuanya, sebab bila ada di antara kaumku yang mendengar makianmu, niscaya mereka akan menghajarmu.”

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW , muncul nabi palsu, Musailamah al-Kadzab, yang menyesatkan orang lain dengan kedurhakaannya. Sehingga banyak orang yang murtad karenanya. Bersama pamannya Mutasyamas, Ahnaf bin Qais datang untuk mencari kejelasan tentang hal itu. Ketika itu Ahnaf sedang menginjak usia remaja.

Saat perjalanan pulang, sang paman bertanya kepada Ahnaf, “Bagaimana pendapatmu tentang orang tadi?”

Ahnaf berkata, “Kulihat dia adalah pembohong besar kepada Allah dan manusia.”

Pamannya berkata sambil bergurau, “Engkau tidak takut jika aku laporkan kepadanya?”

Ahnaf berkata, “Kalau begitu aku nanti akan bersumpah kepada paman di hadapannya, maka apakah Anda berani bersumpah bahwa Anda tidak mendustakannya sebagaimana diriku?”

Baca juga
: Khalid bin Walid dan Terbunuhnya Nabi Palsu Musailamah di Kebun Maut

Mereka berdua tertawa dan tetap dalam keislamannya.

Buku Mereka adalah Para Tabi’in karya Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, (2009) menyatakan mungkin Anda heran dan takjub akan ketegasan Ahnaf dalam menyikapi perkara-perkara yang besar, kendati dia masih berusia muda.

Namun bisa jadi keheranan Anda akan watak kerasnya akan luntur manakala Anda mengetahui bahwa pemuda Bani Tamim ini ternyata adalah seorang yang tajam analisanya, cerdas otaknya, tepat pandangannya, dan suci jiwanya.

Dr Abdurrahman Ra’at Basya menjelaskan yang demikian itu karena sejak kecil beliau biasa duduk berkumpul bersama tokoh-tokoh kaumnya, ikut dalam majelis-majelis mereka, menghadiri pertemuan-pertemuan dan tekun belajar kepada ulama dan tokoh-tokohnya.

Beliau menuturkan kisahnya: “Kami sering mendatangi majelis Qais bin Asim al-Minqari untuk belajar tentang kebaikan hidup juga kepada para ulama untuk menimba ilmu agama.”

Tatkala beliau bertanya, “Apa yang Anda dapat dari Qais tentang kebijaksanaan?”

Ahnaf menjawab, “Suatu kali aku mendapatinya duduk bersedekap di ruang depan rumahnya, ia sedang bercakap-cakap dengan beberapa kaumnya. Tak lama kemudian terdengar ribut-ribut di luar. Berikutnya beberapa orang masuk membawa dua orang pemuda, yang satu dalam keadaan terikat dan satunya tidak bernyawa lagi. Seseorang melaporkan: “Keponakan Anda telah membunuh putra Anda si fulan.”

Demi Allah, ketika itu Qais bin Asim tak beranjak dari duduknya ataupun berhenti berbicara. Kemudian dia menoleh kepada keponakannya dan berkata, “Wahai putra saudaraku, engkau membunuh putra pamanmu. Itu berarti engkau telah memutus tali kekeluargaan sendiri dengan tanganmu, engkau melempar dirimu sendiri dengan panahmu.”

Dia berkata kepada anak-anaknya yang lain, “Berdirilah, dan lepaskanlah ikatan putra pamanmu. Sesudah itu kebumikan saudara kalian dan kirimkan seratus ekor unta kepada ibu anak ini sebagai diyat karena dia dari keluarga lain.” Lalu dia berkata kepada keponakannya: “Ikutlah mengubur jenazahnya!”



Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulia gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu, mulailah dia salat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperi orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, Apa yang membuat engkau berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panas api neraka dan bisa bersabar dengan rasa pedihnya?! Ya Allah, bila Engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau adalah yang berkuasa akan hal itu.”
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1449 seconds (0.1#10.140)