Imam Nawawi Murka karena Diberi Gelar Muhyiddin
loading...
A
A
A
Imam An-Nawawi yang bernama lengkap Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria, digelari Muhyiddin yang bermakna menghidupkan agama. Anehnya, Imam An-Nawawi membenci gelar ini. Boleh jadi ini karena sikap tawadhu’ beliau. ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin,” ujar Imam An-Nawawi dalam sebuah riwayat.
Menurutnya, agama Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertakwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Menolak Perintah Raja
Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana.
Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!”
Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa?”
Beliau menjawab: ”Karena berisi kezaliman yang nyata”.
Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”.
Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali."
Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?”
Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Hafal Al-Quran Sebelum Baligh
Imam An-Nawawi dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
Imam An-Nawawi dididik sang ayah yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Imam An-Nawawi mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam.
Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar. An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
An-Nawawi tinggal di madrasah Arrawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.
Menurutnya, agama Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertakwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Menolak Perintah Raja
Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana.
Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!”
Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa?”
Beliau menjawab: ”Karena berisi kezaliman yang nyata”.
Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”.
Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali."
Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?”
Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Hafal Al-Quran Sebelum Baligh
Imam An-Nawawi dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
Imam An-Nawawi dididik sang ayah yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Imam An-Nawawi mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam.
Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar. An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
An-Nawawi tinggal di madrasah Arrawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.