Agar Kemaafan Kita Lebih Bermakna
loading...
A
A
A
Budiman Mahmud M
Pemerhati Sosial Budaya
Jika di pengujung Ramadhan seorang hamba mengharapkan kemaafan dari Sang MahaPemberi Maaf,maka di permulaan Syawal ini kita mengharapkan kemaafan dari sesama manusia. Kemaafan dari sang pencipta bersifat hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya.
Kemaafan horizontal tak kalah pentingnya karena kemaafan sosial ini memiliki makna yang penting untuk menghadirkan ketenangan dalam interaksi sosial sesama manusia. Idul fitri adalah momen sakral dalam kehidupan sosial, saling memaafkan lintas golongan dan kelas sosial. Inilah momentum sosial yang menjadi tradisi kebaikan para pendahulu kita.(Baca Juga: Idul Fitri 1441 Hijriyah dan Lahirnya Kaum Sufi Baru)
Idul fitri secara bahasa kembali kepada kesucian, namun di negeri ini, istilah lokal yang menggambarkan momen kebahagiaan dan kemaafan ini disebut dengan lebaran. Tradisi Lebaran ini menjadi tradisi terbesar bangsa kita. Konon menurut tradisi turun-temurun, kata lebaran berasal dari kata dasar lebar, bermakna luas dan lapang. Maksudnya di hari raya ini seluruh umat manusia diharapkan memiliki hati yang luas dan lapang untuk saling memaafkan.
Entah kapan dan siapa yang memulai istilah ini, yang pasti kalimat ini telah menjadi lokal wisdom bangsa kita yang bersifat sangat universal. Idul Fitri dan Lebaran merupakan peristiwa yang penting bagi masyarakat. Jika Idul Fitri secara khusus hanya dapat diraih oleh orang yang melakukan serangkaian amal ibadah tertentu di bulan Ramadhan, maka momen lebaran siapapun bisa merayakannya, siapapun bisa ikut merasakan bahagia, ikut saling bermaafan dan ikut merasakan kehadiran Islam sebagai rahmat bagi semesta Alam.
Kini, tradisi permohonan maaf di Hari lebaran kini telah mengalami perubahan. Permohonan maaf ritual tahunan yang biasanya bersifat langsung dengan seremoni sungkeman kini bergeser melalui perantara media telekomunikasi dan berbagai media sosial. Permohonan maaf yang secara tradisi bersifat offline kini sebagian telah bergeser online.
Ada tradisi copy paste ucapan lebaran , forward ucapan bahkan uniknya lagi kini telah ada template ucapan lebaran baik dalam bentuk kata-kata, gambar hingga video. Ditambah lagi seringkali ucapan-ucapan itu juga muncul di grup-grup sosial media, sehingga mengurangi makna spesial yang menyentuh pengalaman dan kenangan persona. Rasa-rasanya, jika yang terjadiseperti ini maka maaf terasa hambar dan kurang makna baik bagi pengirim maupun penerimanya.(Baca Juga: Penguatan Optimisme dari Ramadhan dan Idul Fitri)
Tentunya sebagian insan masih tetap melakukan tradisi komunikasi real time, baik silaturahmi langsung, silaturahmi melalui panggilan telephone dan panggilan video melalui berbagai aplikasi seperti whatsapp video, Google Meet, Zoom dan lain sebagainya. Apapun caranya, momen lebaran adalah momen kemaafan, momen memulai kehidupan sosial yang baru, momen kebermaknaan hidup dan ketulusan hati saling memaafkan.
Belajar dari Para Nabi
Di era yang terus berubah, kita harus tetap belajar tentang sikap kemaafan dari para Nabi dan Rasul agar jutaan maaf yang terucap dan tertulis di hari lebaran terasa lebih bermakna. Sebagai contoh, kemaafan dalam konteks keluarga, kemaafan ayah dan anak, dapat diambil hikmahnya dari Nabi Ya'kub 'alaihissalam.
Kemaafan Nabi Ya'kub kepada anak-anaknya pada akhirnya lahir dari keikhlasan dan cinta tulusnya pada Sang Khalikdiatas cintanya pada nabi Yusuf danBunyamin adiknya. Saat bersamaan, kemaafan ini juga muncul tidak lama setelah anak-anak yang zalim sadar akan kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah.Pada kisah ini ada korelasi kuat antara orang yang memaafkan dan orang yang minta maaf serta hubungan mereka dengan Sang Pencipta.
Kemaafan Nabi Yusuf 'alaihissalam merupakan contoh kemaafan terhadap saudara, kolega dan keluarga besarnya. Kemaafan hadir dari kebersihan dan kebesaran hatinya yang selalu di jaga Allah. Dalam bahasa indah kemaafan Yusuf yang diberikan kepada saudara-saudaranya diabadikan dalam QS Yusuf ayat 92: "Pada hari in tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang diantara para penyayang".
Kemaafan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah contoh kemaafan terhadap masyarakat luas, kemaafan kemanusiaan universal. Bahkan terhadap orang-orang yang paling keras pemusuhan terhadap beliau dan terhadap umatnya. Cukup kiranya kemaafan pada penaklukan Kota Makkah menunjukkan betapa besarnya makna kemaafan yang diajarkan Rasulullah kepada kita.
Kemaafan besar-besaran inilah yang menjadikan orang berbondong-bondong masuk Islam dan menjadikan sebagai kemenangan yang nyata, tonggak tersebarnya risalah ke penjuru dunia. Semoga di hari lebaran ini, kemaafan kita bukan kemaafan tanpa makna, bukan kemaafan seremonial semata. Semoga kemaafan kita hadir dari hati yang bersih, niat yang tulus,kebesaran jiwa dan keikhlasan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik dan lebih bermanfaat. (Baca Juga: Selamat Idul Fitri, Indahnya Toleransi dan Saling Memaafkan)
Pemerhati Sosial Budaya
Jika di pengujung Ramadhan seorang hamba mengharapkan kemaafan dari Sang MahaPemberi Maaf,maka di permulaan Syawal ini kita mengharapkan kemaafan dari sesama manusia. Kemaafan dari sang pencipta bersifat hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya.
Kemaafan horizontal tak kalah pentingnya karena kemaafan sosial ini memiliki makna yang penting untuk menghadirkan ketenangan dalam interaksi sosial sesama manusia. Idul fitri adalah momen sakral dalam kehidupan sosial, saling memaafkan lintas golongan dan kelas sosial. Inilah momentum sosial yang menjadi tradisi kebaikan para pendahulu kita.(Baca Juga: Idul Fitri 1441 Hijriyah dan Lahirnya Kaum Sufi Baru)
Idul fitri secara bahasa kembali kepada kesucian, namun di negeri ini, istilah lokal yang menggambarkan momen kebahagiaan dan kemaafan ini disebut dengan lebaran. Tradisi Lebaran ini menjadi tradisi terbesar bangsa kita. Konon menurut tradisi turun-temurun, kata lebaran berasal dari kata dasar lebar, bermakna luas dan lapang. Maksudnya di hari raya ini seluruh umat manusia diharapkan memiliki hati yang luas dan lapang untuk saling memaafkan.
Entah kapan dan siapa yang memulai istilah ini, yang pasti kalimat ini telah menjadi lokal wisdom bangsa kita yang bersifat sangat universal. Idul Fitri dan Lebaran merupakan peristiwa yang penting bagi masyarakat. Jika Idul Fitri secara khusus hanya dapat diraih oleh orang yang melakukan serangkaian amal ibadah tertentu di bulan Ramadhan, maka momen lebaran siapapun bisa merayakannya, siapapun bisa ikut merasakan bahagia, ikut saling bermaafan dan ikut merasakan kehadiran Islam sebagai rahmat bagi semesta Alam.
Kini, tradisi permohonan maaf di Hari lebaran kini telah mengalami perubahan. Permohonan maaf ritual tahunan yang biasanya bersifat langsung dengan seremoni sungkeman kini bergeser melalui perantara media telekomunikasi dan berbagai media sosial. Permohonan maaf yang secara tradisi bersifat offline kini sebagian telah bergeser online.
Ada tradisi copy paste ucapan lebaran , forward ucapan bahkan uniknya lagi kini telah ada template ucapan lebaran baik dalam bentuk kata-kata, gambar hingga video. Ditambah lagi seringkali ucapan-ucapan itu juga muncul di grup-grup sosial media, sehingga mengurangi makna spesial yang menyentuh pengalaman dan kenangan persona. Rasa-rasanya, jika yang terjadiseperti ini maka maaf terasa hambar dan kurang makna baik bagi pengirim maupun penerimanya.(Baca Juga: Penguatan Optimisme dari Ramadhan dan Idul Fitri)
Tentunya sebagian insan masih tetap melakukan tradisi komunikasi real time, baik silaturahmi langsung, silaturahmi melalui panggilan telephone dan panggilan video melalui berbagai aplikasi seperti whatsapp video, Google Meet, Zoom dan lain sebagainya. Apapun caranya, momen lebaran adalah momen kemaafan, momen memulai kehidupan sosial yang baru, momen kebermaknaan hidup dan ketulusan hati saling memaafkan.
Belajar dari Para Nabi
Di era yang terus berubah, kita harus tetap belajar tentang sikap kemaafan dari para Nabi dan Rasul agar jutaan maaf yang terucap dan tertulis di hari lebaran terasa lebih bermakna. Sebagai contoh, kemaafan dalam konteks keluarga, kemaafan ayah dan anak, dapat diambil hikmahnya dari Nabi Ya'kub 'alaihissalam.
Kemaafan Nabi Ya'kub kepada anak-anaknya pada akhirnya lahir dari keikhlasan dan cinta tulusnya pada Sang Khalikdiatas cintanya pada nabi Yusuf danBunyamin adiknya. Saat bersamaan, kemaafan ini juga muncul tidak lama setelah anak-anak yang zalim sadar akan kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah.Pada kisah ini ada korelasi kuat antara orang yang memaafkan dan orang yang minta maaf serta hubungan mereka dengan Sang Pencipta.
Kemaafan Nabi Yusuf 'alaihissalam merupakan contoh kemaafan terhadap saudara, kolega dan keluarga besarnya. Kemaafan hadir dari kebersihan dan kebesaran hatinya yang selalu di jaga Allah. Dalam bahasa indah kemaafan Yusuf yang diberikan kepada saudara-saudaranya diabadikan dalam QS Yusuf ayat 92: "Pada hari in tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang diantara para penyayang".
Kemaafan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah contoh kemaafan terhadap masyarakat luas, kemaafan kemanusiaan universal. Bahkan terhadap orang-orang yang paling keras pemusuhan terhadap beliau dan terhadap umatnya. Cukup kiranya kemaafan pada penaklukan Kota Makkah menunjukkan betapa besarnya makna kemaafan yang diajarkan Rasulullah kepada kita.
Kemaafan besar-besaran inilah yang menjadikan orang berbondong-bondong masuk Islam dan menjadikan sebagai kemenangan yang nyata, tonggak tersebarnya risalah ke penjuru dunia. Semoga di hari lebaran ini, kemaafan kita bukan kemaafan tanpa makna, bukan kemaafan seremonial semata. Semoga kemaafan kita hadir dari hati yang bersih, niat yang tulus,kebesaran jiwa dan keikhlasan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik dan lebih bermanfaat. (Baca Juga: Selamat Idul Fitri, Indahnya Toleransi dan Saling Memaafkan)
(rhs)