Ilmu Keislaman di Masa Kenabian
loading...
A
A
A
Ustaz Ahmad Sarwat Lc
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Meski pun Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam merupakan sumber semua ilmu-ilmu keislaman, namun perwajahan ilmu di masa itu belum diformat seperti yang kita kenal pada masa sekarang.
Belum ada pencabangan ilmu yang banyak dan njelimet. Belum ada spesialisasi dan diferensiasi kelompok ilmu. Bahkan belum ada kodifikasi dan korifikasi ilmu.
Di masa kenabian, jangankan cabang ilmu, bahkan hadits-hadits Nabi pun masih dilarang untuk ditulis. Yang ditulis satu-satunya di masa kenabian hanyalah mushaf Al-Qur'an. Itu pun medianya bukan kertas dan buku, tapi kulit, pelepah kurma, tulang dan batu.
Semua ilmu masih jadi satu induk. Contohnya ilmu Al-Qur'an, di masa itu belum dipecah-pecah seperti yang kita kenal sekarang. Barulah di masa berikutnya disusun dan dirumuskan ilmu tajwid. Sebuah disiplin ilmu yang secara khusus bertujuanuntik menjelaskan bagaimana cara membaca Al-Qur'an dengan benar.
Kita katakan bahwa ilmu tajwid ini secara teori tidak pernah dikenal di masa kenabian. Sekian banyak istilah yang digunakan dalam ilmu tajwid baru dirumuskan kemudian. Para shahabat tidak pernah duduk menuntut ilmu di depan Nabi dengan judul mata kuliah: "Ilmu Tajwid".
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah kita dapati dalam hadits misalnya menjelaskan apa itu Izhar, Idgham, Ikhfa', Iqlab, Qalqalah Kubbra dan Shughra. Bukan berarti Nabi tidak tahu semua itu. Namun memang di masa itu belum dirumuskan atau belum diteorikan seperti hari ini.
Dalam hal ini Nabi dan para shahabat begitu saja langsung mempraktekkannya. Di masa itu nampaknya mereka tidak merasa perlu untuk menteorikan. Toh semua orang sudah paham.
Begitu juga dalam ilmu bahasa Arab. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat langsung praktek bicara pakai bahasa Arab. Mereka tidak merasa perlu untuk menteorikan mana yang namanya mubtada', khabar, fi'il, fa'il atau maf'ul.
Asal tahu saja, Nabi Muhammad dan para shahabat bahkan tidak pernah butuh dengan kamus bahasa Arab. Buat apa juga sih? Yang butuh kamus itu kan kita.
Kebutuhan untuk menteorikan ilmu itu baru terjadi kemudian, salah satunya ketika Islam mulai dikenalkan kepada bangsa 'ajam (baca: non-arab) macam kita-kita ini. Kita butuh ilmu Nahwu, biar tidak keliru dari sisi bahasa. Kita butuh ilmu tajwid, biar tidak keliru baca Quran.
Dan kita butuh ilmu tafsir, biar tidak keliru waktu memahami Al-Qur'an. Dan yang paling penting, kita ilmu fiqih agar tidak rancu dan memberi status hukum pada berbagai persoalan syariah.
Catatan
Semua cabang ilmu keislaman itu pastinya berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika kita katakan mari kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maksudnya kita wajib belajar ilmu-ilmu keislaman.
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Meski pun Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam merupakan sumber semua ilmu-ilmu keislaman, namun perwajahan ilmu di masa itu belum diformat seperti yang kita kenal pada masa sekarang.
Belum ada pencabangan ilmu yang banyak dan njelimet. Belum ada spesialisasi dan diferensiasi kelompok ilmu. Bahkan belum ada kodifikasi dan korifikasi ilmu.
Di masa kenabian, jangankan cabang ilmu, bahkan hadits-hadits Nabi pun masih dilarang untuk ditulis. Yang ditulis satu-satunya di masa kenabian hanyalah mushaf Al-Qur'an. Itu pun medianya bukan kertas dan buku, tapi kulit, pelepah kurma, tulang dan batu.
Semua ilmu masih jadi satu induk. Contohnya ilmu Al-Qur'an, di masa itu belum dipecah-pecah seperti yang kita kenal sekarang. Barulah di masa berikutnya disusun dan dirumuskan ilmu tajwid. Sebuah disiplin ilmu yang secara khusus bertujuanuntik menjelaskan bagaimana cara membaca Al-Qur'an dengan benar.
Kita katakan bahwa ilmu tajwid ini secara teori tidak pernah dikenal di masa kenabian. Sekian banyak istilah yang digunakan dalam ilmu tajwid baru dirumuskan kemudian. Para shahabat tidak pernah duduk menuntut ilmu di depan Nabi dengan judul mata kuliah: "Ilmu Tajwid".
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah kita dapati dalam hadits misalnya menjelaskan apa itu Izhar, Idgham, Ikhfa', Iqlab, Qalqalah Kubbra dan Shughra. Bukan berarti Nabi tidak tahu semua itu. Namun memang di masa itu belum dirumuskan atau belum diteorikan seperti hari ini.
Dalam hal ini Nabi dan para shahabat begitu saja langsung mempraktekkannya. Di masa itu nampaknya mereka tidak merasa perlu untuk menteorikan. Toh semua orang sudah paham.
Begitu juga dalam ilmu bahasa Arab. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat langsung praktek bicara pakai bahasa Arab. Mereka tidak merasa perlu untuk menteorikan mana yang namanya mubtada', khabar, fi'il, fa'il atau maf'ul.
Asal tahu saja, Nabi Muhammad dan para shahabat bahkan tidak pernah butuh dengan kamus bahasa Arab. Buat apa juga sih? Yang butuh kamus itu kan kita.
Kebutuhan untuk menteorikan ilmu itu baru terjadi kemudian, salah satunya ketika Islam mulai dikenalkan kepada bangsa 'ajam (baca: non-arab) macam kita-kita ini. Kita butuh ilmu Nahwu, biar tidak keliru dari sisi bahasa. Kita butuh ilmu tajwid, biar tidak keliru baca Quran.
Dan kita butuh ilmu tafsir, biar tidak keliru waktu memahami Al-Qur'an. Dan yang paling penting, kita ilmu fiqih agar tidak rancu dan memberi status hukum pada berbagai persoalan syariah.
Catatan
Semua cabang ilmu keislaman itu pastinya berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika kita katakan mari kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maksudnya kita wajib belajar ilmu-ilmu keislaman.
(rhs)