Gus Baha Jelaskan Khilafiyah Hukum Musik dalam Islam

Senin, 20 September 2021 - 21:57 WIB
loading...
Gus Baha Jelaskan Khilafiyah Hukum Musik dalam Islam
Gus Baha mengatakan, khilafnya ulama tentang musik itu menyangkut Asbabun Nuzul, bukan menyangkut hukumnya (musik). Foto/dok islami
A A A
Ramai polemik tentang pelemik hukum musik dalam Islam membuat sejumlah ulama di Tanah Air angkat bicara. Salah satunya ulama ahli Al-Qur'an dan Tafsir asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha).

Ulama yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA itu mengatakan, khilafnya ulama itu menyangkut Asbabun Nuzul (سباب النزول), bukan menyangkut hukumnya (musik).



Berikut penjelasan Gus Baha dalam kajian Kitab Tafsir Jalalain bersama santrinya dilansir dari portal Islam iqra.id belum lama ini:

"Ketika Qur'an mulai menarik dikaji di Arab atau di Mekkah-Madinah, Nadhor bin Harits mengimpor buku-buku dari Yunani, Romawi, dan Persia. Buku-buku itu kalau sekarang disebut cerita fiktif. Cerita itu macam-macam, butuhnya untuk menandingi menariknya Al-Qur'an.

Alhasil, mengarang komik itu agak haram, karena tidak baca Al-Qur'an malah baca komik. Tapi, kamu bilang haram kan bukan Allah, pokoknya agak haram!

Jadi, dari dulu kitab suci juga ditandingi dengan kitab-kitab yang tidak penting. Kan manusia itu suka hal yang tidak penting, hal yang ringan. Nah, Nadhor bin Harits itu orangnya pintar. Jadi, dia menjual buku-buku, cerita-cerita fiktif, cerita yang aneh-aneh agar orang Islam tidak sibuk belajar Al-Qur’an.

Jadi, lahwal hadits (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) kalau menurut Imam Suyuthi tidak menyangkut musik. Lalu ada ulama yang menganggap lahwal itu musik, ya dangdutan, macam-macam, tapi itu salah!

Tetapi, tetap musik yang seronok tetap haram, cuma itu pakai kias (قياس). Begini saya ajari ya.

Mengimpor buku dari Persia itu supaya orang belajar buku itu kemudian meninggalkan Al-Qur'an. Kemudian orang yang suka musik yang menghibur dan yang maksiat itu juga nanti akibatnya orang meninggalkan Al-Qur'an.

Jadi, khilafnya ulama itu menyangkut Asbabun Nuzul (سباب النزول), bukan menyangkut hukumnya (musik). Kalau menyangkut hukumnya sama, mau buku, musik, atau apa saja, yang kira-kira menggantikan fungsi orang Islam belajar Al-Qur'an itu termasuk:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna..." (QS. Luqman: 6)

Paham nggeh? Jadi itu hukumnya sama. Khilafnya di Asbabun Nuzul ayat. Kanjeng Nabi itu orang yang dihormati dan paling disukai sahabat. Suatu ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu ada miroh (perdagang kafilah besar). Dari dulu pedagang sudah nakal, membawa musik dan penyanyi perempuan.

Kamu tidak usah bayangin penyanyinya bagaimana, nanti ngeres pikiranmu! Nah, ketika Nabi sedang khutbah para sahabat pada bubar dan hanya menyisakan 12 orang. Bagaimana coba?

Jadi sudah dari dulu, jadi ketika ada kiyai ngaji, kemudian santri menonton (musik) jangan mangkel. Tetap haram, tapi jangan mangkel.

Kanjeng Nabi saja yang kekasih Allah saja pernah ditinggal sahabat nonton 'dangdut' ketika khutbah. Disebut dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا

"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)." (QS. Al-Jumu'ah: 11)

Makanya ada ulama yang mengatakan lahwal hadits itu musik. Karena dianggap ayat ini sesuai atau se-munasabah (berhubungan) dengan ayat tadi:
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1305 seconds (0.1#10.140)