Keruntuhan Umat Islam Akhir Zaman
loading...
A
A
A
Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Salah satu karakteristik ilmu, termasuk ilmu agama adalah perkembangannya yang tidak bisa dibendung di sepanjang time line sejarah. Bisa dalam arti bermunculannya cabang dan ranting baru, atau pun juga berupa penyempurnaan dari cabang dan ranting yang sudah ada sebelumnya.
Dalam bidang ilmu tafsir misalnya, khususnya dalam penyajiannya, terakhir muncul cabangnya baru yaitu tafsir maudhu'i. Sesuatu yang jauh sebelumnya belum dikenal, tapi akhirnya jadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan diakui.
Padahal, ilmu tafsir sendiri awalnya justru lahir dari ilmu hadits. Awalnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat menjelaskan pengertian suatu ayat di dalam hadits.
Karena jumlah hadits-hadits yang menjelaskan suatu ayat cukup banyak, akhirnya disusunlah kitab hadits yang isinya secara khusus mencantum hadits tentang ayat-ayat Qur'an saja.
Jadilah kemudian sebagai kitab tafsir generasi pertama, yang intinya tafsir merupakan tafsir bil-ma'tsur. Salah satunya Tafsir Ath-Thabari yang terkenal itu.
Namun kitab hadits sendiri di masa kenabian belum ditulis. Justru Nabi melarang para sahabat untuk menuliskan hadits-haditsnya, yang boleh ditulis hanya ayat-ayat Al-Qur'an saja. Sedangkan hadits hanya boleh dihafalkan saja.
Tapi teks Al-Quran yang ditulis di masa kenabian masih sangat sederhana. Bentuk hurufnya pun tidak bisa kita baca, kecuali setelah dilengkapi di masa berikutnya dengan harakat dan syakal.
Bahkan mushaf Qur'an di masa kenabian masih berupa keping-keping puzzle berantakan. Posisi dan urutan surat dan ayatnya belum tersusun seperti yang kita kenal sekarang ini. Di masa ini juga belum dikenal ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Al-Qur'an, seperti ilmu balaghah, mantiq, bayan, ma'ani, badi' dan seterusnya.
Nahwu dan Sharaf pun belum pernah digagas sebelumnya. Meski sudah ada Rasm Utsmani dalam wujud mushaf betulan, namun ilmu rasm saat itu belum dirumuskan dan belum jadi cabang ilmu dengan teori-teori baku sebagaimana di masa berikutnya.
Tidak Turun dari Langit
Seluruh cabang ilmu keislaman ini disusun oleh para ulama secara bertahap, satu per satu ditemukan, lalu disempurnakan. Apa yang sudah dirintis oleh ulama tertentu di satu generasi, akan dilanjutkan dan sempurnakan oleh para ulama lain pada generasi berikutnya.
Karena itulah kita menemukan karya para ulama selalu bermunculan di sepanjang abad-abad hijriyah. Datang silih berganti hampir di semua cabang ilmu. Yang pasti segambreng ilmu-ilmu keislaman itu tidak turun begitu saja dari langit sebagaimana kitab suci yang turun kepada para nabi dan rasul di masa lalu. Tetapi muncul lewat proses panjang kerja keras para ulama, dengan sepenuh kesungguhan dan optimalisasi kemampuan.
Keruntuhan Islam
Lalu datanglah masa keruntuhan Islam. Salah satu indikator keruntuhannya ketika lahir generasi yang begitu amat jahilnya mereka dari ilmu-ilmu keislaman. Ketika mereka dengan pongahnya meneriakkan yel-yel kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Padahal, dibalik ungkapan yang terkesan keren itu, terselip sebuah pesan yang teramat bahaya, membakar semua warisan ilmu berharga karya para ulama.
Serbuan Musuh Islam
Sebelumnya umat Islam di Baghdad pernah dihabisi oleh pasukan Tatar/Mongol yang meratakan Bani Abasiyah di Baghdad dengan tanah. Ribuan karya ulama yang begitu berharga mereka bakar hangus jadi arang.
Sisanya mereka buang ke sungai Dajlah sehingga airnya berwarna hitam kelunturan tinta para ulama. Sebuah tindakan uncivilize dari bangsa anti peradaban yang tidak paham makna ilmu pengetahuan.
Amat jauh bila dibandingkan penjajahan Eropa di abad 18-20 Masehi ke dunia Islam. Mereka masih sedikit menghargai karya para ulama muslim. Buktinya berbagai kitab ulama justru kita temukan di berbagai moseum di belahan dunia barat.
Mereka tidak beriman, tapi mereka masih punya jiwa apresiasi terhadap dunia ilmu pengetahuan. Sedangkan bangsa Tatar/Mongol itu memang bangsa pre-historic yang anti peradaban dan anti ilmu pengetahuan. Bangsa bodoh yang sejajar dengan hewan melata.
Namun, serbuan musuh Islam dan membakar ribuan karya ulama itu tidak meruntuhkan agama Islam secara keseluruhan. Hanya sebatas di sebagian wilayah saja. Sedangkan wilayah lain seperti Syam, Hijaz, Mesir, Yaman, Magharibah dan Spanyol tetap bersinar dengan ilmu.
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Salah satu karakteristik ilmu, termasuk ilmu agama adalah perkembangannya yang tidak bisa dibendung di sepanjang time line sejarah. Bisa dalam arti bermunculannya cabang dan ranting baru, atau pun juga berupa penyempurnaan dari cabang dan ranting yang sudah ada sebelumnya.
Dalam bidang ilmu tafsir misalnya, khususnya dalam penyajiannya, terakhir muncul cabangnya baru yaitu tafsir maudhu'i. Sesuatu yang jauh sebelumnya belum dikenal, tapi akhirnya jadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan diakui.
Padahal, ilmu tafsir sendiri awalnya justru lahir dari ilmu hadits. Awalnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat menjelaskan pengertian suatu ayat di dalam hadits.
Karena jumlah hadits-hadits yang menjelaskan suatu ayat cukup banyak, akhirnya disusunlah kitab hadits yang isinya secara khusus mencantum hadits tentang ayat-ayat Qur'an saja.
Jadilah kemudian sebagai kitab tafsir generasi pertama, yang intinya tafsir merupakan tafsir bil-ma'tsur. Salah satunya Tafsir Ath-Thabari yang terkenal itu.
Namun kitab hadits sendiri di masa kenabian belum ditulis. Justru Nabi melarang para sahabat untuk menuliskan hadits-haditsnya, yang boleh ditulis hanya ayat-ayat Al-Qur'an saja. Sedangkan hadits hanya boleh dihafalkan saja.
Tapi teks Al-Quran yang ditulis di masa kenabian masih sangat sederhana. Bentuk hurufnya pun tidak bisa kita baca, kecuali setelah dilengkapi di masa berikutnya dengan harakat dan syakal.
Bahkan mushaf Qur'an di masa kenabian masih berupa keping-keping puzzle berantakan. Posisi dan urutan surat dan ayatnya belum tersusun seperti yang kita kenal sekarang ini. Di masa ini juga belum dikenal ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Al-Qur'an, seperti ilmu balaghah, mantiq, bayan, ma'ani, badi' dan seterusnya.
Nahwu dan Sharaf pun belum pernah digagas sebelumnya. Meski sudah ada Rasm Utsmani dalam wujud mushaf betulan, namun ilmu rasm saat itu belum dirumuskan dan belum jadi cabang ilmu dengan teori-teori baku sebagaimana di masa berikutnya.
Tidak Turun dari Langit
Seluruh cabang ilmu keislaman ini disusun oleh para ulama secara bertahap, satu per satu ditemukan, lalu disempurnakan. Apa yang sudah dirintis oleh ulama tertentu di satu generasi, akan dilanjutkan dan sempurnakan oleh para ulama lain pada generasi berikutnya.
Karena itulah kita menemukan karya para ulama selalu bermunculan di sepanjang abad-abad hijriyah. Datang silih berganti hampir di semua cabang ilmu. Yang pasti segambreng ilmu-ilmu keislaman itu tidak turun begitu saja dari langit sebagaimana kitab suci yang turun kepada para nabi dan rasul di masa lalu. Tetapi muncul lewat proses panjang kerja keras para ulama, dengan sepenuh kesungguhan dan optimalisasi kemampuan.
Keruntuhan Islam
Lalu datanglah masa keruntuhan Islam. Salah satu indikator keruntuhannya ketika lahir generasi yang begitu amat jahilnya mereka dari ilmu-ilmu keislaman. Ketika mereka dengan pongahnya meneriakkan yel-yel kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Padahal, dibalik ungkapan yang terkesan keren itu, terselip sebuah pesan yang teramat bahaya, membakar semua warisan ilmu berharga karya para ulama.
Serbuan Musuh Islam
Sebelumnya umat Islam di Baghdad pernah dihabisi oleh pasukan Tatar/Mongol yang meratakan Bani Abasiyah di Baghdad dengan tanah. Ribuan karya ulama yang begitu berharga mereka bakar hangus jadi arang.
Sisanya mereka buang ke sungai Dajlah sehingga airnya berwarna hitam kelunturan tinta para ulama. Sebuah tindakan uncivilize dari bangsa anti peradaban yang tidak paham makna ilmu pengetahuan.
Amat jauh bila dibandingkan penjajahan Eropa di abad 18-20 Masehi ke dunia Islam. Mereka masih sedikit menghargai karya para ulama muslim. Buktinya berbagai kitab ulama justru kita temukan di berbagai moseum di belahan dunia barat.
Mereka tidak beriman, tapi mereka masih punya jiwa apresiasi terhadap dunia ilmu pengetahuan. Sedangkan bangsa Tatar/Mongol itu memang bangsa pre-historic yang anti peradaban dan anti ilmu pengetahuan. Bangsa bodoh yang sejajar dengan hewan melata.
Namun, serbuan musuh Islam dan membakar ribuan karya ulama itu tidak meruntuhkan agama Islam secara keseluruhan. Hanya sebatas di sebagian wilayah saja. Sedangkan wilayah lain seperti Syam, Hijaz, Mesir, Yaman, Magharibah dan Spanyol tetap bersinar dengan ilmu.