Kisah Al-Ghafiqi, Terulangnya Tragedi Uhud yang Memilukan

Sabtu, 30 Mei 2020 - 12:40 WIB
loading...
A A A
Kemenangan Demi Kemenangan
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.

Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andaluisia dahulu.

Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol Utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis Selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.

Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata setelah gubernur as-Samah bin Malik al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.

Kedatangan Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadap. Perang besar tak terelakkan lagi.

Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhirnya memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.

Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.

Bersama pasukannya, Abdurrahman al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenanganan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavalerinya, seperti daun-daun yang berugugran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.

Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mendahului mereka.

Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya Bordeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon, dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus mil saja dari Paris.

Perlawanan Eropa
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman. al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadap di hadapan mereka.

Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk membendung arus Timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri, dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komando Karel Martel.

Dalam waktu yang bersamaan prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Prancis yang padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya.

Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.

Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman al-Ghafiqi bersama pasukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama, “Balath Syuhada,” karena banyaknya prajurit Islam yang syahid.

Ketika itu pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kpeada harta benda itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.


Ingin sekali Abdurrahman menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.

Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.

Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman al-Ghafiqi melihat bahwa semangat pasukannya mulai menyala. Seperti kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1860 seconds (0.1#10.140)