Menjadi Menantu Abu Lahab, Kisah Pilu Ruqayyah Putri Rasulullah
loading...
A
A
A
Tak lama kemudian, kaum Muslimin memutuskan hijrah ke Madinah. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.
Rasulullah mengizinkan keluarga dan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Salah satu Muhajirin yang paling awal melakukan hijrah adalah Utsman ibn Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah.
Mereka berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan tenang hingga hari-harinya mampu diisi dengan ibadah, baik untuk dunia maupun akhirat.
Hari-hari pertama saat mereka berada di Madinah al-Munawwarah merupakan hari yang penuh kebahagiaan dan ketenangan. Mereka hidup bersama putra tercinta, Abdullah ibn Utsman. Keluarga mereka diselimuti oleh cinta dan kebahagiaan ketika Rasulullah datang sambil menggendong putra mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang disertai untaian senyum yang menenteramkan hati. Kebahagiaan beliau menimbulkan kebahagiaan bagi seluruh kaum Muhajirin maupun Anshar.
Namur kebahagiaan itu segera sirna saat sang anak tercinta Abdullah ibn Utsman jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia dalam usia enam tahun. Ruqayyah kembali mengalami sedihnya perpisahan sesudah kepergian sang ibu.
la pun menyirami bumi dengan air mata karena merasakan pahitnya duka atas kematian yang begitu menekan jiwanya. Kondisinya itu pada akhirnya menyebabkan Ruqayyah jatuh sakit dan menderita demam yang cukup tinggi.
Perang Badar
Tak berapa lama kemudian bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun sakit Ruqayyah belum juga sembuh. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.
Utsman ibn Affan tetap berada di samping istrinya tercinta yang sakitnya semakin parah dan mulai dibayang-bayangi oleh kematian. Utsman memandangi wajah Ruqayyah yang layu dan pucat.
Ketenangan pun hilang dari hatinya, berganti dengan kesedihan yang menyelimuti segenap jiwanya. Napas terengah yang dihirup oleh Ruqayyah dengan susah payah, meski samar-samar, menunjukkan dengan gamblang akan tanda-tanda kematiannya.
la telah menapaki jalan yang sama dengan jalan yang dilewati oleh sang ibu, Ummul Mukminin Khadijah ra, sebelumnya. Jalan menuju keabadian di dalam kerajaan Allah, Tuhan seluruh alam.
Sang suami tercinta yang setia mendampinginya tidak bisa melihat dengan jelas sang istri karena terhalang oleh air mata. Saat itu Ruqayyah sedang menghadapi sakratulmaul untuk menghadap Tuhan Yang Maha Mulia. Begitu suara kaum Muslimin yang pulang dari Perang Badar terdengar menggema di angkasa mengumandangkan kalimat, "Allahu Akbar", pertanda bahwa kemenangan telah berhasil diraih, nyawa Ruqayyah binti Rasulullah itu telah sampai waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan pada dunia yang fana ini, berjalan menuju alam akhirat yang penuh keabadian.
Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah di kala Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."
Utsman memakamkan jenazah istrinya pada hari dimana datangnya Zaid bin Haritsah ke Madinah membawa kabar kemenangan kaum muslimin pada pertempuran Badar. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. mendapatkan kabar atas wafat putrinya Ruqayyah, ia bersabda: Segala puji bagi Allah, telah dimakamkan putri-putri dari perempuan-perempuan yang mulia.
Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.
Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan setan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari setan."
Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.
Anas bin Malik bertutur, kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?” Abu Talhah menjawab, “Saya”. Lalu, Rasulullah SAW berkata, “Turunlah ke liang kuburnya”. Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya.
Sayyidah Ruqayyah wafat pada tahun 2 H saat usianya masih belia, 21 tahun. Kemudian, pada tahun ke-4 H adiknya, Ummu Kultsum putri Rasulullah ketiga dinikahi Utsman bin Affan sehingga Utsman digelari Dzun-Nurain yang bermakna pemilik dua cahaya.***
Rasulullah mengizinkan keluarga dan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Salah satu Muhajirin yang paling awal melakukan hijrah adalah Utsman ibn Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah.
Mereka berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan tenang hingga hari-harinya mampu diisi dengan ibadah, baik untuk dunia maupun akhirat.
Hari-hari pertama saat mereka berada di Madinah al-Munawwarah merupakan hari yang penuh kebahagiaan dan ketenangan. Mereka hidup bersama putra tercinta, Abdullah ibn Utsman. Keluarga mereka diselimuti oleh cinta dan kebahagiaan ketika Rasulullah datang sambil menggendong putra mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang disertai untaian senyum yang menenteramkan hati. Kebahagiaan beliau menimbulkan kebahagiaan bagi seluruh kaum Muhajirin maupun Anshar.
Namur kebahagiaan itu segera sirna saat sang anak tercinta Abdullah ibn Utsman jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia dalam usia enam tahun. Ruqayyah kembali mengalami sedihnya perpisahan sesudah kepergian sang ibu.
la pun menyirami bumi dengan air mata karena merasakan pahitnya duka atas kematian yang begitu menekan jiwanya. Kondisinya itu pada akhirnya menyebabkan Ruqayyah jatuh sakit dan menderita demam yang cukup tinggi.
Perang Badar
Tak berapa lama kemudian bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun sakit Ruqayyah belum juga sembuh. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.
Utsman ibn Affan tetap berada di samping istrinya tercinta yang sakitnya semakin parah dan mulai dibayang-bayangi oleh kematian. Utsman memandangi wajah Ruqayyah yang layu dan pucat.
Ketenangan pun hilang dari hatinya, berganti dengan kesedihan yang menyelimuti segenap jiwanya. Napas terengah yang dihirup oleh Ruqayyah dengan susah payah, meski samar-samar, menunjukkan dengan gamblang akan tanda-tanda kematiannya.
la telah menapaki jalan yang sama dengan jalan yang dilewati oleh sang ibu, Ummul Mukminin Khadijah ra, sebelumnya. Jalan menuju keabadian di dalam kerajaan Allah, Tuhan seluruh alam.
Sang suami tercinta yang setia mendampinginya tidak bisa melihat dengan jelas sang istri karena terhalang oleh air mata. Saat itu Ruqayyah sedang menghadapi sakratulmaul untuk menghadap Tuhan Yang Maha Mulia. Begitu suara kaum Muslimin yang pulang dari Perang Badar terdengar menggema di angkasa mengumandangkan kalimat, "Allahu Akbar", pertanda bahwa kemenangan telah berhasil diraih, nyawa Ruqayyah binti Rasulullah itu telah sampai waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan pada dunia yang fana ini, berjalan menuju alam akhirat yang penuh keabadian.
Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah di kala Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."
Utsman memakamkan jenazah istrinya pada hari dimana datangnya Zaid bin Haritsah ke Madinah membawa kabar kemenangan kaum muslimin pada pertempuran Badar. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. mendapatkan kabar atas wafat putrinya Ruqayyah, ia bersabda: Segala puji bagi Allah, telah dimakamkan putri-putri dari perempuan-perempuan yang mulia.
Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.
Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan setan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari setan."
Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.
Anas bin Malik bertutur, kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?” Abu Talhah menjawab, “Saya”. Lalu, Rasulullah SAW berkata, “Turunlah ke liang kuburnya”. Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya.
Sayyidah Ruqayyah wafat pada tahun 2 H saat usianya masih belia, 21 tahun. Kemudian, pada tahun ke-4 H adiknya, Ummu Kultsum putri Rasulullah ketiga dinikahi Utsman bin Affan sehingga Utsman digelari Dzun-Nurain yang bermakna pemilik dua cahaya.***
(mhy)