Imam Syafii: Ilmu itu Bagaikan Binatang Buruan, Menulis Adalah Ikatannya
loading...
A
A
A
Imam Syafii dalam syairnya tentang menulis mengatakan ilmu itu bagaikan binatang buruan, menulis itu adalah ikatannya. "Termasuk sebuah kebodohan adalah memburu sebuah buruan kamu tidak ikat, akhirnya buruan itu lepas lagi,” ujar Ustaz Dr Muhammad Ardiansyah saat menyampaikan Konsep Pendidikan dalam Syair-Syair Imam Syafi’i di Masjid Ulil Albab UNM, Makassar, Sulawesi Selatan, suatu ketika.
Sejarah telah mencatat bahwa para ulama dahulu disuguhi oleh karya-karya yang gemilang. Bahkan mereka disebut sebagai ulama ensiklopedia.
Tradisi ilmu itu telah tercatat dalam sejarah sebagaimana Imam Al-Haramain guru Imam Al-Ghazali yang menulis kitab sebanyak 35 jilid dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menulis Majmu’ Fatawa sebanyak 35 jilid. "Jadi, ulama dulu adalah ulama ensiklopedia,” tandasnya.
Imam Syafi’i dikenal sebagai seorang ulama ushul fiqh dan muhaddits (pakar hadits). Sebagai pakar ushul fiqh, ia menjadi orang pertama yang merumuskan kitab ushul fiqh yang kemudian dinamakan ar-Risalah. Sebagai pakar hadits, ia telah men-syarah banyak hadits dan membukukannya dalam suatu karya berjudul Musnad Imam Syafi’i. Begitu juga dengan syair-syair pendidikan Imam Syafi’i. Termasuk adab dalam menuntut ilmu.
“Kita bisa melihat bagaimana kisah Imam Syafi’i belajar sama Imam Malik. Hingga Imam Syafi’i diminta Imam Malik untuk membacakan muwatha-nya yang sampai ribuan hadits,” ujar Ustaz Dr Muhammad Ardiansyah suatu ketika.
Begitu juga dengan adab menuntut ilmu adalah meninggalkan dosa. Jika kita ingin mendapatkan ilmu yang besar adalah menjauhi maksiat dan dosa. Ilmu itu tempatnya di hati dan Allah tidak akan berikan cahayanya kepada yang kotor.
“Syair-syair Imam Syafi’i tentang adab dalam pendidikan. Misalnya adab dalam menuntut ilmu adalah dengan meninggalkan dosa. Aku pernah mengadu kepada Imam Waqi di Baghdad, susah menghafal. Lalu Imam Waqi menasihati aku untuk meninggalkan dosa, dan Imam Waqi mengatakan ilmu Allah itu adalah cahaya dan cahayanya Allah tidak diberikan kepada orang yang berdosa,” imbuhnya.
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan alQur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya.
Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di akhir materinya, Dr Muhammad Ardiansyah menyampaikan syair Imam Syafi’i tentang pentingnya usaha dan berjuang dalam menuntut ilmu.
“Orang yang berakal dan beradab tidak betah terhadap suatu tempat. Oleh karenanya tinggalkan tempat kelahiran kamu untuk menuntut ilmu. Berangkat jauh ke sana, kalian akan mendapatkan apa yang kalian tinggalkan. Dan jangan pernah bosan untuk bersusah payah, karena hidup ini kenikmatannya didapatkan melalui kesusahan,” tutupnya.
Sejarah telah mencatat bahwa para ulama dahulu disuguhi oleh karya-karya yang gemilang. Bahkan mereka disebut sebagai ulama ensiklopedia.
Tradisi ilmu itu telah tercatat dalam sejarah sebagaimana Imam Al-Haramain guru Imam Al-Ghazali yang menulis kitab sebanyak 35 jilid dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menulis Majmu’ Fatawa sebanyak 35 jilid. "Jadi, ulama dulu adalah ulama ensiklopedia,” tandasnya.
Imam Syafi’i dikenal sebagai seorang ulama ushul fiqh dan muhaddits (pakar hadits). Sebagai pakar ushul fiqh, ia menjadi orang pertama yang merumuskan kitab ushul fiqh yang kemudian dinamakan ar-Risalah. Sebagai pakar hadits, ia telah men-syarah banyak hadits dan membukukannya dalam suatu karya berjudul Musnad Imam Syafi’i. Begitu juga dengan syair-syair pendidikan Imam Syafi’i. Termasuk adab dalam menuntut ilmu.
“Kita bisa melihat bagaimana kisah Imam Syafi’i belajar sama Imam Malik. Hingga Imam Syafi’i diminta Imam Malik untuk membacakan muwatha-nya yang sampai ribuan hadits,” ujar Ustaz Dr Muhammad Ardiansyah suatu ketika.
Begitu juga dengan adab menuntut ilmu adalah meninggalkan dosa. Jika kita ingin mendapatkan ilmu yang besar adalah menjauhi maksiat dan dosa. Ilmu itu tempatnya di hati dan Allah tidak akan berikan cahayanya kepada yang kotor.
“Syair-syair Imam Syafi’i tentang adab dalam pendidikan. Misalnya adab dalam menuntut ilmu adalah dengan meninggalkan dosa. Aku pernah mengadu kepada Imam Waqi di Baghdad, susah menghafal. Lalu Imam Waqi menasihati aku untuk meninggalkan dosa, dan Imam Waqi mengatakan ilmu Allah itu adalah cahaya dan cahayanya Allah tidak diberikan kepada orang yang berdosa,” imbuhnya.
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan alQur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya.
Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di akhir materinya, Dr Muhammad Ardiansyah menyampaikan syair Imam Syafi’i tentang pentingnya usaha dan berjuang dalam menuntut ilmu.
“Orang yang berakal dan beradab tidak betah terhadap suatu tempat. Oleh karenanya tinggalkan tempat kelahiran kamu untuk menuntut ilmu. Berangkat jauh ke sana, kalian akan mendapatkan apa yang kalian tinggalkan. Dan jangan pernah bosan untuk bersusah payah, karena hidup ini kenikmatannya didapatkan melalui kesusahan,” tutupnya.
(mhy)