Imam Syafi'i Tak Pernah Mengatakan Allah Bertempat di Atas 'Arsy (1)

Minggu, 03 Oktober 2021 - 06:30 WIB
loading...
Imam Syafii Tak Pernah...
Keberadaan Allah bersemayam di atas Arsy sering menjadi kontroversi. Bagi Imam Syafii, beliau berpendapat bahwa Allah ada tanpa tempat dan permulaan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Banyak pemahaman tersebar di masyarakat muslim menyebut bahwa Allah 'Azza wa Jalla bertempat di atas 'Arsy. Mereka berhujjah dengan dalil Surat Thaha Ayat 5 "Ar-Rahmaanu 'alal 'Arsyis Tawaa" yang artinya: Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy (singgasana).

Bahkan ada sebagian kelompok menyatakan bahwa Imam Syafi'i (wafat 204 H) meyakini keberadaan Allah di atas 'Arsy. Perlu diluruskan bahwa Imam Syafi'i tidak pernah mengatakan demikian. Justru Imam Syafi'i mengatakan bahwa: "Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat." (Lihat az-Zabidi, Ithaf as-Saadah al-Muttaqin)


Pertanyaannya, bolehkah mengatakan Allah bersemayam di atas 'Arsy? Mari kita simak tafsir Surat Thaha ayat 5 berikut:

اَلرَّحۡمٰنُ عَلَى الۡعَرۡشِ اسۡتَوٰى

Ar-Rahmaanu 'alal 'Arsyis tawaa.

Artinya: "(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS Thaha: 5)

Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan, Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an ini adalah Yang Maha Pengasih terhadap semua makhuk tanpa terkecuali; yang bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur semua urusan makhluk-Nya.

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Pencipta langit dan bumi itu, adalah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy. Allah bersemayam di atas 'Arsy, janganlah sekali-kali digambarkan seperti halnya seorang raja yang duduk di atas singgasananya, karena menggambarkan yang seperti itu, berarti telah menyerupakan Khaliq dengan makhluk-Nya. Anggapan seperti ini, tidak dibenarkan sama sekali oleh ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS asy-Syura: 11)

Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsirnya, bahwa cara yang paling baik dalam memahami ayat ini ialah cara yang telah ditempuh oleh Ulama Salaf, yaitu mempercayai ungkapan sebagaimana tercantum di atas 'Arsy (duduk di atas tahta) tetapi cara atau kaifiatnya (duduk di atas tahta) tidak boleh disamakan dengan cara duduknya makhluk, seperti seseorang yang duduk di atas kursi. Hal itu sepenuhnya adalah wewenang Allah semata-mata, manusia tidak dapat mengetahui hakikatnya.

Menurut Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember, Ustaz Abdul Wahab Ahmad, bila kita terima begitu saja terjemahan Qur'an berarti jawabannya sudah jelas: "Allah bersemayam". Tetapi memahaminya tidak sesederhana itu.

"Kita tak boleh membahas masalah aqidah hanya berdasarkan terjemahan saja, sebab bisa jadi terjemahannya tidak tepat. Tentu saja cara seseorang menerjemah tergantung pada mazhab yang ia anut sehingga terjemahan satu orang bisa berbeda dengan lainnya. Apalagi ini terkait dengan ayat Al-Qur’an yang memang kaya makna," kata Ustaz Abdul Wahab dalam catatannya di NU Online.

Ayat tersebut menggunakan redaksi Istawa yang diterjemahkan sebagai "bersemayam". Bila kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersemayam berarti: duduk, berkediaman, tinggal atau bila konteksnya adalah bersemayam dalam hati, maka maknanya adalah terpatri dalam hati.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam peristilahan bahasa Indonesia, kalimat "bersemayam di atas 'Arasy artinya adalah duduk, berdiam atau tinggal di atas Arasy. Kesemua makna ini tanpa diragukan adalah makna jismiyah yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari Allah sebab tak layak bagi kesucian-Nya. Makna duduk sendiri secara tegas dikecam keras oleh Imam Syafi'i.

Mengatakan Allah bersemayam di atas 'Arasy adalah ungkapan yang tidak tepat. Tim penerjemah dari Kementerian Agama tampaknya sadar akan celah ini sehingga mereka memberi catatan "Bersemayam di atas 'Arasy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya" seolah mau menjelaskan bahwa bersemayam yang mereka maksud bukanlah bersemayam dalam arti duduk, tinggal atau berdiam yang kesemuanya tidak layak bagi kebesaran dan kesucian Allah, tetapi makna lain yang layak bagi-Nya.

Yang lebih paham tentang kalam dan paham Imam Syafi'i tentu para ulama bermazhab Syafi'i, bukan ulama di luar Syafi'iyyah.

(Bersambung)



Wallahu A'lam
(rhs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3305 seconds (0.1#10.140)