Imam Nawawi Pilih Membujang Seumur Hidup, Ini Dalihnya
loading...
A
A
A
Imam Nawawi adalah ulama tersohor bermazhab Syafi'i . Beliau menulis sebanyak kurang lebih 40 karya ilmiah terkenal. Anehnya, beliau lebih memilih hidup membujang selama hidupnya.
Nama lengkapnya Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama dia, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits.
Imam Nawawi pindah ke Damaskus pada tahun 649 H dan tinggal di distrik Rawahibiyah. Di tempat ini dia belajar dan sanggup menghafal kitab at-Tanbih hanya dalam waktu empat setengah bulan. Kemudian dia menghafal kitab al-Muhadzdzabb pada bulan-bulan yang tersisa dari tahun tersebut, di bawah bimbingan Syaikh Kamal Ibnu Ahmad.
Semasa hidupnya dia selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian dia adalah kain kasar, sementara serban dia berwarna hitam dan berukuran kecil.
Imam Nawawi memilih hidup menjomblo alias tidak menikah. Pilihan hidup Imam Nawawi ini dibukukan oleh Syeikh Abu Ghuddah –murid dan khodim dari Syeikh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari kekhalifahan Turki Ustmani– dalam risalahnya yang berjudul Al Ulama Al Uzzab Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj.
Ketegasan prinsip beliau bisa ditemui dalam muqoddimah (bagian pembuka) kitab Al-Majmu' (kitab komentar dari kitab Al-Muhadzzab). Dalam kitab itu, Imam Nawawi secara tegas menyatakan dukungan atas 'mazhab jomblonya'. Dengan mengutip beberapa argumen ulama. Seperti Al-Khatib al-Bagdadi (ulama ahli hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian.
Hal ini disampaikan dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, "Seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk menjomblo sebisa mungkin. Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot mencari nafkah."
Dalam kitab yang sama juga dikutip ucapan seorang sufi besar Ibrahim di Adham, "Barangsiapa yang disibukkan dengan mulus paha para wanita, maka tidak akan bahagia."
Lebih lanjut, Imam Nawawi juga mengutip ucapan Sufyan at-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kufah). "Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu mengarungi lautan. Ketika sudah memiliki anak, berarti telah ia hancurkan perahu itu."
Ini adalah analogi yang sangat menarik dari Tsufyan at-Tsauri. Menurutnya, seorang fakih ketika menggauli istrinya, seolah sedang menaiki perahu mengarungi lautan luas yang begitu indah dengan segala pesonanya. Tapi, ketika sudah melahirkan seorang anak, ia telah hancurkan perahu itu. Otomatis si-fakih tenggelam di tengah lautan dalam.
Dalam Muqoddimah kitab Majmu'-nya, Imam Nawawi melanjutkan, "Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai prinsip kami. Bahwa, orang yang tidak membutuhkan menikah, sunah menjomblo. Begitupun bagi yang merasa butuh, tetapi belum punya biaya".
Hanya saja, apa yang disampaikan Imam Nawawi ini bukan berarti beliau mengingkari anjuran menikah sebagai sunah Rasul SAW. Dalam karya-karya ilmiahnya, sebagaimana ulama pada umumnya, tetap menuliskan bab nikah sebagai anjuran dalam Islam.
Dalam Kitab Al-Majmu’ pada bagian bab nikah, secara tegas beliau sampaikan bahwa hukum asal menikah adalah boleh. "Terkait hukumnya, nikah telah disyari'atkan dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana telah kami paparkan teksnya masing-masing. Para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab kami (Syafi'i), boleh." (lihat Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab, juz 17, hal. 202)
Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan menikah. Justru seandianya menikah, menurutnya, fokus pengabdiannya terhadap ilmu agama akan terganggu.
Bahkan tidak hanya Imam Nawawi. Dalam risalahnya, Syeikh Abu Ghuddah juga menyebutkan daftar ulama-ulama jomblo lainnya. Seperti Imam Dhahabi sang sejarawan handal, Imam Ibnu Jarir at-Thobari sang sejarawan terkemuka abad pertengahan, sang pakar nahwu dan bahasa yang beraliran muktazilah Imam Zamakhsary dan masih banyak lagi.
Nama lengkapnya Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama dia, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits.
Imam Nawawi pindah ke Damaskus pada tahun 649 H dan tinggal di distrik Rawahibiyah. Di tempat ini dia belajar dan sanggup menghafal kitab at-Tanbih hanya dalam waktu empat setengah bulan. Kemudian dia menghafal kitab al-Muhadzdzabb pada bulan-bulan yang tersisa dari tahun tersebut, di bawah bimbingan Syaikh Kamal Ibnu Ahmad.
Semasa hidupnya dia selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian dia adalah kain kasar, sementara serban dia berwarna hitam dan berukuran kecil.
Imam Nawawi memilih hidup menjomblo alias tidak menikah. Pilihan hidup Imam Nawawi ini dibukukan oleh Syeikh Abu Ghuddah –murid dan khodim dari Syeikh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari kekhalifahan Turki Ustmani– dalam risalahnya yang berjudul Al Ulama Al Uzzab Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj.
Ketegasan prinsip beliau bisa ditemui dalam muqoddimah (bagian pembuka) kitab Al-Majmu' (kitab komentar dari kitab Al-Muhadzzab). Dalam kitab itu, Imam Nawawi secara tegas menyatakan dukungan atas 'mazhab jomblonya'. Dengan mengutip beberapa argumen ulama. Seperti Al-Khatib al-Bagdadi (ulama ahli hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian.
Hal ini disampaikan dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, "Seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk menjomblo sebisa mungkin. Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot mencari nafkah."
Dalam kitab yang sama juga dikutip ucapan seorang sufi besar Ibrahim di Adham, "Barangsiapa yang disibukkan dengan mulus paha para wanita, maka tidak akan bahagia."
Lebih lanjut, Imam Nawawi juga mengutip ucapan Sufyan at-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kufah). "Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu mengarungi lautan. Ketika sudah memiliki anak, berarti telah ia hancurkan perahu itu."
Ini adalah analogi yang sangat menarik dari Tsufyan at-Tsauri. Menurutnya, seorang fakih ketika menggauli istrinya, seolah sedang menaiki perahu mengarungi lautan luas yang begitu indah dengan segala pesonanya. Tapi, ketika sudah melahirkan seorang anak, ia telah hancurkan perahu itu. Otomatis si-fakih tenggelam di tengah lautan dalam.
Dalam Muqoddimah kitab Majmu'-nya, Imam Nawawi melanjutkan, "Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai prinsip kami. Bahwa, orang yang tidak membutuhkan menikah, sunah menjomblo. Begitupun bagi yang merasa butuh, tetapi belum punya biaya".
Hanya saja, apa yang disampaikan Imam Nawawi ini bukan berarti beliau mengingkari anjuran menikah sebagai sunah Rasul SAW. Dalam karya-karya ilmiahnya, sebagaimana ulama pada umumnya, tetap menuliskan bab nikah sebagai anjuran dalam Islam.
Dalam Kitab Al-Majmu’ pada bagian bab nikah, secara tegas beliau sampaikan bahwa hukum asal menikah adalah boleh. "Terkait hukumnya, nikah telah disyari'atkan dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana telah kami paparkan teksnya masing-masing. Para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab kami (Syafi'i), boleh." (lihat Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab, juz 17, hal. 202)
Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan menikah. Justru seandianya menikah, menurutnya, fokus pengabdiannya terhadap ilmu agama akan terganggu.
Bahkan tidak hanya Imam Nawawi. Dalam risalahnya, Syeikh Abu Ghuddah juga menyebutkan daftar ulama-ulama jomblo lainnya. Seperti Imam Dhahabi sang sejarawan handal, Imam Ibnu Jarir at-Thobari sang sejarawan terkemuka abad pertengahan, sang pakar nahwu dan bahasa yang beraliran muktazilah Imam Zamakhsary dan masih banyak lagi.
(mhy)